"Saya pikir obat paten saya bisa semua didapat di BPJS, Dok. Kata dokter saya sebelumnya itulah obat terbaru untuk diabetes dan darah tinggi. Jangan diganti."Katanya.
Dia menunjukkan resep obat paten yang relatif baru di Indonesia, 5 jenis, total harganya 1,2 juta rupiah di kwitansinya. Ikut BPJS, dia dan suami yang sama-sama 70- tahun, satu kartu keluarga, tidak sampai 200 ribu rupiah iuran sebulan.
Saya curiga kartu keluarganya dipecah dulu dengan anak-anaknya, supaya iurannya cuma untuk 2 orang.
" Obat terbaru belum tentu terbaik, bu. Tetap ada keunggulan dan kelemahan dibanding obat satu golongan. Kelima obat paten ibu belum masuk daftar obat BPJS, tetapi obat yang segolongannya ada. Itu yang saya resepkan untuk seminggu dulu, kalau cocok kita lanjutkan sebulan."Kata saya.
Seperti kecewa si ibu pun menerima penjelasan saya dan seminggu kemudian tekanan darahnya normal 110/75 dan gula darah puasanya 110 mg/dL.
"Obat BPJS tidak berbeda khasiatnya ya, dok. Ya, saya minta selanjutnya sebulan saja kontrolnya."Katanya sudah percaya penuh dengan obat 'DPHO BPJS'.
Saya yakin, nenek usia 70 tahun ini cukup berada, menebus obat 1,2 juta sebulan belum lagi tarif dokternya, dia sanggup selama ini.
Namun si nenek yang cukup mampu ini sudah 'melirik' BPJS Kesehatan, karena berharap ada penghematan biaya kesehatannya.
Kesulitannya memang mereka terbiasa diberikan obat paten terbaru yang tidak ada generiknya. Kalau obat paten yang ada generiknya, biasanya bisa ditukar oleh apoteker. Tetapi di daftar plafon harga obat (DPHO) BPJS obat ini tidak ada, maka sering mereka ngotot minta diadakan dengan alasan nanti mereka jadi memburuk kondisinya karena obat patennya diganti.
Maka ketegasan dokter untuk menjelaskan 'prosedur' obat harus menyesuaikan DPHO, harus dilakukan, kalau diluar itu boleh diresepkan dengan tulisan tambahan 'atas permintaan sendiri'.
Mengapa ini saya informasikan, karena biasanya pasien yang benar-benar tidak mampu, sangat menurut dengan penjelasan dokter dan obat apapun diberikan akan diterima. Sementara pasien yang terbiasa berobat swasta dan beralih ke BPJS biasanya banyak permintaan yang terkadang tidak indikasi si dokter. Pemeriksaan dan obat diluar indikasi dokter itu tidak ditanggung BPJS. Jadi hati-hati meminta sesuatu kalau tidak indikasi.
Atau mungkin saja seharusnya ada kategori klas 'platinum' di BPJS Kesehatan yang iurannya 500 ribu sebulan, dimana pesertanya memang orang berpunya dan dapat keistimewaan lebih boleh minta obat paten dan dirawat di VVIP, polikliniknya pun khusus tidak lama antri dan bisa daftar 'online'. Kalau tidak menyalahi undang-undang,sih, kenapa tidak, karena orang kaya yang ikut BPJS Kesehatan seharusnya memang punya hak sedikit 'dimanjakan'.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H