"Mereka mulai bertanya-tanya, Dok. Mama ketularan, tidak? Penyakit paman yang HIV itu tidak? Rumah kita jadi sarang penyakit tidak? Saya selalu berbohong sakitnya bukan itu, tetapi mereka sepertinya sudah tahu dan maunya adikku yang bujangan pergi..."Keluh seorang Kakak pasien HIV yang usianya 50-an akhir, si pasien usianya pas 50 tahun.
"Penyakit itu memang hanya yang bersangkutan boleh cerita ke orang lain, kalau dia tidak memperbolehkan menyampaikan, maka saya tidak bisa bercerita ke anak-anak ibu."Tegas saya.
Beberapa kali anak si kakak pasien ini yang sudah bekerja mempertanyakan penyakit paman mereka yang menumpang di rumahnya, bujangan tua yang sudah sangat kurus, batuk-batuk, mulut putih jamuran dan sering diare. Karena lemah secara fisik, maka si paman sangat tergantung makan, mandi dan aktifitas lainnya dengan orang lain.
Yang membuat jengkel, pasien ini manja pula dengan kakak perempuannya itu, makan mesti disuapi, terkadang merajuk dan membuat si kakak tambah lelah secara psikis dan anak-anaknya pun tambah jengkel. Tetapi kasih seorang kakak perempuan untuk kasus yang satu ini patut dikasih jempol sepuluh.
"Saya sudah tidak tahan lagi, dok. Mau saya lempar kemana dia, saya tidak tahu. Ke panti jompo, sepertinya ditolak karena dia ada TBC paru-paru dan sakit komplikasi lain. Sudah dicoba cari 'baby sitter' juga tidak ada yang mau karena dia suka mengamuk kalau emosinya kumat. Saya sendiri sudah mulai kecapaian mengurusi dia, karena usia saya tidak muda lagi, dok." Katanya sedih.
"Tetapi ibu tetap tidak tega "membuang" adik ibu?"Tanya saya.
"Orang tua kami sudah meninggal dan dia dititipkan ke saya untuk dijaga, sejak kecil juga dia dekat dengan saya, saya memang sudah curiga dia salah bergaul dan sampai usia begini belum mau menikah, padahal dulu saat mudanya dia sangat tampan..."Aku si kakak.
Percakapan ini terjadi di luar poliklinik, saat itu si kakak bertemu saya di lorong menuju poliklinik dan mau meminta rujukan untuk adiknya ke rumah sakit tipe A untuk berkonsultasi ke konsultan darah yang mengerti HIV. Dokter lain tidak bisa memberi karena kurang menguasai si pasien sementara saya sudah merawatnya dua kali. Pasien sendiri terbaring di IGD, karena perlu oksigen dan tidak tahan menunggu di kursi poliklinik lama-lama.
Yang menjadi fokus saya dalam kasus ini adalah derita penyakit HIV itu memang berat ke si pasien, terutama yang tertular bukan karena salah dia, misalnya:
1. Akibat tranfusi darah yang tidak tersaring dengan baik.
2. Petugas medis yang terkena tusuk jarum bekas injeksi pasien HIV.