"Tidak merokok seperti yang lain, om?"Tanya saya pada Kompasianer 'A' yang setahu saya perokok berat.
"Tidak enak, Dok. Ada anak-anak bu Indah Noing 3 orang, masak saya menghembus-hembuskan asap rokok di depan mereka?"Jawabnya penuh ketegaran, karena tidak merokok di area bebas merokok itu sangat berat saudara-saudara.
Terharu? Begitulah yang namanya si 'tidak merokok sosial' yang cukup perlu dihargai. Walaupun merokok di depan anak-anak, ibu hamil dan orang lain yang tidak suka rokok belum merupakan sebuah tindakan yang dianggap tidak pantas di negara ini, namun dia dengan sadar memilih menghormati yang lain dan menahan diri. Kalau tidak tahan lagi mungkin dia akan menyingkir di tempat sepi dan melepas penatnya disana.
Beda lagi dengan Kompasianer 'B' yang saya temui di kantin soto Kompasianival, dia mohon maaf merokok dengan saya yang dilihatnya tidak merokok dan berkata, "Maaf, Dok. Saya sebenarnya sudah dua bulan berhenti merokok 'rutin'. Tetapi kalau ada acara kumpul-kumpul begini dan ada yang membawa merokok, saya ikutan merokok, ya sejenis 'merokok sosial-lah..." Katanya sambil tertawa. Semua pun tertawa sosial dan menghembuskan asap rokok sosialnya dengan sangat tersosialisasi.
Saya sempat-sempatkan memberi penyuluhan bahwa pasien saya yang perokok berat walau kurus tetap kena serangat jantung dan 'stroke', jadi walaupun merokok itu belum tentu sakit, namun penelitian manapun di dunia sepakat faktor resiko penyakit 'katastropik' yang berbiaya besar 2-5x lipat kemungkinannya bila si orang perokok.
Semua teman yang merokok mengangguk-angguk penuh pengertian tapi tetap menghisap rokoknya lalu menghembuskannya lagi ke udara bebas bukan ditelan ke lambungnya.
Kebetulan dua fenomena 'merokok sosial' dan 'tidak merokok sosial' ini saya temui di satu 'event' Kompasianival tempat saya menyalurkan kewajiban sebagai tenaga kesehatan mengedukasi hidup sehat. Makanya ini saya bahas untuk direnungkan di acara lain mungkin saya temui juga kondisi yang sama, tetapi belum tentu saya kenal orang-orangnya.
Jadi, sebenarnya merokok dan kehidupan sosial di kita Kompasianer belum terbentuk sebuah kesepakatan damai, kapan di acara Kompasiana boleh merokok dan siapa saja yang boleh menghirup itu asap rokok, lalu kalau ada anak-anak dan ibu hamil di sekitar kita apakah masih tega merokok?
Setidaknya 'tidak merokok sosial' lebih digalakkan di acara-acara Kompasiana dan sangat tidak mengharapkan justru 'merokok sosial' yang dimaklumi serta dibudayakan saat ' nongki-nongki'.
Setuju?