"Oh, begitu. Jadi pasien yang saya rawat, semuanya disetujui pembayaran tagihannya?" tanya saya kepada dokter verifikator internal BPJS rumah sakit kami.
"Iya, diagnosis dokter yang 'nyeleneh' dan lucu-lucu sudah hilang. Lebih masuk akal dan sesuai dengan kaidah 'coding', konsensus dan aturan Departemen Kesehatan," jawabnya lagi.
Ini juga dapat dilihat dari semua tagihan rumah sakit kami di bulan Mei 2016 untuk rawat inap tidak ada yang "di-pending" karena dianggap layak dan wajar, sebuah prestasi tersendiri. Semua merupakan proses belajar dan saling bertukar informasi mengenai proses pelayanan, penagihan, dan proses menyelesaikan "sengketa" antara rumah sakit dan BPJS yang berjalan lebih dari dua tahun, yang melalui beberapa tahap, yaitu:
1. Antara April 2014-Desember 2014, adalah masa "bulan madu" rumah sakit kami dengan BPJS, di mana saat itu semua diagnosis dokter diterima oleh BPJS dan dibayar tagihannya, padahal dokter cenderung mencari diagnosis yang tagihannya besar, misalnya cardiomegaly (pembesaran jantung), hipokalemia (kekurangan kalium), sepsis (infeksi berat yang menyerang banyak organ tubuh), pneumonia, tumor jinak, dan kelainan kebidanan/kandungan yang perlu operasi. Padahal, misalnya pembuktiannya secara klinis, penunjang, obat, dan hari perawatannya tidak sesuai.
Setelah periode itu, rumah sakit kami dilakukan audit dan banyak terjadi evaluasi tentang ketidaksesuaian diagnosis dan obat/indikasi tindakan dilanjutkan dengan perubahan-perubahan penilaian "kelayakan pembayaran" setelahnya. Di sini terlihat BPJS pun belajar dari cara-cara dokter membuat "keanehan" dan menemukan cara mengatasinya.
2. Antara Januari 2015-Juni 2015 adalah masa-masa sulit, di mana bulan madu tiba-tiba "bubar". BPJS Kesehatan mulai menyadari bahwa banyak diagnosis di Ina-CBG's telah "dimanfaatkan" oleh dokter untuk meninggikan tagihan, padahal seharusnya tidak sampai seberat itu penyakitnya. Maka mulailah penilaian tagihan diperketat dengan memperhatikan resume medis, apakah sesuai diagnosis, data pendukung, obat-obatan dan tindakan serta lamanya perawatan. Juga dilihat apakah tagihan rumah sakit cocok dengan beratnya penyakit dan besarnya tagihan.
Misalnya: ada operasi tumor, dilaporkan besar dan perlu rawat inap, tetapi si pasien hanya bius lokal, dirawat sehari dan obat-obatannya hanya obat makan tanpa pernah injeksi. Ini cenderung ditolak dibayar, dijadikan bayaran rawat jalan atau ditunda. Contoh lain: pasien diagnosisnya infeksi sepsis berat, tetapi hanya dirawat sehari dan obatnya hanya antibiotik murah, sembuh pula tanpa cacat. Biaya perawatan pasien misalnya hanya Rp1,5 juta, tetapi paket Ina-CBG's untuk diagnosis itu misalnya Rp5 juta. Ini biasanya dipertanyakan dan pembayarannya di-pending, alasannya jelas: tidak masuk akal beratnya diagnosis dan paketnya dengan biaya perawatan sebenarnya.
Alhasil, rumah sakit kami dalam 6 bulan pertama tahun 2015 memiliki tagihan yang "di-pending" bernilai lebih Rp1 miliar dan "lucunya" tidak mengerti bagaimana caranya melepaskan diri dari "pending-an" lama dan bagaimana menghindari "pending-an" baru.
3. Antara Juni 2015-sekarang, rumah sakit kami "merekrut" dokter yang mengerti BPJS dan cara membuat resume serta pendukung medis yang sesuai kaidah, konsensus, dan aturan-aturan yang berlaku. Sehingga lambat laun rumah sakit dapat menagihkan yang layak dan kalau memang kasus-kasusnya tidak layak dirawat inap atau diagnosisnya tidak cocok dengan terapi dan tindakan, si dokter disuruh memperbaiki resume-nya sesuai yang berlaku.
Saya pun karena mau belajar, sekarang kasus yang "di-pending' minimal, bahkan terkadang tidak ada. Namun, ada beberapa teman sejawat dokter yang belum mau belajar menyesuaikan dengan kaidah, konsensus, dan aturan yang dijadikan patokan BPJS sehingga di 3 rumah sakit yang dia layani, kasus-kasusnya banyak sekali yang dipertanyakan, "di-pending", bahkan ada yang tidak dibayar karena dianggap "tidak layak".
"Saya tidak mau diatur-atur oleh asuransi...," celetuk salah satu sejawat yang masih tidak mau menyesuaikan dengan "pola" BPJS, tetapi sayangnya beliau tetap mau dapat pasien BPJS. Mungkin, teman-teman sejawat ini masih berharap BPJS Kesehatan akan mau "berubah' mengikuti keinginan-keinginan mereka atau BPJS "bubar" dan semua pasien kembali berbayar sesuai apa yang dikerjakan (fee for service) di masa lalu.
Padahal, kalau memang di tahun 2019 semua rumah sakit wajib ikut BPJS dan aturan mainnya tetap seperti ini, dokter mana pun yang tidak mau menyesuaikan diri akan sulit diterima rumah sakit mana pun, karena sudah "ditandai" BPJS ataupun manajemen rumah sakit seluruh kota sebagai pribadi yang sering kasusnya "di-pending". Kalau rumah-rumah sakit itu tidak mau ambil risiko, si dokter itu akan "dilepas" dan digantikan oleh dokter lain yang mampu menyesuaikan diri.
Mengandalkan pasien umum/asuransi lain non-BPJS? Saya rasa sulit, karena pasien saya yang dulunya bayar sendiri saat ini hampir 80% sudah beralih ikut BPJS. Bagaimana 2-3 tahun lagi?
Intinya, saya sendiri pun sebenarnya pernah "ditandai" (tanda kutipnya penting) BPJS suka membuat diagnosis yang tidak sesuai dengan bukti klinis penunjang dan obat yang dipakai dan hari perawatan, tetapi saat itu memang imbas dari masa "bulan madu" di tahun pertama yang tidak ada peringatan atau nasihat sedikit pun. Namun, setelah banyak aturan baru dan belajar dengan dokter yang lebih mengerti pola-pola BPJS, sampai sekarang, semua menjadi lebih mudah dijalankan dan mudah-mudahan rumah sakit tempat saya bekerja tidak menjadi repot akibat diagnosis-diagnosis "nyeleneh" ataupun obat dan pemeriksaan saya yang tidak sesuai peraturan yang membuat kerugian.
Tulisan ini saya peruntukkan bagi sejawat dokter yang masih "gak rela" ber-BPJS, tetapi masih tetap melayani pasien BPJS karena mungkin terpaksa (bekerja di rumah sakit yang hampir semua pasiennya BPJS) atau memang pasien non-BPJS-nya minimal sekali (di rumah sakit swasta yang seniornya lebih banyak dicari pasien non-BPJS). Marilah beradaptasi dengan BPJS, kalau ada yang sangat tidak bisa diterima aturan mainnya, boleh dibawakan ke TKMKB (Tim Kendali Mutu, Kendali Biaya) kota/provinsi untuk dicari titik tengahnya. Dan mungkin kalau sudah banyak belajar/beradaptasi, "penandaan" kita oleh BPJS akan hilang dan mulai diterima sebagai mitra kerja sama yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H