New Normal, Inilah istilah yang sedang ramai dibicarakan banyak orang di seantero dunia, dari pejabat negara sampai masyarakat biasa, saat pandemi bahkan belum berhenti. Ada yang mengartikannya sebagai Kenormalan Baru’, ‘Kebiasaan Baru’, ‘Kebudayaan baru, bahkan sampai ada yang mengartikannya sebagai ‘Tatanan Baru.’
Menilik dari pernyataan WHO bahwa virus corona atau Covid 19 tak tahu kapan ia akan hilang, maka agar kehidupan masyarakat bisa kembali normal namun dalam bentuk baru yakni dengan mengkuti protokol kesehatan untuk menghambat dan menahan laju penyebaran Covid 19. Tujuan New Normal adalah kehidupan berjalan seperti biasa tapi juga menghambat atau menahan laju penyebaran Covid 19. Apa itu? beraktifitas di luar rumah seperti biasa dengan menjaga jarak fisik antar orang, memakai masker, dan sering cuci tangan dengan sabun.
Apa yang baru? yang baru ya cuma itu yakni beraktifitas diluar rumah dengan menjaga jarak fisik, memakai masker dan cuci tangan dengan sabun atau sanitizer. Selebihnya ya tidak ada yang baru, sama seperti sebelum pandemi, “back to normal”, malah bisa jadi makin menjadi jadi. Kembali membuang sampah atau limbah seenaknya seperti biasa, hutan-hutan terus digunduli atau diganti dengan tanaman komersil seperti biasa, bahan bakar fosil terus mengotori udara dan langit seperti biasa. Bisa jadi eksploitasi sumber daya alam dan manusia semakin gila-gilaan, demi menggenjot pertumbuhan ekonomi karena selama pandemi ekonomi merosot tajam. Bila ini terjadi maka kerusakan alam semakin buruk dan membahayakan kehidupan semua makhluk di bumi.
Maka dari itu jangan sampai kita manut saja dengan framing New Normal yang cuma parsial yakni beraktifitas di luar rumah seperti biasa dengan kebiasaan yang baru sesuai protokol kesehatan supaya dapat menghambat penyebaran covid 19. Pandemi Covid 19 dan pandemi-pandemi sebelumnya lebih hanyak diframing seputar kesehatan saja, gaya hidup sehat, seolah-olah ia adalah persoalan yang berdiri sendiri. Padahal sama dengan perosoalan-persoalan umat manusia lainnya, ia tidak berdiri sendiri, tidak pernah malah,. Ya, ia bertautan erat dengan sistem sosial ekonomi politik dan kebudayaan yang dominan dan banyak berlaku di hampir seluruh dunia selama berdekade-dekade.
Merebaknya masalah rasisme di seluruh dunia, imbas dari kasus George Floyd, memperlihatkan bahwa pandemi Covid 19 tidak berdiri sendiri. Kita tahu bahwa lebih dari 1,7 juta orang AS telah terinfeksi covid 19. Sebanyak 103.000 orang lebih telah meninggal. Data dari Centers for Disease Control menunjukkan bahwa orang kulit hitam lebih banyak dirawat di rumah sakit karena virus corona. Ketidak setaraan ekonomi, kurangnya kases ke layanan kesehatan berkualitas, kualitas pangan, ketidak adilan struktural lainnya, berkontribusi pada orang kulit hitam yang paling terkena dampak pandemi secarara tidak proposional. Orang kulit hitam juga lebih banyak menjadi korban penembakan di AS. Padahal populasinya di AS kurang dari 13 persen.
Bahkan gelombang unjuk rasa belakangan berkembang menuntut reformasi kepolisian AS. Di Inggris demonstrasi anti rasisme berkembang menjadi demonstrasi anti kolonialisme dan anti White Supremacy. Dengan demikian gelombang unjuk rasa di hampir semua negara bagian di AS juga memperlihatkan bahwa rasisme dan ketidak adilan adalah lebih jauh lebih berbahaya dari pada virus corona. Dan ternyata unjuk rasa gaya ‘old normal’, mobilisasi massa di jalan-jalan masih pun belum bisa digantikan dengan unjuk rasa daring, online atau virtual.
Kerusakan-kerusakan alam akibat ulah manusia tak bisa dibantah juga turut andil dalam munculnya pandemi. Ya sekarang ini kita meyaksikan pandemi terburuk dalam seratus tahun terakhir ini. Namun itu tak terjadi secara kebetulan atau berdiri sendiri. Virus-virus telah hidup sangat lama di bumi dan selalu ada banyak virus-virus yang tak terhitung banyaknya di alam liar di seluruh dunia. Jadi tak ter-elakkan kalau mereka berpindah ke manusia karena pengrusakan alam atau lingkungan hidup. Penularan virus dari hewan liar ke manusia ini juga berkaitan erat dengan perdagangan hewan ilegal.
Kota-kota di seluruh dunia terus berkembang dan orang-orang pun hidup berdekat-dekatan, berbagi ruang sepanjang waktu. Terutama di negara-negara berkembang, kota-kota megapolitan telah berkembang dalam tingkat yang mencengangkan di dalam beberapa dekade terakhir yang mana antara infra struktur dan kewaspadaan keamanan pangan tak sejalan dengan pertumbuhan ini. Maka terbentuklah suatu pasar tanpa keamanan pangan, dimana para pedagang menjual hewan-hewan liar tanpa kontrol. Pasar hewan liar , apakah itu untuk pasar hewan liar untuk hewan peliharaan, untuk pengobatan, dan untuk kuliner, banyak bertautan dengan merebaknya penyakit-penyakit yang berasal dari hewan.
Akan tetapi pasar bukanlah satu-satunya hotspot bagi merebaknya penyakit-penyakit. Di sekitar kota-kota ynag berkembang dengan cepat, pengrusakan alam pun leluasa melalui perluasan tanah bagi perumahan, pertanian dan insfrastruktur. Sekali habitat-habitat hewan dirusak, mereka pun ramai-ramai masuk ke kota-kota, dimana mreka bisa dengan mudah mendapatkan makanan dari tempat sampah manusia. Hewan-hewan ini pastilah membawa semua penyakit yang ada di tubuh mereka.
Tindakan menggunduli hutan dan merubahnya menjadi ladang –ladang mengakibatkan makin berkurangnya habitat dan memaksa hewan-hewan liar hidup bersama saling berdekat-dekatan sehingga membuat populasi hewan menjadi stress, yang berarti populasi-populasi yang terganggu tersebut akan menjadi lebih rentan terhadap virus-virus.
Virus-virus merupakan suatu bagian yang normal dari ekosistem yang utuh, mereka biasanya tidak melompat ke spesies yang lainnya dengan mudah dan biasanya tetap tinggal di dalam satu populasi hewan. Namun dengan penyebaran yang semakin jauh, maka sebenarnya kita telah memfasilitasi penyebaran penyakit-penyakit. Pada saat yang sama, kita pun bergerak lebih dekat ke hewan-hewan liar ini dan meningkatkan peluang bagi virus-virus ber-transmisi ke manusia.
Faktor terakhir mengapa virus-virus bisa menjadi pandemi dengan lebih mudah daripada sebelumnya adalah karena dunia lebih terkoneksi dari pada sebelumnya. Itu mungkin menjadi prestasi terbesar manusia selama dekade-dekade terakhir ini. Namun ia juga memberi jalan bagi penyebaran pandemi. Melalui jalan-jalan bebas hambatan, tranportasi publik dan perjalanan udara, virus corona bisa menyebar ke semua benua dalan hitungan beberapa minggu. Ini menunjukkkan lagi bahwa melindungi alam bukanlah sekedar bertujuan amal. Melestarikan kehidupan liar alam dan keutuhan ekoistem itu adalah tanggung jawab bersama dan juga secara langsung melindungi kesehatan publik dan ekonomi kita.
Jadi Apa yang berubah dengan penerapan new normal bagi kehidupan kita? tidak ada perubahan yang siknifikan bagi kehidupan masyarakat banyak. Namun momen ini kita jadikan kesempatan untuk mendesakkan sebuah kontrak sosial yang baru, yang merubah kehidupan masyarakat atau manusia menjadi lebih baik yakni lebih adil, lebih egaliter, menghormati sesama manusia dan kemanusiaan, dan menghormati dan memperlakukan alam dan limgkungan hdiup dengan lebih baik demi keberlansungan hidup manusia.
Meledaknya isu rasisme dan demonstrasi-demonstrasi anti rasisme di seantero dunia yang , yang diilhami kasus pembuhuhan George Floyd, warga afro-amerika oleh polisi di Amerika Serikat, di masa pandemi dan isu new normal, bisa dijadikan isu dan agenda yang lebih besar, bukan hanya isu rasisme, tapi juga isu-isu global yang lain seperti perubahan iklim, penipisan ozone, sistim ekonomi yang lebih adil, fair trade, fair industrial relation, fair and safe labor migration, tanah, perempuan, masyarakat miskin kota dan desa, dan sebagainya.
Momen ini sesemestinya bisa mempersatukan semua gerakan-gerakan masyarakat sipil untuk mendesakkan agenda-agenda perubahan total ketimbang meributkan new normal yang di dengung-dengungkan oleh otoritas politik di berbagai belahan dunia. Ya New Normal adalah kebijakan politik di dasari oleh kepentingan ekonomi, menyelamatkan modal dari keruntuhan., seperti yang telah dilakukan oleh otoritas-otoritas politik saat krisis-krisis yang telah lalu.
Belajar dari sejarah, Pandemi virus penyakit selalu mengakibatkan krisis kesehatan masyarakat, lalu menjadi krisis ekonomi, dan akhirnya menjadi krisis sosial politik. Pandemi flu spanyol berasal muasal ‘terbawa’ oleh mobilitas barang dan mobilitas tenaga kerja yang meningkat dengan berkembangnya teknologi transportasi, ditambah dengan terkonsentrasinya penduduk/masyarakat pekerja di sentra-sentra industri dan perdagangan, serta buruknya kondisi dan sanitasi tempat tinggal dan lingkungan di era kolonialisme kapital moderen setelah perang dunia pertama berakhir pada tahun 1918.
Pandemi flu spanyol menjangkiti banyak negara, terutama negara-negara benua eropa dan Amerika,. Korban dari pandemi ini juga tidak main-main, menginfeksi sampai lima ratusan juta di seluruh dunia, dengan seratusan jiwa melayang. Ia juga mengakibatkan kemorosotan ekonomi dunia dan masih dirasakan dalam waktu yang cukup lama, dua dekade. Krisis ekonomi dunia ini pada waktunya menghasilkan krisis sosial politik. Ya krisis ekonomi selalu menghasilkan krisis sosial politik,
Dalam situasi krisis biasanya selalu muncul gerakan-gerakan sosial dan politik yang menginginkan perubahan yang lebih baik. namun krisis juga bisa dibajak oleh politisi-politisi oportunis yang menggunakan isu ras, nasionalisme, isu-isu populis. Maka tak mengherankan bila saat itu muncul gerakan-gerakan fasis, nazisme di banyak negara eropa, bahkan bisa merebut kekuasaan, misalnya Nazisme Hirler di Jerman, Fasisme Mussolini di Italia dan Jendral Franco di Spanyol.
Dari sejarah kita akan paham mengapa selama pandemi dan krisis akan muncul politisi-potisi oportunis untuk memanfaatkan keadaan dengan isu-isu rasisme, patriotisme dan nasionalisme sempit yang sovinis untuk kepentingan kekuasaaan kelompoknya. Hal ini bisa kita lihat di Amerika Serikat, dimana Trump memainkan isu ras dan nasionalisme patriotisme di tengah krisis.
Kaum afro amerika merupakan kelompok msyarakat miskin dan tingkat pengangguran yang Tinggi. Di saat pandemi covid 19, korbannya banyak dari kalangan masyarakat afro amerika yang memang mayoritas miskin, baik korban tertular atau meninggal karena virus covid-19, maupun korban dari dampak ekonomi yang ditimbulkannya, dimana sebelum pandemi merekapun sudah miskin.
Kondisi seperti itu merupakan bom waktu yang sewaktu-waltu bisa meledak, bila ada pemicunya. Nah kasus Gerorge Floyd pun jadi pemicunya. Bahkan ketika eskalasi unjuk rasa anti rasisme meluas, Trump malah mengeluarkan pernyataaan-pernyatan provokatif bahkan mengancam kaan menerjunkan militer dengan menggunakan UU pemberontakan. Trump mengangggap kaum demonstran sebagai pemberontak/pengkhianat atau memberontak terhadap negara, dan pantas dihadapi dengan militer.. Padahal mereka sama sekali tak punya tujuan memberontak, hanya meyuarakan keadilan bagi warga kulit hitam,
Di Indonesia, pemerintahan Presiden Joko Widodo, menurut survei dari barometer politik menunjukkan ketidak puasan masyarakat atas situasi demokrasi di Indonesia yang merosot. Memang masa darurat pandemi membuat banyak negara menjadi kurang demokratis, kekuasan negara menguat yang dapat digunakan untuk membungkam suara-suara kritis dengan alasan darurat pandemi.
Namun walaupun pada masa darurat pandemi banyak negara demokratis menjadi kurang demokratis, dan negara yang kurang demokratis sebelum pandemi, setelah pandemi dan menetapkan darurat pandemi menjadi tidak demokratis, otoriter, seperti pelarangan unjuk rasa, mengkriminalkan suara-suara kritis terhadap negara. Nah darurat pandemi jangan sampai membuat kita memaklumi atau bahkan membiarkan negara menjadi kurang demokratis atau menjadi otoriter
Akan jauh lebih bermanfaat kita menggalakkan dan mendengungkan-dengungkan ke seluruh lapisan masyarakat untuk perubahan total dan global ketimbang cuma new normal yang tak akan merubah secara siknifikan bagi kehidupan masyarakat, teutama kelompok-kelompok masyarakat yang rentan seperti pekerja/buruh, masyarakat miskin kota dan desa, masyarakat asli (indigenous people). New Normal pada tingkat tertentu malah melemahkan daya bargaining kelompok-kelompok rentan tersebut, dengan alasan pandemi dan krisis ekonomi.
Di masa pandemi, darurat pandemi otoritas politik justru makin menguat dan mendesakkan kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi yang ujung-ujungnya lebih menguntungkan kelompok pemodal, juga dengan alasan pandemi dan krisis ekonomi.
Aksi-aksi nyata diperlukan untuk menkampanyekan/menggalakaan perubahan total dan global guna mendapatkan dukungan masyarakat luas, lalu mendesakkan agenda-agenda perubahan total dan global untuk direalisasikan di dalam kebihakan-kebijakan negara.
Memang tidak mudah seperti yang dikatakan, untuk itu kekuatan-kekuatan sipil dan organisasi-organisasi akar rumput seharusnya dapat bersatu bila memiliki komitmen yasng sama, yaitu untuk perubahan yang lebih baik, menciptakan masyarakat yang lebih adil dan merata, egaliter, menghormati sesama manusia, menperlakukan alam dan sumber dayanya dengan lebih bijak.. Ya perubahan-perubahan yang sanagat layak untuk diperjuangkan..
Bila krisis ini berakhir, kita berharap agenda-agenda perubahan total dan global mampu membuat setiap sudut dunia menjadi tempat yang lebih baik, lebih adil, lebih egaliter, dan aman dari penyakit-penyakit, aman dari iklim yang ekstrim dan aman dari perang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H