PROLOG
Ada yang lebih heroik pada peringatan hari kebangkitan nasional kali ini. Di tengah keprihatinan bersama karena wabah pandemi Covid-19, kita dituntut untuk kembali menggelorakan semangat kebangkitan nasional yang dimiliki bangsa Indonesia. Kita harus melawan lupa dan kemudian mengokohkan lagi semangat patriotisme dalam upaya melawan pandemi global yang menyerang hampir semua negara di dunia.
112 tahun yang lalu, tepatnya 20 Mei 1908, pemuda Indonesia yang didominasi mahasiswa STOVIA melakukan perkumpulan dan mendirikan sebuah pergerakan yang bernama Budi Utomo. Gerakan ini dipimpin oleh mahasiswa kedokteran yang  berintelektual dan sekaligus pemikir di zamannya, seperti Dr. Sutomo, Dr. Gunawan, serta Dr. Wahidin Sudiro Husodo. Namun demikian, meskipun dipelopori oleh para intelektual muda, namun gerakan ini sudah diawali oleh beberapa gerakan sporadis kaum buruh dengan tujuan dan cita-cita yang sama akan lahirnya sebuah bangsa besar yang bernama Indonesia. Dengan didasari semangat persatuan dan kebangkitan inilah pemuda Indonesia bangkit dari masa-masa kegelapan zaman.
Tahun ini, pada momentum peringatan kebangkitan nasional, Indonesia justru dirundung duka dengan adanya penularan wabah global bernama Covid-19. Momentum kebangkitan nasional seharusnya bisa menjadi ghirah bangkitnya semangat pemuda Indonesia agar mereka tidak dalam "keterkungkungan" derita sehingga mereka masuk dalam kelompok yang rentan terhadap dampak pandemi Covid-19. Pemuda Indonesia hari ini harus kembali melahirkan semangat dalam mempelopori persatuan dan kesatuan Indonesia, terutama dalam "memerangi" pandemi global agar Indonesia mampu survive dan bangkit dari keterpurukan.
KONDISI PEMUDA ATAS PANDEMI GLOBAL
Istilah pemuda jika merujuk pada World Health Organization (WHO) dikenal sebagai "young people" yakni individu manusia yang berusia 10-24 sesuai dengan kriteria dari International Youth Year tahun 1985. Sebelum terjadi wabah Pandemi Covid-19, ternyata kaum muda dunia mayoritas dalam kondisi menganggur. Disebutkan oleh International Labour Organization (ILO, 2020), pekerja muda cenderung tidak memiliki pekerjaan dibandingkan dengan penduduk kelompok umur lain. Bahkan ILO (2018), mencatat, terdapat 77 persen anak muda bekerja di sektor informal secara global. Namun  yang lebih menghawatirkan yaitu kelompok umur yang dipekerjakan pada sektor informal adalah perempuan muda di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Kondisi ini banyak terjadi di negara-negara berkembang, meskipun untuk kasus di Indonesia, kelompok pekerja di sektor informal tidak hanya ramai dari kalangan perempuan, akan tetapi cukup berimbang dengan pekerja yang laki-laki.
Ditilik dari kondisi Indonesia, dampak pandemi sangat besar bagi kelompok muda Indonesia. Kondisi ini tak terelakan lagi dan kelompok muda Indonesia menjadi golongan rentan secara ekonomi dan sosial akibat dampak domino yang dihasilkan. Pemerintah Indonesia pun telah memberikan warning, tentang dampak global yang akan menghunjam perekonomian serta mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan. Pada scope ini, upaya pemerintah mengambil tindakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), menjadi kerentanan sendiri bagi kondisi ekonomi dan sosial. Hal ini dikarenakan, karakteristik pengembangan kota-kota di Indonesia dipengaruhi oleh faktor migrasi. Mayoritas kelompok migran adalah usia muda yang bertujuan untuk bekerja ataupun melanjutkan studi. Hal ini sesuai dengan pandangan Prijono Tjiptoherijanto (1999) yang menyatakan urbanization economies adalah faktor yang menjadi pendorong suatu kegiatan usaha yang berlokasi di kota-kota besar sebagai konsentrasi penduduk dan prasarana urban, baik dari sebagai potensi konsumen maupun sebagai sumber tenaga kerja.
Selain faktor ekonomi, secara global dampak pandemi yang juga tidak kalah penting adalah dampak terhadap pendidikan. Seluruh siswa di dunia mengalami gangguan belajar, yang hingga sekarang sulit diprediksi kapan berakhirnya. Gangguan proses belajar ini mayoritas dialami oleh kaum muda dan tentunya akan berdampak negatif pada hasil pembelajaran, perkembangan mental dan kualitas lulusan. Untuk kondisi negara-negara berkembang seperti Indonesia, penutupan sekolah langsung berdampak pada siswa dengan ekonomi lemah, terutama di daerah terpencil yang terbatas akses internet. Kondisi ini makin diperburuk dengan ketidaksiapan SDM pengelola lembaga pendidikan. Inilah beberapa dampak domino pandemi global yang saat sekarang ini menjadi momok menakutkan tidak hanya bagi siswa, kaum muda, namun hampir semua masyarakat Indonesia.
PEMUDA INDONESIA MELAWAN : PENUTUPAN SEKOLAH SELAMA COVID-19
Wabah pandemi global berhasil "menghentikan" dunia pendidikan secara global. Menurut data UNESCO (2020), ada 191 negara melakukan tindakan menutup sekolah. Akibat tindakan itu ada sekitar 91 persen siswa terdaftar atau 1.5 miliar pelajar tidak dapat sekolah. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menengarai bahwa sektor pendidikan yang paling terdampak karena pandemi global akibat tempo penyebaran yang cepat dengan skala yang luas. PBB berupaya maksimal dalam menangani dampak pandemi ini khususnya untuk anak-anak, remaja serta kaum muda yang kurang beruntung secara ekonomi sehingga dampak yang mereka rasakan lebih parah.
Indonesia terus berbenah dalam mengatasi problematika pendidikan karena dampak pandemi ini. Kebijakan pendidikan dengan menerapkan pembelajaran dalam jaringan (daring), memaksa tenaga pengajar sekaligus para pelajar menjalankan proses pembelajaran melalui kontak tak langsung. Kebijakan yang cukup bagus dan sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini, meskipun pemerintah Indonesia lupa, di beberapa daerah tertentu mereka tidak terjangkau jaringan internet.