"Apa kegiatan kita tahun ini? Bisa tidak seperti komunitas lain yang puluhan kegiatan setahun?" Tanya Elly Suryani, yang kami gelari "Umek" yang mengkoordinir kegiatan Kompasianer Palembang.
"Buat perpustakaan keliling..." Usul saya.
"Buat kegiatan kelas inspirasi seperti Indonesia Mengajar...."Kata bu dosen Sumarni.
"Buat pelatihan fotografi yang bagus dengan hanya memakai "ponsel"..." Usul bu Kartika.
"Buat laporan kegiatan "nebeng" acara besar yang dibuat instansi-instansi di Palembang, pakai spanduk, seolah itu acara kita....."Usul yang lain....
"Boleh, semua usul ditampung, terutama "nebeng" di acara besar, di ASIAN GAMES 2018 nanti kita bisa buat ratusan kegiatan di dalam kegiatan besar, bukan? Siapkan saja spanduk kecil, pasti nanti banyak laporan kita..."Kata saya, yang lain tertawa.
Misalnya, selesai lomba panjat tebing Asian Games di arena panjat tebing Jaka Baring, kompasianer ikutan lomba panjat tebing di lokasi dengan ijin panitian tentunya. Nah liputan lomba panjat tebing yang serius antar atlit Asia dan yang lucu-lucuan atlit Kompal dilaporkan bersamaan dan dibandingkan dengan ulasan "nyeleneh", pasti heboh.
Lah iyalah, kalau ada event budaya atau olahraga di Palembang dan kita ramai-ramai ikut dan meliput dan dilaporkan sebagai kegiatan komunitas, apakah itu salah? Sepertinya enggak, karena liputan kegiatan kota itu penting dilakukan oleh warga ke komunitasnya, supaya tempat-tempat nongkrong di Palembang dapat seterkenal jalan Malioboro di Yogyakarta, yang terkesan wajib dijalani oleh seseorang dari ujung satu ke ujung lainnya barulah "syah" seorang turis mengaku pernah ke kota pelajar itu.
Nah, bila sebuah komunitas membuat kegiatan dari nol, sosialisasi, buat panitia, cari dana, cari peserta dan lain-lain, apa mungkin dapat seratusan setahun?
"Yang penting, dilaporkan liputannya dan ada spanduk. Ingat!" Kata bu Elly lalu Saya dan bu Kartika manggut-manggut.