[caption id="attachment_103445" align="alignleft" width="300" caption="from google"][/caption]
"Oke, next!" Kata petugas ujian nasional di sebuah SMA swasta di ibukota tahun 2051.
Lalu masuklah anak perempuan satu lagi ke sebuah kursi yang nyaman lalu kepalanya ditempelin beberapa pentol berbentuk mirip koin selama 5 menit lalu si murid disuruh santai dan memejamkan mata, lalu mesin UN-MACH (ujian nasional machine) dijalankan selama 10 menit lalu selesai.
Demikianlah seterusnya sampai ke 412 orang peserta UN di SMA itu selesai diperiksa kemampuannya secara akademis selama 3 tahun, melalui serangkaian soal-soal yang analitik, logis dan terukur.
Masing-masing murid dinilai si mesin kemampuan intelektual dan pemahaman materi secara menyeluruh. Nilai pun berdasarkan persentase penguasaannya. Nilai dimulai dari 0 besar sampai 100 %.
Dan nilai-nilai itu langsung keluar di monitor untuk semua mata pelajaran yang diujikan.
Cepat, tepat, praktis, terpercaya! Itulah prinsip dasar mesin ujian
[caption id="attachment_103460" align="alignright" width="150" caption="from google"][/caption]
nasional itu.
Setiap murid diberi stimulus sesuai dengan apa bahan-bahan yang dipelajari menurut kurikulum selama 3 tahun, lalu diberikan persoalan-persoalan yang memacu otaknya menjawab sesuai daya analitik si murid, lalu keluarlah hasilnya dan langsung di print out.
"Sejak adanya UN-Mach, dosa massal tahunan bisa ditiadakan, syukurlah!" Kata bu Pur.
"Dosa massal tahunan? Maksudnya bagaimana bu?" Tanya beberapa wartawan.
[caption id="attachment_103462" align="alignleft" width="150" caption="from google"]
"Bagi murid-murid mereka tidak perlu berdosa membuatkan contekan. Sepertinya hampir semua murid sudah bikin kepekan deh dulu dari
yang paling sederhana dan mudah ketahuan dan diperiksa di telapak tangan, sampai kepekan yang termasuk sulit ketahuan dan diperiksa, misalnya di dada.
"Waw, asik juga tuh kalau yang ketahuan di dadanya. Kalau pengawasnya cowok dan jadi melihat-lihat melotot ke dada murid cewek bisa dituduh pelecehan, pasti lebih memilih membiarkan saja. Pinter tuh muridnya. Hehehehe..." Kata si wartawan senior cekikikan.
"Dosa lain saat UN konvensional apa buk?" Tanya yang lebih junior.
[caption id="attachment_103467" align="alignleft" width="300" caption="from google"]
"Biasanya ada tim sukses. Kepala sekolah membuat sebuah tim guru-guru yang sesuai dengan pelajarang yang diujikan, lalu soal UN yang ada diambil satu, dibahas, lalu jawabannya diberikan kepada murid-muridnya. Bisa dalam bentuk kertas, dalam bentuk SMS atau kalau pengawasnya bisa dinegosiasi ya dibacakan langsung di depan kelas." Kata bu Pur sedih.
"Dikoordinir kepala sekolah? Kok bisa?"
"Kalau nilai kecil dan banyak yang tidak lulus, sekolah jadi namanya rusak dan murid berkurang." Jawab si ibu guru.
"Oh, masak hanya karena itu?"
[caption id="attachment_103475" align="alignleft" width="300" caption="from google"][/caption] "Kepala sekolah akan dimarahi atau malah diganti yayasannya atau kepala dinas kalau banyak yang gagal di wilayahnya. Kepala dinas pasti ditegur oleh bupati atau walikota, walikota dan bupati bisa ditegur oleh menteri, ya gitu deh!"
"Jadi apa pendapat ibu dengan penggunaan UN-Mach ini? Ada manfaatnya?" Tanya si wartawan senior lagi.
"Amazing! It's a miracle! Tuan Johan si pencipta mesin itu kami anggap malaikat. Dia melepaskan kami guru, murid dan kepala sekolah dari jeratan dosa yang tak termaafkan. Dosa mengotori hati murid dengan segala kecurangan dan kelicikan hanya demi kata lulus. Dengan mesin ini, semua jelas dan tidak bisa diatur secara kongkalikong. Yang bagus pasti bagus yang jelek pasti jelek. Sehingga semua tenaga dikerahkan memperbaiki yang buruk,bukan malah menutupi kotoran dengan bunga 7 warna.Masih bau itulah..." Bu Pur pun mengakhiri wawancaranya dengan bahagia.
Ya, terima kasihlah pada tuan Johan, seorang guru yang bisa elektronik tergerak hatinya mengembangkan mesin ujian nasional ini dengan menggunakan pendekatan mesin perekam gelombang otak EEG dan tehnologi telepati-hipnoterapi canggih.
Mesin ini diciptakannya karena prihatin pada dosa massal tahunan yang terjadi secara nasional akibat ujian yang secara filosofi seharusnya adalah bentuk pertanggungjawaban menjadi berubah menjadi ajang mark up nilai yang terstruktur dan terkoordinir.
Jika manusia tak lagi bisa dipercaya, memang harus mesinlah yang bicara. Payah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H