Padahal, kalau memang di tahun 2019 semua rumah sakit wajib ikut BPJS dan aturan mainnya tetap seperti ini, dokter mana pun yang tidak mau menyesuaikan diri akan sulit diterima rumah sakit mana pun, karena sudah "ditandai" BPJS ataupun manajemen rumah sakit seluruh kota sebagai pribadi yang sering kasusnya "di-pending". Kalau rumah-rumah sakit itu tidak mau ambil risiko, si dokter itu akan "dilepas" dan digantikan oleh dokter lain yang mampu menyesuaikan diri.
Mengandalkan pasien umum/asuransi lain non-BPJS? Saya rasa sulit, karena pasien saya yang dulunya bayar sendiri saat ini hampir 80% sudah beralih ikut BPJS. Bagaimana 2-3 tahun lagi?
Intinya, saya sendiri pun sebenarnya pernah "ditandai" (tanda kutipnya penting) BPJS suka membuat diagnosis yang tidak sesuai dengan bukti klinis penunjang dan obat yang dipakai dan hari perawatan, tetapi saat itu memang imbas dari masa "bulan madu" di tahun pertama yang tidak ada peringatan atau nasihat sedikit pun. Namun, setelah banyak aturan baru dan belajar dengan dokter yang lebih mengerti pola-pola BPJS, sampai sekarang, semua menjadi lebih mudah dijalankan dan mudah-mudahan rumah sakit tempat saya bekerja tidak menjadi repot akibat diagnosis-diagnosis "nyeleneh" ataupun obat dan pemeriksaan saya yang tidak sesuai peraturan yang membuat kerugian.
Tulisan ini saya peruntukkan bagi sejawat dokter yang masih "gak rela" ber-BPJS, tetapi masih tetap melayani pasien BPJS karena mungkin terpaksa (bekerja di rumah sakit yang hampir semua pasiennya BPJS) atau memang pasien non-BPJS-nya minimal sekali (di rumah sakit swasta yang seniornya lebih banyak dicari pasien non-BPJS). Marilah beradaptasi dengan BPJS, kalau ada yang sangat tidak bisa diterima aturan mainnya, boleh dibawakan ke TKMKB (Tim Kendali Mutu, Kendali Biaya) kota/provinsi untuk dicari titik tengahnya. Dan mungkin kalau sudah banyak belajar/beradaptasi, "penandaan" kita oleh BPJS akan hilang dan mulai diterima sebagai mitra kerja sama yang baik.