Mohon tunggu...
Portgas D Ace
Portgas D Ace Mohon Tunggu... -

not born to write, but learn to,

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Piala Dunia dan Sebuah Cinta Bernama Sepak Bola

1 Juli 2014   03:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:03 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14041817381793606595

Love = Football / sportskeeda.com

Malam itu, ketika Brazuca untuk pertama kalinya mengecup hamparan rumput hijau di Arena Corinthians, Sao Paulo, tepat di tengah-tengah pemain-pemain Brazil dan Kroasia, seluruh dunia menahan nafas, bersiap menyaksikan sejarah. Malam itulah, dibawah tatapan jutaan pasang mata, Piala Dunia ; pesta olahraga terbesar di jagat raya, dimulai.

Itulah saat dimana semua pemain sepakbola menanggalkanbadgeklub kebesaran mereka masing-masing dan bersatu dibawah bendera dari tempat mereka berasal. Tak ada lagi Real Madrid atau Barcelona, tak ada lagi Arsenal, Chelsea atau Liverpool. Ramos dan Pique bersalaman, menggalang pertahanan Spanyol, begitu pula Xabi Alonso dan Andreas Iniesta di lapangan tengah. Lampard, dan Gerrard bahu-membahu dibawah bendera The Three Lions, melupakan persaingan mereka yang sengit di Liga Premier. Marcelo dan Neymar berlari bersama di sepanjang poros kiri Brazil, susul-menyusul, melupakan El Classico, fokus untuk merebuthexacampeonatodi halaman rumah mereka sendiri.

Di kalangan para fans, tak ada lagi segmentasi antar-klub. Di Italia, tak ada lagi Milanisti, Romanisti, Interisti, dan Juventini, mereka melupakan Serie A, serentak mendukung Gli Azzuri. Sementara di semenanjung Iberia, seperti pemain-pemain mereka, Cules dan Madridista bersatu untuk Spanyol. Hal yang sama terjadi di seluruh dunia. Jersey mereka berganti. Fanatisme klub sudah dikalahkan oleh nasionalisme, setidaknya untuk tiga puluh hari kedepan.

Lalu, disaksikan dunia, sejarah-sejarah kembali diciptakan, gol-gol dilahirkan, dan selebrasi kembali dirayakan. Dalam waktu dua pekan sejak kick off Brazil versus Kroasia, 136 gol tercipta dari 48 laga. Jutaan fans bersorak, menangis, tersenyum, atau tertawa demi gol-gol itu. Para pemenang dan pecundang mendapati diri mereka sendiri dipuji atau dicaci oleh seluruh dunia. Dalam pada itu, Brazuca terus mengalir lincah di Corinthians, Maracana, Mineirao, Aderaldo Castelo, hingga di Fonte Nova, dimainkan oleh kaki-kaki Cristiano Ronaldo, Didier Drogba, atau Andreas Iniesta. Mencari tim terbaik yang bisa membawa trofi emas Silvio Gazzaniga. Sementara sepakbola dimainkan dalam berbagai gaya ; Jogo Bonito, Total Football, Kick and Rush, Catenaccio, hingga Tiki Taka.

Banyak kisah yang tercipta disana, mulai dari cerita pengkhianatan Diego Costa hingga kisah heroik Lionel Messi bersama Argentina. Mulai dari aksi terbang van Persie, hingga gigitan Suarez terhadap Chiellini. Lalu ada kisah tragis tersingkirnya negara-negara besar yang menjadi kiblat sepakbola dunia, -Inggris, Spanyol, Portugal, dan Italia- sementara kejutan datang dari negara-negara semenjana seperti Chile, Aljazair, Yunani, Nigeria, dan Kostarika. Cerita-cerita itu terkadang diwarnai intrik dan kontroversi yang menyegarkan dan selalu menarik untuk diikuti. Semua itu terangkum dan terekam dalam berbagai warna, yang menghabiskan tinta para jurnalis dari seluruh penjuru dunia.

Dalam sebuah potret, piala dunia memberikan sebuah cerita yang benar-benar lengkap. Semua terkandung didalamnya. Inilah kisah tentang perjuangan, mimpi yang terpenuhi, harapan yang menjadi kenyataan, cinta yang berbalas, dan sebaliknya. Semua itu berbalut dalam teriakan, nyanyian, tangis, haru, selebrasi, hingga kontroversi. Dari sisi lain, Piala Dunia adalah kisah yang tidak bisa diprediksi. Contoh nyata datang dari La Furia Roja. Tak ada yang bisa membayangkan Spanyol, juara piala dunia di Afrika Selatan 2010 dan Euro 2012, bisa dibantai Belanda 5-1 dan dibungkam Chile 2-0 pada awal perjalanan mereka di Brazil, yang membuat mereka angkat koper lebih cepat. Sementara itu kejutan datang dari sebuah negara di Afrika. Seorang fans Aljazair terlihat mengadahkan tangannya ke langit diatas Arena da Baixada ketika negaranya berhasil menahan imbang Rusia milik Fabio Capello dan menyusul Belgia ke babak knock out. Seperti itulah sepakbola. Piala dunia adalah gambaran banyak cerita yang menjadi potret sebuah olahraga bernama sepakbola.

"Sepakbola sejatinya hanyalah permainan sederhana. 22 laki-laki mengejar bola selama 90 menit.”

Gary Lineker bukanlah dikenal sebagai bagian dari sekelompok orang yang skeptis terhadap sepakbola. Ia adalah salah satu penyerang Inggris pada akhir abad ke-19 yang pernah bermain di klub-klub seperti Leicester City, Everton, Tottenham Hotspur hingga Barcelona. Di timnas Inggris ia menciptakan 48 gol dari 80 laga. Tentu bukan catatan yang buruk untuk seorang pesepakbola. Tetapi lewat pernyataan tersebut, ia, secara sadar atau tidak, mengemukakan pandangannya tentang sepakbola yang terkesan sarkastik. Kalimat-kalimat semacam ini bisa ditemukan di Wikipedia atau Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sepakbola secara formal memang seperti itu. Sesederhana itu. Tak ada yang salah. Namun jika pandangan sarkastik itu di zoom sedikit saja, akan ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan disana. Hal-hal yang mungkin tidak sepenuhnya bisa dimengerti oleh“the outsider”, orang-orang luar yang tahu sepakbola hanya dari kerusuhan di dalam stadion.

"Fisika kuantum lebih sederhana dari sepakbola.”

Sejatinya kalimat ini tidak diucapkan oleh seorang pesepakbola seperti Gary Lineker atau manajer sekelas Sir Alex Ferguson. Ia keluar dari seorang“outsider”bernama Stephen Hawking.And that’s not just a Stephen Hawking. Ia adalah salah satu ilmuwan dan atau selebritis akademika yang terkemuka di dunia. Darinya lahir teori-teori fisika kuantum yang terkenal ; teori kosmologi, gravitasi kuantum, lubang hitam dan radiasi hawking. Ia adalah Da Vinci’s Today. Penghargaan-penghargaannya berderet panjang sepanjang karpet merah Ratu Elizabeth ;Eddington Medal,Hughes Medal,Albert Einstein Medal,Franklin Medal,Order of the British Empire,Gold Medal of the Royal Astronomical Society,Wolf Prize, Prince of Asturias Awards,Companion of Honour,Julius Edgar Lilienfeld Prize, dan Copley MedalPresidential Medal of Freedom. Retorikanya yang terkesan nyentrik itu tentu tak perlu di perhatikan dan atau dibenarkan secara berlebihan ; itu keluar dari seorang profesor fisika jenius yang terlihat sudah bosan dengan kejeniusannya. Namun setidaknya, ada sebuah kesan yang bisa dilihat dari sang profesor melalui pernyataannya bahwa sepakbola tidaklah sesederhana itu.

Sepakbola adalah tentang bagaimana memasukkan bola ke dalam gawang lawan. It’s all about goal.Sebuah tim boleh saja menguasai bola hingga 70% selama 2 x 45 menit. Namun itu tak akan berguna jika mereka tak membuat gol. Gol adalah hal terpenting dalam permainan ini. Dan demi tujuan itu, berbagai jalan, strategi dan gaya bermain diterapkan. Orang Inggris yang keras, misalnya, mereka lebih suka memainkan sepakbola fisik. Kick and Rush. Mereka membuat gol dengan umpan-umpan panjang yang dikejar oleh kecepatan yang dimiliki para pemainnya ; direct football. Sementara orang-orang dari Spanyol lebih sabar, mereka menikmati setiap pass dan bermain dalam umpan-umpan pendek yang membunuh. Mereka membongkar pertahanan lawan sesabar Thomas Alfa Edison menemukan lampu pijar. Seringkali gaya permainan mencerminkan kepribadian suatu bangsa, Inggris yang keras dengan Kick and Rush yang agresif, Belanda yang ekspansif dengan Total Football yang offensif, atau Brazil dengan Jogo Bonito-nya ; mereka menggiring bola seringan mereka menari Samba.

Gaya permainan yang tak sama tentu saja membutuhkan kualitas pemain yang sangat berbeda. Sepakbola Inggris menuntut para pemainnya untuk memiliki kecepatan dan kekuatan fisik yang tangguh. Gelandang-gelandangnya diharuskan menjadi pengoper jarak jauh yang hebat. Mereka tidak takut melakuanbody chargeatau kontak fisik demi menciptakan atau mencegah gol kedalam gawang. Gol-gol tercipta dari tendangan keras melengkung yang indah dari luar kotak pinalti, kemelut di depan gawang, atau sundulan terarah yang menyambut umpan para pemain sayap. Permainan mereka cepat menimbulkan kebingungan bagi lawan-lawannya. Sementara di Iberia, para pemain-pemain Spanyol memiliki karakteristik yang berbeda, mereka anggun dan sabar diatas lapangan. Gelandang-gelandangnya memiliki kemampuan untuk mengatur ritme di lapangan tengah dengan membagi bola secara teratur kepada para penyerang dan secara mengejutkan bisa memberi umpan terobosan yang tidak bisa dipercaya. Mereka tidak akan membiarkan lawan menguasai bola terlalu lama. Para penyerangnya memiliki daya jelajah yang tinggi. Mereka bisa menemukan ruang kosong yang lolos dari jebakan offside. Kebanyakan skenario itu akan berakhir ketika striker mereka berhadapan satu lawan satu dengan penjaga gawang lawan. Lalu gol tercipta dari sontekan pelan yang anggun atau umpan tarik nan cantik yang disambar oleh pemain yang berada di lapis kedua. Mereka menciptakan gol seindah dan serumit Salvaldor Dali melukis Dream Caused Flight Bumblebee Around Pomergranate Second Before Awakening. Lalu masih ada lagi Total Football milik belanda, Catenaccio dari Italia, hingga Jogo Bonito dari Brazil. Semua itu kemudian dikombinasikan dengan komposisi pemain diatas lapangan, faktor teknis dan non teknis, psikologi, dan hal-hal lainnya. Semuanya bermuara pada satu hal penting ; gol.

Masalahnya menjadi sedikit lebih rumit ketika sepakbola menjadi olahraga paling populer di muka bumi dan hal“memasukkan bola kedalam gawang”itu merupakan hal yang ingin dilihat dan atau dharapkan oleh jutaan orang di seluruh dunia. Sorakan kegembiraan atau teriakan kecewa ratusan juta penggemar sepakbola di seluruh dunia hanya ditentukan oleh momen-momen kecil yang vital diatas lapangan. Secara reaktif, hal itu akan menimbulkan ekpetasi yang menyebabkan tekanan. Di negara-negara maju, pemain sepakbola, -mau tidak mau- menjadipublic figuryang dikenal oleh orang banyak. Setiap tingkah laku pemain akan diawasi oleh jutaan mata dan jurnalis yang sudah bersiaga dengan pena di dalam genggaman tangan mereka. Saat ini bukan lagi zaman dimana Duncan Edwards digaji 15 pound per pekan atau masa dimana Bobby Charlton merendam kakinya yang cidera didalam es sepanjang malam agar bisa bermain melawan Charlton Athletic keesokan harinya. Saat ini adalah masa dimana sepakbola, lebih dari sekedar 22 orang pemain mengejar bola selama 90 menit.

Sepakbola sudah berubah menjadi sebuah identitas. Para fans menyebut diri mereka The Reds, The Blues, The Citizen, Juventini, Madridista, Evertonians, The Gunners hingga The Jackmania atau Bonek ; “The Bondo Nekat”. Mereka dengan bangga mereka mengenakan logo klub masing-masing dan menciptakan komunitas-komunitas besar yang menyebabkan kapitalis mengintip-intip dari balik pintu untuk mencari keuntungan finansial. Semua itu tidak akan terjadi hanya karena ada 22 orang yang saling mengejar berebut bola tanpa makna.

Ada sebuah alasan mengapa Evertonian selalu membuat Goodison Park selalu bergemuruh di setiap akhir pekan, padahal The Tofees belum pernah mengangkat Trofi Liga Premier selama lebih dari dua dekade. Alasan itu tidak akan jauh berbeda dengan alasan Romeo Montaque ketika ia berani memanjat sebuah jendela di Verona untuk menemui gadis pujaannya atau ketika ia nekat mengakhiri hidupnya. Alasan itulah cinta. Di Inggris, cerita tentang Ian Rush dan kawan-kawannya yang membawa The Kop berjaya pada tahun 80-an mungkin lebih populer daripada ceritaJack and The Beanstalk. Anak-anak lebih suka mendengar kisah-kisah legenda tentang Eric Cantona, Zidane, Pele, David Beckham atau Maradona daripada mendengar sejarah Inggris di masa revolusi industri. Seperti itulah sedikit kisah tentang sepakbola di era modern. Memisahkan sepakbola dari masyarakat modern hari ini sama saja dengan menceraikan langit dengan awannya. Tak mungkin. Sepakbola sudah menjadi sebuah realita sekaligus drama berbalut intrik yang seringkali epik.

Sepakbola sesungguhnya lebih dari sekedar sepakbola. Ia adalah cinta. Saat ini, cinta itu dinyanyikan selama sembilan puluh menit di Maracana, Mineirao, Aderaldo Castelo, hingga di Garrincha dan Fonte Nova oleh fans yang datang dari seluruh penjuru dunia. Cinta itu ada didalam genggaman tangan setiap fans yang berharap-harap cemas pada menit ke delapan puluh lima, saat tim mereka sedang unggul satu-nol. Cinta itu ada pada harapan setiap fans yang rela duduk didepan layar kaca pada pukul dua dini hari. Cinta itu ada pada setiap perayaan gol para pemain sepakbola yang berlari hingga setengah lapangan bersama rekan-rekannya. Cinta itu ada di air mata tangis setiap pemain dan penggemar yang kecewa karena kekalahan atau terharu karena kemenangan.Football is more than just a sport. Its a bond. Called love.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun