-Bila ada perubahan peraturan BPJS secara nasional atau regional, beri waktu sosialisasi 1 bulan sebelumnya untuk menghindari gagal 'klaim' akibat peraturan yang berubah-ubah.
- Peraturan internal rumah sakit tidak boleh diintervensi oleh BPJS, misalnya tata tertib merujuk, pemilihan obat dan penentuan DPJP.
3. Rumah sakit tipe C di rumah sakit swasta seyogyanya hanya mengobati pasien level 1 dan 2, yang sifatnya sakit tunggal, bisa diobati dalam 3-5 hari, cukup 1 dokter dan pemeriksaannya laboratorium atau radiologis yang sederhana.
Kasus komplikasi level 3 sebaiknya dirujuk ke rumah sakit tipe lebih tinggi.
4. Di poliklinik rawat jalan, sebaiknya pasien hanya dilayani untuk kasus yang sederhana, obat-obatannya 1-4 jenis. Untuk kasus yang banyak keluhan, banyak pemeriksaan, berilah obat untuk 3 hari dan rujuk ke poliklinik RS lebih tinggi tipenya.
5. Operasi terencana (elektif), sebaiknya dipilih yang sesuai kemampuan rumah sakit dengan memperhatikan kendali mutu dan kendali biaya.
6. Pasien di UGD hanya melayani BPJS yang gawat dan darurat (serangan jantung), darurat tapi tidak gawat (tangan tersayat pisau), sementara pasien gawat tapi tidak darurat (kanker stadium 4 tapi tenang) atau malah tidak gawat dan tidak darurat (batuk pilek 1 hari) sebaiknya disuruh ke poliklinik esok harinya dengan meminta rujukan dulu ke puskesmas/klinik dokter umum. Bila terpaksa melayani pasien tidak gawat dan tidak darurat atau gawat tapi tidak darurat, buat kronologisnya kenapa tetap dilayani, misalnya karena berobatnya malam sekali, atau datang dari kota yang jauh atau pasien/keluarga mengancam dan sangat mengganggu karena ditolak merawat. Karena kalau alasannya tidak kuat, pasien tersebut 'klaim'nya tidak dibayar.
Untuk itu pemilihan dokter IGD yang cakap menentukan kriteria kegawatdaruratan dan sekaligus pandai berkomunikasi dengan pasien yang 'tidak perlu' berobat ke UGD, cukup ke puskesmas/dokter umum BPJS sangat diperlukan.
7. Perlunya dokter bagian 'coding' di rekam medis. Pembayaran BPJS ditentukan 'coding' diagnosis penyakit yang secara 'online' diberikan oleh BPJS dengan piranti tertentu sesuai tipe rumah sakit. banyak dokter yang merawat pasien mengisi diagnosis sekenanya karena mungkin waktunya terbatas dan sudah ditunggu di tempat lain. Misalnya dokter itu hanya membuat diagnosis HHD ('hipertensif heart disease', sakit jantung membesar karena hipertensi lama) dihargai hanya 3 juta, padahal pasien itu datang dengan sesak napas dan gagal jantung, sehingga diagnosisnya seharusnya HHD 'congestif' yang biasanya dihargai 8 juta.
Kalau rumah sakit menerima mentah-mentah diagnosis si dokter tanpa melihat diagnosis sebenarnya, maka rumah sakit akan rugi 5 juta per pasien. Jika ada dokter di rekam medis yang menelaah satu persatu kasus, maka bisa menyarankan dokter itu memperbaiki diagnosisnya dan dapat harga yang lebih sesuai untuk kasusnya.
Inti dari semua point di atas adalah, bagaimana menghindari pemborosan dengan tidak mengurangi mutu pelayanan dan bagaimana menghindari kerugian dari penagihan yang 'lebih imut' dari yang seharusnya.