3. Kalau pasien meminta obat-obat kronis dosis tinggi dan banyak jenis, padahal belum pernah ada riwayat di rumah sakit itu, dan pemeriksaan fisik serta laboratoriumnya normal, maka haruslah dimulai dengan dosis rendah dulu dan kontrol seminggu kemudian. Kalau si pasien marah-marah dan mengancam mau melapor kesana-kemari, jelaskan bahwa untuk kasus baru memang harus diberi obat bertahap dulu dan sudah disepakati dengan BPJS Kesehatan, penyesuaian dosis perlu untuk menghindari keracunan obat.
4. Pasien yang 'dicurigai' jualan obat ini jangan diberikan ke dokter spesialis yang kurang teliti dan mengerti aturan BPJS Kesehatan dan kurang mau mengedukasi pasien. Dokter yang kurang tegas dan cenderung mengalah kalau ditodong pasien obat-obat 'buruannya', sebaiknya diberikan pasien yang tidak terindikasi 'shoping' saja.
5. Apoteker di rumah sakit terakhir sebagai penyaring, melihat kalau ada resep 'boros' dari pasien yang baru atau pasien lama yang sebelumnya resepnya biasa-biasa saja. Boleh berkoordinasi dengan pihak BPJS Kesehatan apakah si pasien ini dalam sebulan sering berobat 'mahal' juga di rumah sakit lain.
Ini penting, karena memang selalu saja ada 'penadah' obat-obat beginian yang tidak ada cap 'BPJSK-nya'. Maka selama ada kebutuhan, maka akan ada saja penyuplainya. Proses penyaringan di rumah sakit dari pendaftaran, dari dokter spesialis dan terakhir dari apotik dapat mencegah kerugian negara.
Dan kabarnya, pasien-pasien yang mulai terendus modusnya ini kalau tidak bisa mempertanggungjawabkan apakah semua obat yang dia dapatkan dipakai atau dimakan maka mungkin saja kartu BPJS-nya di non-aktifkan.