Mohon tunggu...
Posma Siahaan
Posma Siahaan Mohon Tunggu... Dokter - Science and art

Bapaknya Matius Siahaan, Markus Siahaan dan Lukas Siahaan. Novel onlineku ada di https://posmasiahaan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Bolehkah Dokter Menolak Pasien Asuransi?

26 Mei 2017   20:41 Diperbarui: 26 Mei 2017   21:55 1593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reunian SMA 25 Mei 2017, sekalian maaf-maafan menjelang Ramadhan (dokumentasi pribadi)

"Pos, di daerah kami Pamulang, ada dokter yang menolak mengobati pasien BPJS dan asuransi lainnya, katanya itu riba. Bagaimana pendapatmu?"Tanya teman saya  Dince, yang satu angkatan SMA di palembang, tetapi sudah menetap di Jakarta sejak menikah.

Kami dengan dua puluhan teman satu SMA reunian kecil-kecilan menjelang bulan puasa sambil maaf-maafan karena di pilkada DKI lalu (kabarnya) ada yang bertengkar segala karena berbeda kubu, untungnya sudah sama-sama 'colling down' dan berjanji tidak membahas perbedaannya lagi.

"Saya tidak mau bahas tentang asuransi dan riba, itu tergantung prinsip yang dianut masing-masing dokter, tetapi di tiap rumah sakit pasti ada kebijakan masing-masing tentang pelayanan yang dapat dilakukan seorang dokter."Jawab saya  politis, karena 'kontroversi' soal riba atau tidaknya BPJS sepertinya belum selesai di lapangan.

"Maksudnya, setiap rumah sakit ada peraturan sendiri-sendiri, ya? Jadi di rumah sakit ini bisa dan di rumah sakit lain tidak?"Tanyanya.

"Benar. Pada prinsipnya sih sebenarnya setiap dokter harus mau melayani setiap orang yang meminta pertolongannya, dibayar ataupun tidak. Tetapi itu dulu, sekarang, harus melakukannya kalau gawat darurat dan tidak ada dokter lain yang lebih berkompeten. Misalnya, ada anak tertelan biji durian, lalu ada dokter kebidanan disana yang banyak orang tahu dia dokter, tanpa ada dokter lain. Maka dia wajib menolong si anak semampunya, kalau tidak dia melanggar kode etik. Tetapi kalau ada dua dokter, satu kebidanan dan satunya anestesi, maka yang lebih berkompeten si anestesi. Itu dibayar atau tidak nomor dua. Yang penting dibantu dulu."Kata saya lagi.

"Kalau tidak gawat darurat?"Tanya si teman yang kebetulan sama-sama batak ini penasaran.

Saya pun menjabarkan begini:

1. Kalau rumah sakit tersebut punya kebijakan umum tidak melayani asuransi apapun, baik BPJS maupun yang non BPJS, maka pilihannya hanya dua, yang berobat disana hanya bayar pribadi atau digratiskan. Dokternya pun ada kebijakannya, apakah boleh menolak pasien yang digratiskan (hanya mau bayar) atau semua wajib melayani yang bayar atau gratis dan yang menolak akan dipecat.

2. Kalau rumah sakit tersebut melayani pasien bayar sendiri, asuransi dan yang tidak mampu, maka dokter-dokternyapun harusnya ada kebijakannya, apakah hanya boleh melayani pasien umum saja, pasien asuransi saja, atau kedua-duanya. Kalau si dokter sudah jelas-jelas tidak mau melayani pasien asuransi BPJS atau asuransi lain tetapi masih juga oleh registrasinya dikasih pasien tersebut, maka manajemen rumah sakitnya yang salah. Tetapi kalau kebijakan rumah sakitnya setiap dokter harus melayani semua pasien tanpa terkecuali dan si dokter tertentu ini malah menolak, maka si dokter yang salah dan harus dikredensial ulang. Semua kembali ke perjanjian kerjasama antara dokter dan direksi rumah sakit.

3. Kalau rumah sakit tersebut melayani semua jenis pembayaran, tetapi mengijinkan dokter tertentu menolak pasien asuransi karena keyakinannya, lalu ada pasien yang ngotot mau ke dokter tersebut dengan memakai asuransi, maka si pasien yang salah, dia harus rela tidak pakai asuransi dan bayar pribadi atau minta digratiskan, karena si dokter jelas-jelas memang diijinkan rumah sakit tidak melayani pasien asuransi.

Jadi semua berpulang pada kebijakan manajemen rumah sakit (apakah rumah sakit mau pasien asuransi atau tidak), konsistensi si dokter (bilang ke manajemen mau melayani asuransi atau tidak) dan si pasien ( mau tetap dokter tersebut atau dialihkan ke dokter lain). Jangan sampai karena tidak jelas aturan mainnya, si pasien jadi korban, mau berobat malah dikasih nasehat yang non medis.

Tentu saja ini tidak perlu dilaporkan ke IDI dan Mentri Kesehatan segala, kalau kasusnya bukan gawat darurat. Tingkat manajemen rumah sakit saya rasa cukup, buat aturan main yang jelas, supaya tidak semua dokter seenaknya sendiri bikin aturan diluar perjanjian kerjasama saat kredensial di rumah sakit. Karena walaupun dokter berhak memilih pasiennya dengan cara bayarnya bagaimana, pasien pun berhak memilih dokter dan rumah sakit pun jangan takut ditinggalkan dokter, spesialis jaman sekarang sudah banyak.

dari FB kompal
dari FB kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun