"It's so hot in my country, so my government give us vacation every summer to go another country.." Begitulah kira-kira jawaban seorang turis Arab Saudi di Kuala Lumpur bulan Juni tahun lalu, saat sama-sama berenang di kolam renang hotel.
Saya tanyakan itu karena hampir separuh isi hotel tersebut orang-orang Arab dan dia pun bercerita kalau musim panas suhu di Arab saudi saat siang hari bisa 40 derajad celcius, maka selama 3 bulan biasanya pegawai-pegawai pemerintahan dan swasta kebanyakan liburan dan dananya diberikan oleh pemerintah.
Hanya pos-pos penting saja yang harus tetap 'standby' di tempat, misalnya rumah sakit, polisi, pertahanan, restoran dan lain sebagainya.
Di negara-negara Eropa dan Amerika Utara malah sebaliknya, musim dingin pegawai-pegawai yang tidak terlalu 'urgent' pekerjaannya dibiayai liburan mencari negara lain yang lebih 'hangat'.
Kalau dibandingkan dengan dunia satwa, ini mirip proses migrasi burung-burung dari daerah Australia ke Utara saat musim dingin yang transitnya di Indonesia, tepatnya di Hutan Lindung Sungai Sembilang, dekat Tanjung Siapi-api, Sumatera Selatan.
Bagaimana dengan Jakarta? Desember sampai Maret dari tahun ke tahun sudah menjadi langganan banjir/ musim banjir di Jakarta. Ini sepertinya sudah 'kasep'. Kalau dana mengatasi banjir Jakarta akan mencapai lebih 10 trilyun dan hasilnya tidak bermakna karena koordinasi pusat dan daerah tidak 'cucok' atau malah saling menyalahkan, maka bisa dipikirkan adanya 'liburan musim banjir' bagi warga Jakarta di 2-3 bulan tersebut dengan biaya hidup dan biaya libur ditanggung pemerintah. Mereka 'bermigrasi' sementara ke tempat yang lebih tinggi sementara waktu.
Mudah-mudahan usul ini masuk akal, kalau gak masuk akal ya masukin aja ke saku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H