Mohon tunggu...
POSKO LEGNAS
POSKO LEGNAS Mohon Tunggu... Lainnya - Hukum dan Keadilan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hukum dan Keadilan Masyarakat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Aglomerasi Dalam Permenhub tentang Larangan Mudik dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi

14 Mei 2020   02:11 Diperbarui: 14 Mei 2020   02:26 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mudrajat Kuncoro (2012)

Menjelang perayaan Idul Fitri tahun 2020, tampaknya belum terlihat tanda-tanda menurunnya jumlah korban akibat pandemi Covid-19. Malah, pemerintah resmi mengeluarkan larangan mudik lebaran tahun 2020. Kebijakan larangan mudik yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020, sarat mempunyai argumentasi lemah dan disinyalir akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ada pasal-pasal di dalam Permenhub yang tidak familier dalam perihal peristilahan dan pengertian bagi pemahaman masyarakat. Pada pasal 2 poin c misalnya menyebut istilah “aglomerasi”. Jelas kata itu bagi mayoritas masyarakat sama sekali belum dipahami secara persis makna yang dimaksud. Lebih dari itu, larangan mudik yang merupakan tradisi bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam merayakan Lebaran Idulfitri, berdampak pada pertumbuhan ekonomi, dikarena aliran uang dari kota ke desa-desa sangat deras. Namun, pada lebaran kali ini “tradisi” mudik mendapatkan larangan resmi dari pemerintah. Sejauh apa larangan tersebut menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia?

Upaya pemerintah “memperketat” mudik melalui larangan yang dikeluarkan oleh kementerian perhubungan patut disoroti dengan saksama. Perhatian pada produk hukum itu patut dicermati khususnya pada pasal 2 dan pasal 14. Pada kesempatan ini akan dikupas pasal 2 dan 14 sebagai bagian batasan masalah dalam tulisan ini. Pasal 2 pada Permenhub berbunyi sebagai berikut:

Larangan sementara penggunaan sarana transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berlaku untuk sarana transportasi dengan tujuan keluar dan/atau  masuk wilayah: a. Pembatasan sosial berskala besar; b. Zona merah penyebaran corona virus disease 2019 (Covid-19); dan c. Aglomerasi yang telah ditetapkan sebagai wilayah pembatasan sosial berskala besar.

Pasal tersebut menyebutkan istilah aglomerasi. Namun, Permenhub tersebut tidak menjelaskan secara rinci maksud istilah tersebut. Kemudian pasal 14 pada poin c, d dan e yang berbunyi sebagai berikut:

c. kapal penumpang yang melayani transportasi rutin nonmudik untuk pelayaran lokasi terbatas dalam satu argomerasi kecamatan dengan ketentuan dan persyaratan pelayaran dilakukan antarpulau atau pelabuhan dalam wilayah satu kecamatan yang tidak dalam penetapan pembatasan sosial berskala besar atau zona merah penyebaran corona virus disease 19 (Covid-19);

d. kapal penumpang yang melayani transportasi rutin nonmudik untuk pelayaran terbatas dalam satu aglomerasi kabupaten dengan ketentuan dan persyaratan pelayaran dilakukan antarpulau atau pelabuhan dalam wilayah satu kabupaten yang tidak dalam penetapan pembatasan sosial berskala besar atau zona merah penyebaran corona virus disease 19 (Covid-19);

e. kapal penumpang yang melayani transportasi rutin nonmudik untuk pelayaran lokasi terbatas dalam satu aglomerasi provinsi dengan ketentuan dan persyaratan pelayaran dilakukan antarpulau atau pelabuhan dalam wilayah satu provinsi yang tidak dalam pembatasan sosial berskala besar penyebaran corona virus disease 19 (Covid-19).

Berulang kali istilah aglomerasi disebut. Kementerian Perhubungan hanya menjelaskan tentang makna istilah aglomerasi sebagai satu kesatuan wilayah yang terdiri dari beberapa pusat kota dan kabupaten yang saling berhubungan. Pengertian yang disampaikan Kementerian Perhubungan patut mendapat koreksi yang serius. Sebagai produk hukum tentunya Permenhub diharapkan mempunyai pengertian dalam setiap pasalnya “familier” dalam pemaknaan semestinya dan mendapat penjelasan dengan rinci atau sedetail mungkin.

Meminjam istilah ekonomi kependudukan yang dikemukan oleh Mudrajat Kuncoro (2012), Istilah aglomerasi adalah kumpulan klaster industri. Namun klaster atau superklaster tidak dapat diidentikan dengan suatu kota. Menurutnya, sebenarnya literatur ekonomi kependudukan tidak membedakan aglomerasi dan klaster. Ia mencontohkan pendapat Montgomery (1988) tentang aglomerasi sebagai konklastersi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena “penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan klaster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen.”

Dari konteks istilah aglomerasi yang disebutkan oleh Permenhub tersebut dengan penyebutan pasal-pasal yang ada di dalamnya, sebenarnya masih tampak “klise.” Maksud pemaknaan yang sesungguhnya dari istilah aglomerasi pada Permenhub, secara faktual tidak masuk dalam cakupan definisi ekonomi kependudukan yang dimaksud oleh para ahli seperti yang disebut di atas. 

Menurut Mudrajat Kuncoro (2012), ketika terjadi perkembangan konsep dan paradigma tentang aglomerasi pada perspektif klasik atau modern, maka dapat dimaknai bahwa secara perspektif klasik aglomerasi merupakan bentuk spasial dan diasosiasikan dengan konsep “penghematan akibat aglomerasi.” Sementara itu, secara perspektif modern menunjukkan beberapa definisi pada lingkup ekonomi perkotaan, aglomerasi dinyatakan sebagai hasil dari produksi aglomerasi secara spasial. Untuk lebih jelasnya akan di deskripsikan melalui gambar 1.

Jika dapat meninjau istilah algomerasi pada konteks ekonomi kependudukan, maka pilihan diksi yang dimaksud dalam Permenhub Nomor 25 Tahun 2020, maka perlu ditegaskan makna sesungguhnya secara teoritik agar peraturan menteri tersebut tidak lemah secara argumentasi hukum. Sebab, dari pasal yang disebutkan di atas yakni pasal 2 dan pasal 14, terminologi aglomerasi belum dapat mengikat secara definisi yang lebih pasti dan jelas.

Selain itu, secara faktual yang telah terjadi, sesungguhnya mudik sudah banyak dilakukan perantau sepanjang awal bulan Ramadan tahun 2020. Jika diamati, meskipun telah terbit Permenhub setidaknya ada tiga hal kondisi krusial yang telah dilanggar para pemudik, karena lemahnya aturan menteri tersebut. Pertama, Permenhub tersebut menyebutkan pasal larangan mudik. Namun demikian, larangan mudik tersebut berlaku pada daerah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kondisi ini tidak mencakup daerah yang tidak PSBB, sehingga berakibat longgarnya larangan mudik. Implikasi yang terjadi, Permenhub hanya akan efektif di daerah Jawa dan itupun pada daerah yang diputuskan sebagai zona merah seperti Jabodetabek, Bandung Raya dan Surabaya Raya.

Kedua, Permenhub melakukan larangan mudik dikecualikan untuk sarana transportasi darat yang ada dalam satu wilayah aglomerasi. Hal ini tentu berimplikasi melanggar Permenhub, sebab diperbolehkannya mudik intrawilayah aglomerasi yang jumlahnya juga tidak sedikit. Jika mudik intrawilayah aglomerasi dilanggar maka akan melemahkan efektivitas PSBB.

Ketiga, meskipun Permenhub sudah terbit dan berlaku, tetap saja pelanggaran akan terus berjalan. Hal ini berlaku selama Kereta Rel Listrik Commuter line atau KRL Jabodetabek masih beroperasi. KRL Jabodetabek ini merupakan media yang signifikan dalam penyebaran virus Covid-19.

Pelaksanaan Permenhub Nomor 20 Tahun 2020 tentang larangan mudik jelas akan berimplikasi pada aspek ekonomi negara. Ada “tradisi” dalam setiap lebaran yakni mudik yang berimplikasi pada derasnya aliran uang dari kota ke desa. Hal itu jelas akan mendorong konsumsi masyarakat. Khususnya bagi pemudik dengan moda darat, jelas akan mendorong geliat ekonomi daerah dimana pemudik dapat singgahi. Secara teori mobilitas penduduk, Prijono Tjiptoherijanto (1999) menjelaskan bahwa perpindahan mobilitas orang akan diikuti oleh pengeluaran atau peningkatan konsumsi rumah tangga. Dengan meningkatnya konsumsi rumah tangga, maka berimplikasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika hambatan orang mudik terjadi secara masif tentu tidak dihindari dampaknya, yakni perekonomian akan anjlok dan berakibat pada pertumbuhan ekonomi Indonesia terganggu.

Permenhub merupakan kebijakan pemerintah dalam mempercepat pemutusan penyebaran virus Covid-19. Namun, Permenhub tersebut terasa “pongah” dalam artikulasi dan esensi yang diharapkan oleh masyarakat. Terdapat istilah algomerasi yang secara akademik mempunyai tafsir yang kurang tepat dalam mengartikulasikan pelarangan mudik pada lingkup wilayah yang tidak memberlakukan PSBB maupun pada lingkup wilayah yang memberlakukan PSBB. Oleh karenanya, diharapkan Permenhub tersebut dapat kembali dievaluasi dan mendapatkan perbaikan-perbaikan dari segi artikulasi maupun subtansi.

Pemberlakuan Permenhub tentang larangan mudik, jelas akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Ini bertentangan dengan kejadian yang sudah berjalan puluhan tahun yakni mentradisikan mudik sebagai budaya silaturahmi saat lebaran. Namun, esensinya secara ikutan terjadi transformasi kesejahteraan ekonomi “kagetan” penduduk desa berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi.

Akar utama pandemi Covid-19 adalah kesehatan. Namun, porsi perhatian pemerintah masih dominan dari sisi dampak ekonomi semata. Oleh karena itu, pemerintah seyogyanya bisa arif dalam menyelesaikan pandemi Covid-19 bersama para pakar bidang kesehatan maupun dengan para pakar kesehatan masyarakat. Hal ini agar kebijakan yang diambil tidak timpang dan tampak “pongah.”[Rz]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun