Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Altruistik

22 Desember 2020   23:30 Diperbarui: 29 Desember 2020   23:53 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

( Untuk semua ibu)

Di ujung sebuah jalan setapak, di pinggir kota, ada sebuah gubug kecil. Gubug itu sangat reyot. Kayu-kayu yang membentuknya sudah banyak keropos dimakan rayap. Atapnya juga sudah lusuh. Gentingnya banyak yang sudah pecah dan bolong di banyak tempat. Terbayang apa yang terjadi bila hujan deras turun menimpanya. Gubug kecil itu memiliki hanya satu jendela kecil dan pintu yang sudah lepas dari engselnya. Untuk menutup dan membukanya harus mengangkat sedikit lalu menggesernya ke kanan atau ke kiri. Pintunya pun sudah keropos sana-sini. Lantainya sepertinya dulunya disemen dan sudah gompal di sana-sini sampai kelihatan tanahnya. Masuk ke dalam gubug, hanya ada sebuah dipan tua dengan beralaskan sebuah tikar pandan yang sudah rombeng. Dia samping dipan ada sebuah meja kecil yang dekil dan lusuh.

Dulu gubug kecil itu dihuni seorang ibu dan anak. Mereka hanya tinggal berdua saja. Bu Marni dan anaknya Adi. Suami bu Marni sudah lama meninggal karena sakit yang kronis. Ia sebenarnya punya seorang adik, lima tahun yang lalu adiknya bekerja TKI ilegal di timur tengah. Setelah itu tak ada lagi kabar tentang adiknya tersebut. Sang suami juga punya saudara di kota lain, namun kabarnya keadaanya  tak jauh berbeda dengannya. Untuk menyambung hidup ia dan anaknya sehari-harinya mengumpulkan botol-botol kemasan plastik lalu dijual ke pengepul. Terkadang ia menawarkan jasa mencuci pakaian kepada tetangga-tetangga sekitar.

Gubug itu sudah lama kosong. Bu Marni dan Adi anaknya telah lama pergi meninggalkan dunia. Meskipun mereka berdua sudah tak ada, namun ada kisah dan cerita-cerita yang melekat seputar  mereka.

Sekitar setahun yang lalu.

Di atas dipan terbaring seorang anak kecil kurus. Sebuah selimut rombeng kecil tak bisa menutupi semua tubuhnya. Badanya menggigil. Sejak kemarin malam ia demam. Di sisinya duduk ibunya menemani anak semata wayangnya.  Raut wajahnya diliputi rasa cemas dan risau. Wajar ia cemas dan risau karena adi, anaknya,  adalah miliknya satu-satunya yang paling berharga dan ia sayangi. Sedari semalam ia menunggui dan menjaganya, mengompres keningnya dengan handuk kecil yang dicelupkan ke dalam baskom kecil berisi air dingin untuk mengurangi panas demamnya. Sepanjang malam ia terjaga, memeriksa kening dan lehernya anaknya, kemudian mengompresnya lagi. Demikian ia lakukan itu berulang-ulang.

Marni semakin cemas sebab sampai sinar mentari pagi menerobos ke gubugnya lewat lubang-lubang dinding dan atapnya, panas deman anaknya tidak turun-turun. Anaknya terbangun membuka matanya dan lalu memanggil ibunya, 'Ibu." Suaranya lemah, hampir seperti berbisik, sampai sampai ibunya mendekatkan telinganya, "ya nak." "Ibuu belikan aku obat, aku sudah tak tahan." "Ya nak," ibunya lalu membuka laci kecil meja yang sudah rusak, dan mengambil dompet kecilnya. Ia membukanya dan berbisik dalam hati, "cukup lah buat beli obat." Lalu ia ia menghampiri anaknya dan menyentuh keningnya, " Nak, ibu pergi sebentar ya ke toko obat." Anaknya mengangguk lemah.


Bu Marni berjalan kali bergegas menuju toko obat di pusat kota, sekitar empat kilometer jauhnya. Untuk sampai ke toko obat, ia harus melalui jalan tanah setapak sejauh tiga ratus meter. Di sisi kiri dan kanannya ditumbuhi semak-semak, dan juga beberapa pohon rimbun. Setelah itu bersambung dengan jalan kecil beraspal namun rusak parah, berlubang lubang sepanjang jalan. Di sepanjang jalan kecil itu terdapat beberapa rumah. Bila musim hujan tiba, jalan kecil tersebut lebih mirip di sebut selokan karena hampir tertutupi air yang menggenangi lubang-lubang di hampir sepanjang jalan. Bu marni berjalan hati-hati menghindari lubang-lubang, karena kalau tidak kaki bisa cedera.


Sampailah ia di tepi jalan raya menuju pusat kota. Dua kilo meter lagi ke pusat kota. Bu marni terus bergegas berjalan menyusuri tepi jalan raya. Hanya sedikit ruang tersisa untuk pejalan kaki, sebab di tepi jalan ada selokan besar. Di tambah lagi kendaraan bermotor yang melintas jalan raya jarang yang berkendara perlahan, kebanyakan berkendara dengan kencang. Jadi ia harus berjalan cukup hati hati.


Lebih duapuluh menit sedikit, sampailah ia di pusat kota. Lalu ia menuju pasar kota, di sanalah macam macam toko dan warung menjual aneka ragam barang.  Tepat di sudut perempatan jalan, terlihatlah toko obat yang ia cari. Ia pun bergegas masuk ke dalam toko tersebut. Di dalam toko sudah ada 5 orang yang mengantri. Ia pun menengok kiri kanan, "nah itu ada bangku kosong." Di sudut ruang toko ada bangku kosong. Ia pun melangkah cepat menuju bangku kosong itu.  Rasa lega terpancar dari wajahnya yang kelihatan lelah saat duduk di bangku. Sambil menunggu antrian, ia bisa istirahat sejenak, setelah berjalan kaki sekian jauh. Namun matanya tak lepas dari antrian, takut di salip orang lain yang baru datang. Sepuluh menit berlalu akhirnya ia ke depan etalase dan berkata kepada pegawai toko, "mas beli obat buat demam, anak saya sedari semalam panasnya tinggi dan tidak turun-turun." Pegawai toko menatapnya, dan bertanya, "sudah dibawa ke dokter bu anaknya?"  Bu Marni menggeleng, "belum Mas, saya gak punya uang. Si pegawai toko terus menanyainya lagi, "kan ada BPJS bu? Bu marni dengan cepat menimpali, " gak punya mas, lagian saya takut kena corona kalau ke dokter dan rumah sakit, duh maaf mas, jangan banyak nanya dulu, saya lagi buru-buru, anak saya harus segera minum obat." Si pegawai toko menuruti, "baik bu"  ia pun bergegas mengambil obat yang diminta bu Marni.  "Ini bu obatnya." Bu marni tanpa berkata-kata lagi langsung membayar dengan uang pas dan cepat-cepat keluar dari toko obat tersebut. Sayup-sayup ia mendengar si pegawai toko berkata, "semoga cepat sembuh ya bu anaknya."


Bu Marni kembali menyusuri jalan yang sama, berjalan kaki, kembali pulang. Langkah-langkahnya cepat, hampir setengah berlari. Ia hampir tak menghiraukan lagi kendaraan-kendaraan yang berjalan kencang. Di tengah perjalanan, tak jauh di depan Ia melihat seorang nenek tua menggendong seorang anak perempuan kecil di tepi jalan. Tepat sesaat akan melewati mereka, nenek tua itu mencegatnya dan meratap, " ibu tolong cucu saya, badannya panas sekali. Ia perlu obat, tapi saya tidak punya uang untuk beli obat." Bu Marni kaget dan heran. Perasaan dia saat melewati jalan ini menuju pusat kota, tidak ada nenek-nenek tua yang menggendong anak kecil, "nenek, saya tidak punya uang, tapi saya punya obat, itupun untuk anak saya yang lagi sakit keras." Si nenek tua kembali meratap dengan wajah menghiba, "Tolonglah bu cucu saya ini, lihat lah mukanya pucat sekali." Bu Marni pun menatap wajah bocah kecil yang digendong si nenek tua itu. Ia pun menjadi iba, ia bergumam dalam hati, "duh kasihan sekali bocah ini, mukanya pucat sekali, bila tak segera diobati, bisa-bisa tak tertolong nyawanya." Bu Marni lalu menaruh tangannya di kening bocah kecil itu, " nenek, saya tidak punya uang, saya hanya punya obat untuk anak saya. Bila obat ini bisa menyembuhkan dan menyelamatkan cucu nenek ini, saya ikhlas memberikan obat ini untuk cucu nenek." Bu Marni pun lalu meyerahkan bungkusan berisi obat untuk anaknya kepada si nenek tua. Wajah cemas dan sedih si nenek tua itu pun berangsur-angsur hilang, "Terima kasih banyak bu, semoga Tuhan membalas kebaikan ibu." Bu marni memegang tangan si nenek dengan lembut, "Iya nek, cepat nenek kembali pulang, dan segera obati cucu nenek itu." Si nenek tua sambil menggendong cucunya, bergegas menyusuri jalan setapak. Bu marni memandang mereka, sampai mereka tak tampak lagi, menghilang di balik pepohonan.


Bu Marni menghela nafas, "duh bagaimana saya menjelaskan ke anak saya, kalau obat untuknya telah saya berikan ke anak orang lain." Sambil memikirkan kata-kata untuk menjelaskan kepada anaknya, ia terus berjalan cepat-cepat. Bahkan dia tak lagi berhati-hati melangkah di jalan kecil yang berlubang-lubang. Beberapa kali kaki nya menginjak lubang, Namun ia tak lagi menghiraukan rasa sakit dan lelah di kakinya.
Sampailah Bu Marni di depan gubugnya. Ia berhenti dan terdiam sejenak sambil menghela nafas, lalu menggeser pintu pelan-pelan. Namun bunyi berdecit yang keluar dari pintu yang digeser cukup membuat anaknya terjaga dan menoleh ke arah pintu, "Ibu sudah pulang, ibu dapat obatnya? " Bu Marni tidak segera menjawab. Perlahan-lahan Ia mendekati anaknya, mengusap-usap keningnya, lalu dengan kata-kata yang lembut ia menceritakan kejadian ia memberikan obat tersebut untuk anak orang lain yang sangat membutuhkan. Setelah menceritakan kejadian terebut Bu Marni sudah siap dan pasrah bila anaknya marah dan menyalahkan dirinya. Namun tak terduga, berbeda dengan yang ia bayangkan, anaknya tidak marah malah mengamini tindakan ibunya, "tidak apa-apa bu, ibu sudah berbuat yang benar sebab  anak itu lebih membutuhkannya." Mendengar jawaban anaknya yang tak disangka itu ia pun menangis. Anaknya meraih lengan ibunya dengan lembut, "Ibu jangan menangis, mudah-mudahan esok atau lusa keadaan saya akan membaik. Ibu juga sebaiknya tidur, istirahat, semalaman ibu kurang tidur."  Bu Marni mengangguk, " iya ibu capek dan ngantuk sekali. Ibu tidur sebentar dulu ya nak."  Bu marni lalu menggelar tikar di lantai di sebelah dipan dan langsung merebahkan diri. Tak sampai dua menit ia pun tertidur.


Dalam tidurnya Bu Marni bermimpi, ia bersama suaminya dan anaknya pergi bertamasya ke pantai yang indah. Anaknya begitu gembira berenang dan bermain-main dipantai bersama ayahnya. Namun saat bermain di tepi pantai nan indah tersebut, tiba-tiba muncul gulungan ombak yang membentuk seperti tangan, dengan cepat mencengkeram kaki lalu menariknya ke dalam laut. Bu Marni tersontak bangun dari tidurnya dan menjerit, "Adi anakku. Jangan ambil anakku." Ia menoleh ke arah anaknya. Masih ada, masih berbaring di dipan, Ia pun berguman, " kiranya hanya mimpi."
Bu Marni bangun dan berdiri, lalu duduk di tepi dipan. Ia memanggil anaknya dengan lembut, "Adi." Tak ada respon. " Mungkin masih tidur," pikirnya. Kemudian ia menyentuh kening anaknya, " eh sudah tak panas lagi, malah dingin. " Lanjut ia menyentuh leher, dada, sampai ke kaki, "dingin." Bu Marni pun cemas, lalu ia pun memeriksa denyut nadinya, tak berdenyut. Nafasnya, juga tak ada. Tangis Bu Marni pun pecah, dan menjerit, "Adiii anakku! bangun nak, bangun, jangan tinggalkan Ibu nak!" Ia terus menerus menjerit, "toloong!"Sampai akhirnya jeritannya terdengar oleh seorang tetangga terdekat. Pak joko, seorang pensiunan polisi, menyimak suara jeritan itu, "sepertinya ada suara perempuan minta tolong dari ujung jalan setapak, ada apa ya?" Ia pun bergegas cepat menyusuri jalan setapak, dan suara jeritan itu pun makin terdengar jelas. " Itu kedengarannya seperti suaranya Bu Marni," gumamnya. Sesampainya ia di ujung jalan setapak, ia melihat Bu Marni di depan rumahnya menjerit-jerit minta tolong. Pak Joko menghampiri Bu Marni  bertanya dengan rasa cemas dan khawatir, "ada apa Bu Marni?" Bu Marni berhenti menjerit, "pak Joko tolong apa anak saya, anak saya sudah tidak ada pak, " Bu Marni menangis sesegukan. Pak Joko pun segera masuk ke dalam gubug dan mendekati dipan tempat Adi anaknya bu Marni terbaring. Dia pun memeriksa tubuh Adi, "Dingin." Lanjut memeriksa denyut nadinya: "tak ada denyut nadi." Dengan yakin ia bergumam, "sudah pergi." Pak Joko lau berdiri dan berjalan menghampiri bu Marni, dengan hati-hati ia menenangkannya: "bu Marni, anak ibu sudah tiada, Tuhan sudah memanggilnya, relakan dia pergi, mungkin itu jalan terbaik baginya." Bu Marni pun perlahan-lahan terlihat menjadi lebih tenang. Pak Joko kemudian menghubungi Pak RT dan beberapa tetangga. Tak beberapa lama gubug kecil itupun menjadi lebih ramai.


Pak RT dan Pak Joko dengan hati-hati bertanya kepada bu Marni mengenai hal ihwal, sebab dari kematian anaknya. Bu marni menghela nafasnya, dengan raut muka sedih ia pun menceritakan semuanya dengan suara yang bergetar menahan tangis. Mendengar cerita bu Marni beberapa tetangga saling berbisi, " bagaimana sih bu Marni itu ya, kok bisa-bisanya lebih memilih menolong anak orang lain ketimbang anak sendiri." Bisik-bisik itu pun terhenti saat Pak RT  mengatur pemakaman. Sore harinya jenasah Adi dimakamkan jadi satu dengan makam ayahnya di pemakaman umum. Malampun tiba, semua pelayat satu persatu pulang. Sejak malam itu, dan malam-malam berikutnya, kesendirian pun menjadi temannya.
Jenasah Adi sudah di kebumikan. Namun cerita kematian Adi, anaknya bu Marni tak berhenti, sudah menyebar luas ke seantero kampung. Banyak yang mencibir dan menyalahkan bu Marni dan lalu berhenti bersimpati kepada bu Marni. Alhasil berakibat pada berkurangnya permintaan jasa cuci pakaian dari para tetangga-tetangga kepada bu Marni. Awalnya bu Marni mengira itu karena munculnya jasa laundry atau karena sudah punya mesin cuci sendiri. Akhirnya cerita dari mulut ke mulut mengenai dirinya itu sampai juga ke telinga bu Marni. Mendengar itu bu Marni hanya bisa mengelus dada dan menghela nafas, " hanya Tuhan yang tahu betapa sayangnya aku pada anakku, tapi rupanya Tuhan lebih menyayanginya."


Hampir setiap malam bu Marni, untuk menghibur diri dan mengusir sepi, ia berlaku seperti berbincang-bincang dengan almarhum anaknya. Dalam penglihatannya almarhum anaknya sedang duduk di dipan dan selalu menemaninya setiap malam. Apa saja yang ia rasakan ia ungkapkan kepadanya. Seperti malam ini, bu Marni mengungkapkan cibiran-cibiran tak menyenangkan seputar dirinya: "Orang-orang banyak yang berpikir kalau ibu tidak sayang kepada mu nak, lebih sayang kepada anak orang lain. Juga ada yang bilang kenapa anak orang lain ditolong, tapi anak sendiri dibiarkan mati. Sedih sekali ibu mendengarnya." Dalam penglihatannya almarhum anaknya berbicara kepadanya, menghibur dan menenangkan hatinya, "Ibu jangan sedih, jangan terlalu diambil hati cibiran-cibiran orang, mereka tak tahu apa yang kita rasakan. Saya ikhlas saat ibu memberikat obat itu kepada anak orang lain yang sangat membutuhkan. Hanya Tuhan yang tahu."


Pada suatu pagi, saat bu Marni merebus air untuk minum, ia mendengar seseorang mengetuk pintu, "assalamu alaikum permisi." Bu Marni pun bergegas menuju pintu dan menggesernya, dan di hadapannya seorang nenek tua bersama cucunya tersenyum, "ibu masih ingat kami?"Ingatkah dulu waktu ibu memberikan obat untuk cucu saya yang sedang sakit parah?" Bu Marni sejenak menatap si nenek tua, lalu ke cucunya, "o iya saya ingat, mari masuk." Si nenek tua diikuti cucunya pun masuk ke dalam gubug. Bu Marni lalu mengambil tikar dan menggelarnya di lantai, "silakan duduk, maaf begini keadaan gubug kami, tak ada kursi buat duduk." Si nenek tua itu pun duduk, cucunya yang masih kecil itu lalu duduk dipangkuan neneknya, " maaf saya kalau lama baru kami datang ke sini, karena kami tidak tahu dimana rumah ibu dan nama ibu. Butuh waktu lama kami, setelah tanya sana sini, mendapatkan informasi tempat tinggal ibu. Kami ingin mengucapkan berterima kasih banyak, sebab obat yang ibu berikan sudah menolong jiwa cucu saya."  Bu marni menatap bocah kecil dipangkuan si nenek tua, "alhamdulillah, senang cucu nenek sudah sehat kembali." Si nenek tua lalu meminta cucunya untuk mengucapkan terima kasih. "Makacih ibu," ujar si bocah kecil. Dengan rasa ingin tahu si nenek bertanya perihal keadaan anaknya, "bagaimana keadaan anak ibu?" Bu Marni terkejut dengan pertanyaan si nenek, namun segera ia dapat mengendalikan perasaannya, " oh anak saya sudah sehat." Si nenek lalu melihat ke sekeliling, " dimana dia?". " Dia lagi main bersama teman-temannya," kata bu Marni dengan senyum seraya menahan air mata tidak mengalir.  Bu Marni sengaja berbohong, ia tidak ingin si nenek merasa bersalah atau tidak enak hati. Tak berselang lama kemudian si nenek serta cucunya pamit pulang, "kami pamit pulang ya bu, terima kasih ya bu, maaf kami tak punya apa-apa untuk ibu, semoga Tuhan yang akan membalas kebaikan ibu." Bu marni memandangi kepergian si nenek dan cucunya sampai menghilang dari pandangan.


Malamnya bu Marni menceritakan kedatangan si nenek tua dan cucunya tersebut kepada almarhum anaknya, "apa kamu melihat mereka tadi pagi?" Seperti biasa anaknya tersenyum, "iya, saya melihat mereka tadi pagi, dan saya senang cucu kecilnya itu sudah sehat kembali. Lega rasanya, pengorbanan saya tidak sia-sia, karena kematian saya telah menyelamatkan jiwa seorang anak tak berdosa." Bu Marni senang dan lega mendengar kata-kata bijak anaknya, kemudian dia merebahkan dirinya di atas dipan. Seperti biasa ia terus berbicara dan bercerita kepada anaknya, sampai akhirnya tertidur. Anaknya mendekati ibunya yang sudah tertidur lelap, dan mencium keningnya, "Selamat tidur ibuku sayang"  lalu menghilang.
Keesokan paginya, bu Marni melakukan aktifitas rutinnya, mengumpulkan botol-botol plastik kemasan bekas pakai. Saat berjalan berkeliling biasanya ia mampir ke warung, membeli dua buah lontong isi oncom dan satu bakwan untuk sarapan. Lewat tengah hari ia menjual botol-botol plastik kemasan bekas terebut ke pengepul. Dari menjual botol-botol plastik bekas itulah ia bisa bertahan hidup. Dari tempat pengepul ia lalu pulang, sambil berjalan pulang ia biasanya mampir ke warung membeli dua bungkus mi instan, satu untuk makan siang, satunya lagi buat makan malam. Sesampainya di gubugnya ia beristirahat sejenak. Namun ada yang tidak biasa kali ini, kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Ia pun berpikir, "ah ini karena belum makan sepertinya." Bu marni pun lalu mengambil panci kecil yang sudah usang dan kehitaman, menuangkan air secukupnya, kemudian ia letakkan di atas tungku yang ia buat dari batu bata. Bu marni tak punya kompor, sehari-harinya ia cukup menggunakan kayu kering untuk memasak . Lagi pula tak banyak yang ia masak, paling cuma masak air dan mi instan. Tak lama berselang mi instan yang ia masak pun matang. Ia tak langsung menyantapnya. Ia tunggu beberapa menit. Setelah berkurang panasnya langsung ia santap. Namun pusingnya tak juga hilang. " Mungkin kalau dibawa tidur, pusingnya bisa hilang," pikirnya. Ia pun lalu pergi ke dipan dan merebahkan dirinya, dan mencoba untuk tidur. Beberapa lama kemudian ia pun terlelap.


Hari pun beranjak sore menjelang malam, bu Marni pun terbangun. Pusingnya ternyata tidak hilang juga malah sekarang badannya jadi meriang. Bu Marni pun minum air banyak-banyak, siapa tahu bisa meredakan panas badannya. Panasnya tak mau hilang, bahkan ia merasakan demam yang membuat badan terasa nyeri. Bu Marni pun kembali berbaring di atas dipan. Menjelang tengah malam, demamnya makin tinggi, bu marni pun pasrah. Dalam kesakitannya Ia memanggil-manggil anaknya, "anakku datang kemarilah, temani ibumu!". Tak lama kemudian anaknya pun muncul, " ya ibu aku sudah datang saya sudah disamping ibu." Bu marni memandang anaknya dengan senang. Ajaib Pusing dan demamnya pun sirna. Bu Marni meraih tangan anaknya, "anakku, bawa ibumu ke tempatmu. Ibu sudah sangat lelah." Anaknya pun tersenyum, " iya ibuku, aku kan membawamu bersamaku. Kita akan bersama-sama lagi." Anaknya memegang kedua tangan ibunya, menuntunnya turun dari dipan. Mereka pun berdiri bergandengan tangan, wajah bahagia terpancar dari raut wajah keduanya. Lalu cahaya yang sangat terang muncul dari langit menembus atap gubug mereka, menyoroti mereka. Dalam sekejap keduanya lenyap bersamaan dengan hilangnya cahaya itu.


Esok paginya seorang tetangganya datang ke gubug itu dengan maksud meminta jasa bu Marni mencuci pakaian, namun ia malah menemukan bu Marni yang terbaring kaku di atas dipannya dengan wajah tersenyum bahagia. Bu Marni sudah pergi untuk selama-lamanya, dan cibiran-cibiran kepadanya pun ikut lenyap.

Jakarta, 22 Desember 2020

SELAMAT HARI IBU

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun