Aneh tidak aneh ya, tapi ini nyata, fakta, bahwa istri seorang penyair besar sekaliber Sapardi Djoko Damono tak tertarik dengan Puisi. Sementara banyak orang, orang muda maupun yang tua suka memetik bait-bait puisinya untuk gebetan mereka, pacar kekasih mereka. Atau banyak pula yang mengutipnya di dalam kartu undangan pernikahan.
Padahal puisi-puisi tersebut, misalnya puisi berjudul "Aku Ingin," Yang Fana adalah Waktu, atau "Pada Suatu Hari Nanti," adalah puisi-puisi yang dpersembahkan SDD untuk dirnya. Namun Ibu Wardinignsih lebih suka menjadi ibu rumah tangga dan mengajar Les Bahasa Inggris di rumahnya, di Depok.
Saya mengenal beliau melalui putranya, Rizki "Iko" Henriko, sahabat saya sejak SMP. Yang saya kenang dari Beliau adalah orang yang sederhana, sangat baik, lembut dan penyayang"
. . . . . . .
"Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan bahwa puisi-puisi cinta yang ditulisnya  lahir dari ruh seorang wanita yang telah setia menjadi teman hidupnya sampai sekarang ini, sudah 78 tahun. Wanita itu adalah Wardiningsih"
"Mengenal Sapardi Djoko Damono Pertama Kali"
Sebenarnya saya mengenal almarhum Prof. DR. Sapardi Djoko Damono sudah lama sekali. Bermula dari persahabatan saya dengan putra lelakinya, Almarhum Rizki Henriko Damono, atau akrab dipanggil "Iko." Saya bertemu dengan Iko sewaktu masuk SMP Negeri 1 Depok, tahun 1983. Namun kami mulai bersahabat saat duduk kelas II SMP.
Rumahnya lumayan jauh dari rumah saya, Depok 1, sementara rumahnya Iko di Depok Utara, sekitar 3-4 KM. Setiap musim libur sekolah saya sering main ke rumahnya, berjalan kaki. Waktu itu Depok awal tahun 1980-an sangat jarang transportasi umum, yang ada juga becak. Tapi kan mahal kalo naik becak untuk remaja seusia saya waktu itu.
Untuk mempersingkat waktu tempuh saya selalu melewati jalan pintas, yaitu menyeberangi TPU Jalan Jawa TPU ini juga yang menjadi peristirahatan terakhirnya Iko dan Ibunya, yang meninggal setahun yang lalu.
Rumahnya Iko memiliki paviliun disamping rumah, yang dijadikan tempat ibunya Iko  mengajar les Bahasa Inggris. Ibunya itu lulusan sastra Inggris UGM. Di paviliun itu juga tersedia meja ping pong, yang bisa digelar saat sebelum atau saat tidak dipakai dipakai buat les. Waktu mengajar les nya setiap sore. Jadi saya datang siang siang ke rumahnya agar bisa main tenis meja.
Walalupun saya sering tanding ( atau bisa dibilang latihan) tenis meja, saya tidak pernah mengalahkannya. Dari persahabatan saya dengan Iko, saya mulai mengenal keluarganya. Waktu itu saya mengenal bapaknya Iko, Pak Sapardi Djoko Damono, hanya tahu kalo bapaknya itu dosen di Universitas Indonesia.
Waktu saya belum ngerti kalau dia seorang penyair yang cukup terkenal. Setiap main ke rumahnya Iko, dan bertemu Pak Sapardi, paling salim (cium tangan), Atau ketika saya menekan bel di pagar di depan rumah, kadang-kadang Pak Sapardi yang membukakan pintu. dan ketika melihat itu saya, dia bergumam, "o Irvan," lalu dia memanggil Iko, "Iko ada Irvan nih," habis itu dia naik tangga ke lantai 2 kembali ke ruang kerjanya. Bisa dibilang gak pernah ngobrol.
Bila di rumah Pak Sapardi lebih banyak waktunya di ruang kerjanya. Selain main tenis meja, Saya ke rumahnya untuk baca majalah "Hai," membaca koran Kompas, dengerin musik dari piringan hitam, pinjam kaset musik barat (top pop, billboard) atau pinjem buku "Lima Sekawan," karangan Enid Blyton. Ibunya Iko baik banget, setiap saya main ke sana, pasti disuruh makan.
Kami pun masuk di SMA yang sama, SMA negeri 37 Jakarta. Namun waktu kelas satu kami tidak sekelas. Iko di Kelas 1-5, saya di kelas 1-9. Waktu itu Iko ngajak saya untuk pindah sekolah, pindah ke SMA 3 jakarta, tapi saya gak mau, terlalu jauh. Dia pun gak jadi pindah.
Begitu pula ketika dia ngajak saya ke sekolah naik bis umum, saya gak mau, berat di ongkos, 3 kali naik bis (Depok-Ps. Minggu, Ps. Metro Mini S62 jurusan Minggu-Manggarai turun di simpang Jl. Tebet Barat Dalam nyebrang jalan, lanjut naik metro mini S60 jurusan manggarai-kp. melayu).
Awalnya dia beberapa bulan naik bis, sementara saya naik kereta KRL dari Stasiun Depok Baru turun di Stasiun Tebet, dari stasiun tebet jalan kaki sekitar 500 meteran nyebarng rel kereta. Lalu pada akhirnya dia ikut saya, naik kereta KRL, karena lebih asik dan seru, banyak teman seperjalanannya.
Naik kelas 2 SMA. pada saat memilih penurusan minat saya memilih jurusan A4 atau jurusan Budaya. Pada waktu itu penjurusan di SMA terbagi atas 4 jurusan yaitu jurusan A1 itu jurusan Fisika, A2 itu jurusan biologi, jurusan A3 itu jurusan IPS, dan A4 jurusan bahasa dan budaya. Tapi jurusan A4 ini tidak wajib untuk semua SMA.
Pada waktu itu SMA Negeri 37 memiliki Laboratorium bahasa termasuk yang paling bagus di Jakarta. Saya memilih jurusan tersebut karena mulai tertarik dengan bahasa asing, terutama bahasa inggris. Ketika Iko bertanya ke saya mau milih jurusan, saya bilang jurusan A4 Bahasa dan Budaya. Ternyata dia sepaham dengan saya. Jadilah kita sekelas kembali sampai kelas tiga, karena jurusa A4 hanya satu kelas.
Nah saat kelas 2 SMA jurusan bahasa dan budaya ini lah saya menngetahui kepenyairan bokapnya Iko yaitu dari guru bahasa dan sastra Indonesia. Namun waktu itu saya lebih suka Chairil Anwar dan Rendra, mungkin karena jiwa muda memberontak yang terkandung dalam puisi-puisi kedua penyair tersebut.
Saat kelas 3 SMA, beberapa bulan menjelang EBTANAS (Sekarang UN, saya dan 3 teman sekelas yang tinggal di depok, yaitu Aru, Slamet, dan Almarhum Zulfahri mendapatkan les gratis dari Ibunya Iko.
Awal tahun '90 an saya malah lebih suka membaca novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer. Baru ketika terbit kumpulan puisi nya Sapardi Dkolo Damono, yaitu "Hujan Bulan Juni" saya mulai menyukai puisi-puisinya.
Selain "Hujan Bulan Juni" saya juga menyukai kumpulan puisinya yang lain yaitu "Perahu Kertas. Dan menurut saya kumpulan puisinya "Hujan Bulan Juni" adalah karya masterpiece-nya.
Ada yang saya sesalkan yaitu tak bisa mengambil mata kuliah sosiologi sastra, yang mana Pak Sapardi yang jadi dosen pengajarnya karena, tapi berbenturan waktunya dengan mata kuliah wajib jurusan, yaitu bahasa Jerman.
Pada waktu Pak Sapardi jadi Dekan FSUI, saya sekali ke ruangannya untuk meminta persetujuan cuti kuliah satu semester. Cuti tersebut saya manfaatkan untuk kursus filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ( Rektornya waktu itu masih Romo Franz Magnis).
Selama aktifitas 'politik' masa mahasiswa, saya mulai jarang main ke, kecuali setiap lebaran. Setiap lebaran saya bersama 3 teman lainnya rutin berkunjung ke rumahnya Iko. Selain saat lebaran, paling saya sendiri main ke rumahnya 2 atau 3 kali, dan beberapa kali bertemu Pak Sapardi, Â tapi saya hampir tidak pernah cerita tentang aktifitas 'politik' di luar kampus. Kalau aktifitas di kampus, beberapa kali saya bercerita.
Setelah peristiwa 27 Juli 1996 sampai sampai awal masa berumah tangg awal tahun 200-an, bisa dibilang sangat jarang sekali berkunjung ke rumahnya bertemu Iko, karena waktu itu saya sedang sangat aktif di organisasi serikat pekerja/serikat buruh.
Tahun 2018 saya dua kali ke rumahnya Iko, barengan pergi kondangan ke teman SMP di depok. Yang pertama itulah saya bertemu dengan ibunya Iko untuk yang terakhir kalinya. Saat itu beliau keadaanya kurang sehat, tapi dia turun ke bawah, hanya untuk nertemu dan melihat saya.Â
Selama perjalanan bareng ke kondangan itu lah dia cerita-cerita tentang kondisi kesehatan ibunya yang memburuk, cerita sewaktunya bapaknya, Pak Sapardi menjadi dekan FSUI. Cerita bagaimana bapaknya tidak mau mempersulit, bahkan seringnya mendukung kegiatan mahasiswa FSUI waktu itu, termasuk ketika saat peristiwa reformasi tahun 1998.
Saat bareng ke kondangan tersebut sebenarnya saya ingin menanyakan langsung mengenai kebenaran rumor tak sedap mengenai hal pribadi Pak Sapardi, tapi urung saya utarakan, tidak enak hati.
"Kupersembahkan Puisi-Puisi Cintaku Untuknya"
Perempuan manis ini adalah adik kelasnya SDD saat kuliah di UGM, Yogyakarta. Mereka menikah tahun 1965, dan dikarunia seorang putri dan seorang putra. Ternyata walaupun ia adalah sumber inspirasi dari banyak puisi yang dibuat SDD, ia bukanlah pecinta sastra. Bakan tak pernah tertarik pada puisi.Â
Bukan lagi rahasia bahwa ia jarang sekali ikut dalam kegiatan suaminya, saat berkaitan dengan kepenulsan dan sastra. Hanya sekali ia pernah ikut saat penerimaan hadiah, itupun terpaksa, saat buku suaminya, "Sihir Hujan," dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional di Malaysia tahun 1983. Terpaksa ikut hadir, karena pada dasarnya ia tak tertarik dengan sastra.
"Akhirnya Ketiganya Berkumpul Kembali"
Saya jarang bertemu Pak Sapardi, sejak beliau lebih sering tinggal di komplek perumahan dosen UI di Ciputat, ketimbang rumah nya yang di Depok. Walau beliau jarang tinggal di Depok, beliau masih mengingat saya sebagai sahabat putranya.
Kini ketiganya telah tiada. Kini bertiga mereka berkumpul kembali di surga. Dan di sanalah akhirnya "Sang kayu sempat mengatakan kata yang dulu tak sempat ia ucapkan kepada api yang menjadikannya abu."
Ibunya Iko meninggal pada 17 Februari 2019. Iko pergi selamanya pada 17 Februari 2020, tepat setahun berpulangnya ibundanya. Dan lima bulan kemudia , tepatnya tanggal 19 Juli 2020 ayahandanya pun menyusulnya. Namun kenangan persahabatan saya dengan putranya lah yang telah membawa saya mengenal sosok seorang penyair besar, Sapardi Djoko Damono, kan tetap terus tinggal dalam benak dan kalbu saya.
SELAMAT JALAN PAK SAPARDI DJOKO DAMONO (19 JULI 2020)
SELAMAT JALAN SAHABATKU, RIZKY 'IKO' HENRIKO DAMONO (17 FEBRUARI 2020)...
SELAMAT JALAN WARDININGSIH, IBUNYA IKO, ISTRI PAK SDD (17 FEBRUARI 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H