Di sini, di Orabaru, satu-satunya tempat kumpul-kumpul adalah kedai kopi milik Tante Marika. Seseorang berbaju seragam seperti pejabat masuk ke dalam kedainya. Orang yang berbaju seragam seperti pejabat itu adalah Tuan Harumoko. Tuan Harumoko menyerahkan kepadanya surat perintah yang ditandatangani oleh Yang Mulia Haratakuwasa, penguasa negeri Orabaru kalau perbincangan politik di kedai kopi akan dianggap melanggar.
“Tapi tak ada seorang pun di kedai ini yang tahu apa itu politik,” bantah Tante Marika. “Tak seorang pun di kedaiku bicara politik.”
“Jadi apa saja yang diperbincangkan orang-orang di kedaimu?” tanya Tuan Harumoko penasaran.
“Ya macam-macam, tapi bukan politik, di sini orang-orang cuma membicarakan harga, upah, pajak dan hukum.”
“ Itulah, perbincangan hal-hal seperti itulah yang menurut surat perintah Yang Mulia tak boleh lagi dibicarakan orang-orang di kedaimu ini,” kata Tuan Harumoko.
“Dan berlaku bukan hanya di sini, surat perintah Yang Mulia Haratakuwasa juga telah disebarkan ke seantero negeri. Upah, harga, pajak dan hukum tak boleh lagi dibicarakan di tempat-tempat umum,” ujar Tuan Harumoko
“Kalau begitu kami tidak boleh lagi berdebat tentang apapun, “ ucap Bung Budman.
“Betul sekali Bung Budman, “kata Tuan Harumoko tersenyum puas. “Ya, semua perbincangan dan perdebatan tentang itu semua dilarang, itu intisari dari keputusan Yang Mulia. Tidak boleh lagi ada perdebatan, harus ditiadakan. Lagi pula apa manfaatnya? Apakah orang lapar dapat hidup dari perdebatan? Tidak ada gunanya, lebih baik ditiadakan.”
Saat Bung Budman sepertinya telah mengerti dan sepakat dengan dirinya, Tuan Harumoko sangat senang. Saking senangnya ia menerima begitu saja usul Bung Budman agar pengumuman yang akan di pasang di dinding harus dikoreksi dan di direvisi biar jelas. Ia sendiri yang menulis di atas kertas putih yang besar. Kata-katanya pun dirubah sebagai berikut:
Semua Perdebatan Politik Dilarang disini, Atas Perintah Yang Mulia Haratakuwasa.
Bung Budman mengawasi pemasangan pengumuman ini yang dipasang tinggi di dinding di luar kedai. Sikap relanya membuat kami terheran-heran. “Jangan ada, siapapun yang menyentuhnya, mengotori apalagi merusaknya,” katanya dengan tegas.