Bila memang di pilkada Jakarta masih bisa berpolitik uang, pertanyaan yang terpenting bagi para calon pemilih, adalah: berapa harga yang paling pantas saya tentukan minimal untuk suara saya?
Jawabannya susah-susah gampang, karena yang memilih 'membeli suara' kalau sudah tidak punya akal lain, seyogyanya tetap ingin membeli dengan dana seminim mungkin. Tetapi saya pribadi sebenarnya ingin para calon pemilih yang mau dibayar, memiliki kalkulasi yang malah 'semahal' mungkin, walau tetap punya alasan logis waktu nanti tawar-menawar dengan calon pembeli suara.
Yang harus dipikirkan para calon pemilih di Jakarta yang 'berencana' menjual suaranya ke pembeli yang paling serius adalah:
1. APBD DKI di sekitaran 90 trilyun pertahun.
2. Biasanya kalau yang menang pilkada berencana korupsi, maka minimal mereka akan menyunat anggara 30% setahun itu berarti 150-an trilyun dalam 5 tahun.
3. Untuk menang pemilu minimal suranya 50% dari sekitar 7 jutaan pemilih, jadi minimal 3,5 juta orang yang harus dibeli.
4. Nah, kalau si pemenang punya 'potensial' dikorupsi 150 trilyun dalam 5 tahun, untuk membeli suara dia minimal harus menyisihkan 10%nya, yaitu 15 trilyun untuk membeli 3,5 juta suara, maka minimal harganya 4,28 juta.
Ini hitung-hitungan kalau peran para pemilih hanya 10% dari semua agenda politiknya selama 5 tahun ke depan, namun kalau para calon pemilih bayaran menganggap 'harga diri' mereka lebih dari itu, mereka patut mendapatkan lebih, bisa 5 juta, 10 juta atau 25 juta per suara.
Tetapi jujur saja, kalau para pemilih di Jakarta hanya pasang tarif 200 ribu, mereka sangat merugi, karena secara hitung-hitungan memang tarif 200 ribu itu hanya untuk kabupaten kecil yang APBD-nya dibawah 1 trilyun.
Setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H