"Kenapa bisa begitu ya, dok. Gula darahnya sudah stabil, tensinya sudah stabil, lalu di pulangkan dan di rumah terkena "stroke"..."Tanya seorang kakak pasien saya, yang agak keberatan adiknya saya pulangkan hari itu dengan alasan gula darahnya sudah dibawah 140 mg/dL, tekanan darahnya sudah dibawah 140/85 mmHg dan rekam jantungnya menunjukkan perbaikan dari ada sumbatan (iskemia) ke normal.
Lalu dia menceritakan kisah bahwa tetangganya dipulangkan oleh dokter dari rumah sakit lain dan mengalami lemas kaki dan tangan kanannya serta mulut mencong tidak simetris beberapa hari sesudah pulang.
"Apakah di rumah makan obatnya teratur, bu? Makanannya dijaga dan si pasien tidak merokok lagi atau tidak stress di rumah?" Saya tanya lagi.
"Saya tidak tahu, dok. Tetapi apakah mungkin pasien yang dikatakan sudah layak pulang, tetapi di rumah ada komplikasi. Apakah karena pakai BPJS Kesehatan lalu pasiennya buru-buru dipulangkan dan efek sampingnya jadi ada?" Si ibu kakak si pasien ini menyindir saya.
"Nah, begini bu. Itu ada namanya "ongoing stroke", yaitu proses terjadinya sumbatan pembuluh darah carotis di leher yang terkadang tidak bisa dideteksi dengan pemeriksaan biasa, harus memakai echocardiography khusus di pembuluh darah leher tersebut.Â
Kalau sumbatannya lebih 70 persen, biasanya sewaktu-waktu bisa saja terjadi "stroke", mungkin ada emboli lemak atau udara yang menempel disana dan membuat sumbatan permanen, atau kalau ada aktifitas, emosi atau kelelahan yang membuat pembuluh darah yang sudah sempit itu tambah kontraksi dan terjadilan kelumpuhan." Jawab saya.
"Cara mencegahnya, dok?" Si ibu itu inginnya adik laki-lakinya usia 40-an yang masih bujangan itu dituntaskan semua pemeriksaan dan penatalaksanaannya di satu masa keperawatan tersebut. Saat dirawat si adik serangan jantung dengan nyeri dada hebat, rekam jantungnya memperlihatkan iskemia otot jantung yang dalam, gula darah diatas 500 mg/dL, serta tekanan darah 210/110 mmHg.
"Dilakukan pemasangan cincin 'stent' di pembuluh darah carotis yang tersumbat. Peralatannya tidak ada disini, harus di rumah sakit tipe B atau A dan sudah kami hubungi untuk merujuk, disarankan distabilkan dahulu gula darah dan tensinya, lalu dirujuk lewat poliklinik." Jawab saya.
Nah, kalau kita pulangkan di rumah, dalam kondisi gula, tekanan darah dan jantung sudah mendekati normal, itu sudah sesuai dengan kriteria pulang, tetapi "on going stroke" masih mungkin terjadi kalau si pasien makan obat tidak teratur, stress lagi di rumah atau secara alami ada molekul-molekul gumpalan darah atau lemak kebetulan menumpuk di pembuluh darah carotis yang menyempit seperti gambar diatas.
Idealnya, pasien yang berpotensi "ongoing stroke" begini langsung semua dipasangi "cincin" di carotis sebelum pulang, jadi dirujuk ke rumah sakit yang bisa melakukan  kateterisasi pembuluh darah jantung dan leher serta pemasangan itu dulu.Â
Tetapi kalau rumah sakit rujukannya tidak bersedia menerima langsung dan menyarankan pulang ke rumah dahulu baru kontrol rujukan lewat poliklinik, ya apa boleh buat, tidak bisa memaksakan kehendak.
Kalau misalnya tindakan "stent" dipasang di tipe B atau A lalu perawatannya kembali ke rumah sakit tipe C atau D, maka yang harus membayar tindakan itu si rumah sakit tipe C atau D karena dianggap rujukan parsial, jadi harus diputus dulu satu episode rawat inap di rumah sakit awal, dibuka rawat jalan satu kali secara "online" barulah terbebas dari "irisan" beban perawatan.
Intinya, "stroke" yang berkelanjutan ("ongoing") pada pasien diabetes melitus berkomplikasi hipertensi dan atau jantung, tetap mungkin terjadi kalau pembuluh darah carotis  di leher menyempit, meskipun gula darah, tekanan darah dan hasil rekam jantung sudah normal.Â
Sebaiknya tindakan "stent" dilakukan seawal mungkin tetapi sistem rujukan yang berjenjang terkadang mengharuskan si pasien pulang ke rumah dahulu beberapa hari baru kemudian dikasih surat rujukan ke poliklinik rumah sakit tujuan.
Penyakit katastropik seperti ini memang biayanya lumayan tinggi diperkirakan tindakannya mencapai 100-an jutaan sementara pasiennya sebagian bukan lagi di usia produktif. Menjadi dilema bagi dokter yang akan melakukan tindakan tentang azas manfaat dibandingkan resiko dalam pelaksanaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H