"Dok, mohon konsultasi, ini ada pasien yang tiga hari lalu minta dirawat pakai umum dan bayar sendiri, tetapi setelah biaya membengkak mau urus BPJS dan dipakai berlaku mundur sejak awal, boleh enggak, dok?" Tanya seorang kepala ruangan yang kebingungan, karena anak si pasien yang ngakunya orang penting di salah satu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), mengancam akan mengadu ke BPJS, ke media dan ke tempat pengaduan publik lain akibat BPJS-nya 'tidak laku'.
"Dia sudah melaporkan keberatan ke petugas BPJS?"Tanya saya.
"Sudah, dok. Petugas BPJS-nya bilang kriteria rawat dari Instalasi Gawat Darurat tergantung dokter yang bertugas. Kalau tidak indikasi rawat dan keluarga pasien meminta rawat ya terpaksa bayar sendiri." Jawabnya.
"Ya, sudah. Prosedurnya memang begitu. Kalau sesudah pemeriksaan dijumpai hasil-hasil yang 'jelek', biaya besar, itu bukan berarti alasan BPJS-nya langsung aktif. Kalau mau pakai BPJS, tetap harus pulang dulu, tutup rawat inapnya di umum dan minta rujukan di Fasilitas Kesehatan Primer (FKTP). Kalau dokter poliklinik memutuskan perlu perawatan lagi, boleh rawat pakai BPJS."Jawab saya.
Akhirnya, walau tidak rela, keluarga pasien tersebut memutuskan membayar perawatan, kebetulan kondisi pasien sudah membaik. Karena dari awal prosedur perawatannya memang tidak sesuai indikasinya.
Setelah tiga setengah tahun program BPJS berlangsung memang masih terjadi beberapa 'kesalahpahaman' seperti ini akibat beberapa hal:
1. Sosialisasi prosedur memakai kartu BPJS kepada peserta belum maksimal. Masih banyak peserta BPJS merasa prosedur bisa diatur belakangan, yang penting ditolong dahulu, indikasi atau tidak indikasi nanti bisa 'ditukang-tukangi'. Padahal dengan sistem 'online' yang sudah baik, perbedaan tanggal atau perbedaan diagnosis gawat atau tidak pun bisa dibaca. Misalnya diagnosisnya hanya gastritis dan minta dirawat, bisa saja nanti perawatannya tidak ditanggung BPJS, karena gastritis 'tokh' bukanlah indikasi rawat inap.
2. Beda rumah sakit, beda juga kebijakan. Ada rumah sakit tertentu yang tidak mau ribut dengan pasien, bersedia mengubah status rawat umum menjadi BPJS, dengan menyesuaikan indikasi, tanggal masuk dan lain sebagainya. Jadi, kalau di rumah sakit kami itu tidak diperbolehkan, maka keluarga pasien membanding-bandingkannya. Hal ini sangat tergantung 'peraturan internal' rumah sakit yang bisa berbeda serta sistem informasi dan registrasi di rumah sakit apakah sudah online penuh atau masih manual yang bisa di'utak-atik'.
3. Setiap rumah sakit harus memiliki HUMAS yang baik, menguasai prosedur BPJS dan membina hubungan baik dengan BPJS, sehingga kalau ada keinginan peserta BPJS menukang-nukangi BPJS Kesehatannya, sudah dikomunikasikan dengan petugas BPJS setempat supaya satu suara dalam menjelaskan ke pasien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H