[caption caption="Kali Jomblo (ilustrasi pribadi)"][/caption]
"Sebenarnya kita-kita ini sudah terbuka hijau loh,om. Kalau disodorin yang hijau-hijau, ya kita-kita pada bukain, hehehehe......."Kata salah seorang wanita penjaja cinta di salah satu cafe di Kali Jombloh yang akan digusur pada wartawan yang mewawancarai, temannya seprofesi pun cekikikan.
"Kalau saya sih maunya yang merah-merah. Kalau yang hijau sudah basi. Hehehehe...."Kata yang lain.
"Siap pindah?"Tanya Boy, si wartawan perang, yang karena baru cedera keserempet peluru di liputan perang Syria, ditugaskan kantor beritanya ke Kali Jomblo, karena kabarnya preman-preman sana siap berperang dengan petugas penertiban.
"Pindah ya siap-siap sajalah,mas. Profesi kita ini katanya penyakit masyarakat, tetapi sebenarnya kita ini pengobat bapak-bapak di masyarakat,kok. Kalau tidak ada kita-kita, mereka bisa stress dan menyiksa istri-istrinya di rumah, atau malah memperkosa anak-anak gadis di jalan-jalan."Argumen yang aneh, tetapi masuk akal. Bapak-bapak dan para lajang pria yang nafsunya tak tertahan, disalurkan kemana lagi coba?
"Kalau maminya suruh bertahan disini sampai tetes darah penghabisan?"Pancing si Boy.
"Ogah,ah. Mendingan lari. Urusan bertarung dan bertahan itu jatahnya preman, kalau kita sih bisanya cuma goyang, hehehehe...."Jawab Ayu, yang usia sudah 35-an tapi karena dandanan menornya, tetap terlihat bak boneka barbie yang kelelahan.
"Kan ada yang membela, tokoh masyarakat yang peduli, yang tenar, penghibur kelas satu, itu cukup membuat kalian merasa diperhatikan?"Selidik si wartawan agak usil.
"Hmmmmm....Politik begituan sudah bosan,om. Selesai pemilihan umum kita pasti ditinggali. Menang pun mereka kita pasti dicueki, apalagi kalau kalah. Sudah bosan dikerjai politikus, mending dikerjai om-om senang, jelas hasilnya. Hehehehe..."Cekikikan mereka lagi.
"Sudah dapat tempat pindahnya?"Boy pun siap mencatat alamatnya.
"Cari 'on-line' saja, om. 'Eks-Kali Jombloh dot com', hehehehe......Lebih enak main 'on-line' kayaknya. Lebih mahal dan tidak pakai digusur dan tidak ada jalur hijau, jalur merah atau jalur pelangi, jalur nya abu-abu....dan tidak perlu dimanfaatkan politikus lagi, kalau mau dipesan politikus oke aja.Hehehehe..."Cekikikan Bunga, yang masih 18 tahun dengan renyah. Dia masih muda, mengaku masih perawan pun bisa, kalau dapat selaput dara buatan China yang seharga 300 ribuan dengan warna darah mirip benaran.
"Terima kasih. Semoga sukses. Ini uang untuk beli rokok."Boy memberi uang 200 ribuan buat 5 wanita penjaja cinta di depannya.
"Wah, uang segini bisa dapat cium, om. Mau?"Tanya Ayu sambil tertawa.
"Wah, gak usah mbak. Saya sedang tugas, nanti kalau senggang saja ya."Boy menolak halus, kalau salah-salah kata nanti mereka tersinggung. Siapa tahu mereka mau jadi nara sumber lagi, lain waktu, terutama Bunga dengan rencananya yang mau 'on-line'-kan diri.
Berita pun tercetak 3 hari kemudian, lalu 3 minggu sesudahnya Kali Jombloh telah rata dengan tanah, malah 3 bulan selanjutnya sudah menjadi taman kota.
"Bunga, bagaimana kabarmu?"Tanya Boy menelepon 4 bulan sesudah kencan singkat mereka berwawancara di cafe lamanya.
"Wah, bisnis lancar om. Malah sekarang ikutan jadi tim sukses salah satu calon, hehehehe..."Cekikikan renyahnya terdengar makin renyah.
"Tim sukses di depan layar atau di belakang layar?"Tanyanya penasaran.
"Tim sukses macam-macam,om. Terkadang menjebak tim sukses calon lain buat bobok bareng lalu kita potret, atau menemani tim sukses sendiri yang sudah kelewat stress. Pokoknya dananya cukuplah, dikontrak sampai selesai pemilihan."Kisahnya lagi.
"Bunga, bisa kamu buatkan ceritanya? Nama kamu dan nama calon yang kamu dukung saya rahasiakan. Saya cuma mau tahu modusnya saja."Boy si wartawan perang yang cedera sudah mulai menyukai berita investigasi.
"Asal bayarannya cocok, ayo aja, om....Hehehehe..."
Kisah pun berlanjut dan hebohlah perpolitikan saat itu akibat adanya berita 'headline' koran tentang pemanfaatan tim sukses mantan penghuni Kali Jombloh yang menjadi agen ganda bagi tim sukses calon lawannya.
Bunga pun segera menghilang, pulang kampung karena uang bayaran Boy untuk kisahnya cukup untuk biaya hidupnya dua tahun.
Hidup selalu penuh kejutan,kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H