Mohon tunggu...
Posma Siahaan
Posma Siahaan Mohon Tunggu... Dokter - Science and art

Bapaknya Matius Siahaan, Markus Siahaan dan Lukas Siahaan. Novel onlineku ada di https://posmasiahaan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Boikot adalah Persekusi Zaman "Now"?

27 Desember 2017   05:50 Diperbarui: 27 Desember 2017   08:00 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Boikot (dokumentasi pribadi)

Ajakan boikot terhadap sebuah produk, terhadap sebuah institusi atau sebuah perusahaan karena sesuatu pernyataan resmi perusahaan itu di media resmi, secara logika dapat diterima, karena hal itu adalah tanggung jawab yang seharusnya dimengerti oleh badan hukum tersebut. 

Tetapi bagaimana kalau ajakan boikot terhadap sebuah badan usaha tersebut sebagai bentuk cara menyingkirkan oknum pegawai di tempat tersebut yang dianggap melewati batas dan menyinggung hati seseorang tokoh? Atau malah karena sebuah produk terlihat saat ada peristiwa yang dipakai oleh tokoh yang mengucapkan sebuah kata-kata tidak pantas?

Misalnya saya tidak suka sama si tokoh "X" lalu saat menyatakan itu saya terlihat minum teh botol S**ro, maka si teh botol juga mau diboikot dan tempat saya mengumpat-umpat itu di tugu M*nas, maka si tugu itu juga diboikot? 

Agak jauh sih perbandingannya, tetapi bisa jadi kedua hal itupun diboikot oleh sekelompok individu yang punya "cyber army" mumpuni dan karena viral si pengelola tugu melarang saya mengunjungi tugu itu untuk waktu yang tidak bisa ditentukan dan si pemilik teh botol melarang saya sekeluarga untuk membeli minumannya seumur hidup dan larangan itu diberitakan ke semua media sosial supaya semua puas dan boikot pun kemudian oleh kelompok itu diumumkan selesai.

Saya pribadi berpendapat, si "Oknum" yang menjadi target boikot ini sudah mengalami bentuk lain dari persekusi, dihukum oleh sekelompok orang tanpa proses pengadilan yang berimbang. Bila persekusi bersifat fisik, dimana yang mendatanginya dan mengusirnya dari tempat tinggalnya adalah massa,  maka boikot ini dia dihukum secara "online'.

Gerakan "Save-save-an" biasanya menyusul dan mungkin saja diakhiri dengan si orang yang diboikot, yang tersingkir ini nanti bekerja di tempat lain, pindah rumah ke rumah lain namun dengan syarat dia bekerja di belakang layar dan jangan terlalu sering berkoar-koar. Karena walaupun menyelamatkan teman yang diboikot itu penting, tetapi kalau harus setahun sekali melakukan ini jadinya capek juga.

Nah, intinya bila persekusi sudah jelas-jelas dilarang dan diharapkan adanya "statement-statement" di media sosial yang terkesan menyakiti hati sekelompok orang jangan dilakukan main hakim sendiri, apakah ajakan boikot ini juga dapat dilarang? Apakah ajakan yang bersifat negatif ini dapat dituntut seperti pembuatan "meme" tokoh nasional yang sakit dan diinfus?

Mungkin saja bisa, kalau polisi dan aparat hukum lainnya bisa mencari peraturan-peraturan atau undang-undang yang berkaitan dengan hak kebebasan berpendapat dan bagaimana cara mengatur prosedur tetapnya.

Tetapi kalau tidak bisa, dan terpaksa berhenti kerja karena tekanan publik, maka anggap saja nanti ada semacam blessing in disguise, beliau-beliau korban boikot ini akan diterima di pekerjaan yang lebih baik, lebih toleran, lebih berani membela karyawan dan lebih memiliki bagian hukum yang mampu menjawab segala boikot, persekusi dengan bijak dan lebih politis. 

Semoga...

dari FB Kompal
dari FB Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun