Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perlu Politik Baru Melawan Pembagian Kerja Berbasis Gender

15 Desember 2018   19:30 Diperbarui: 22 Desember 2018   14:34 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mulanya pemahaman kita mengenai pembagian kerja seksual adalah abstrak. Namun demikikan kita punya beberapa ide tentang bagaimana cara pembagian kerja seksual tersebut  membentuk kehidupan orang-orang, bagaimana ia direproduksi hari-demi hari melalui relasi-relasi didalam kerja, dan kontradiksi-kontradiksi yang terlibat di dalam proses ini.

Apa yang paling mencolok adalah kerasnya penyangkalan atas pembagian kerja seksual. Setiap orang 'tahu'bahwa mengoperasikan komputer adalah netral dan bahwa laki dan pekerja laki-laki dan perempuan bekerja berdampingan.

Namun bahkan hampir dalam nafas yang sama orang-orang akan mengatakan adalah 'alamiah' bagi laki-laki dan perempuan melakukan beberapa pekerjaan dan perempuan melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.

Juga ada suatu pandangan ortodoksi yang berkembang bahwa pembagian kerja seksual sedang mengalami kegagalan.; bahwa perempuan mempunyai 'bayaran yang setara' dan 'kesetaraan kesempatan' dan bahwa laki-laki membantu pekerjaan rumah tangga. Sementara pembagian kerja seksual secara konstan sedang berubah yang sedang memperlihatkan sebuah daya pegas (per).

Pembagian kerja seksual memang berdaya pegas(per), tapi bukan berarti takbisa digoyah atau bukan tanpa kontradiksi. Perubahan-perubahan dalam teknologi dan proses kerja menyebabkan perubahan-perubahan di dalam pembagian kerja seksual, pada poin inilah yang basisnya yang paling mudah diserang atau tidak kebal, dan berpotensi bisa ditantang.

Jika pembagian kerja ini bekerja untuk menindas perempuan, ia juga memberikan kita banyak sumber kekuatan untuk menumbangkannya. Laki-laki tak memiliki kekuasaan absolut di dalam sebuah situasi patriarkal-relasi-relasi gender seperti relasi-relasi kelas dicirikan oleh perjuangan dan dan resistensi-resistensi.

Dengan sentralitasnya gender bagi kapitalisme, membangun kekuatan-kekuatan perempuan kelas pekerja akan menjadi esensial di dalam perjuangan untuk menciptakan masyarakat egaliter  nonpatriarkal.

Pembagian kerja seksual tak bisa dipahami murni di dalam istilah-istilah ekonomi, dan telah menjelaskan pentingnya seksual dan simbolik. Ini berarti bahwa ia juga mesti diperjuangakan pada tingkat simbolik. Sebagian berpikir bisa terima membicarakan seksual ketika komputer menyingkirkan orang-orang dari pekerjaanya.

Namun yang rasanya takbisa dipraktekkan mungkin pada akhirnya bisa dipraktekkan dan apa yang kelihatannya bisa dipraktekkan mungkin sama sekali tak bisa dipraktekkan. Untuk memproduksi lebih banyak fakta dan angka-angka bahwa komputer menggantikan orang bisa saja berguna. Tapi ia bisa jadi memiliki efek kebalikannnya yaitu menyebabkan pesimisme.

Salah satu dari perusahaan barang-barang perlengkapan rumahtangga elektronik nyata-nyata menunjukkan kepada para pekerjanya "Kini Komputer Sudah Tiba" untuk meyakinkan mereka akan ketakterelakkannya teknologi baru.

Dengan mengaitkan mesin dan komputer dengan kekuasaan maskulin dan seksualitas kita sedang menyelidiki proses-proses sosial yang menciptakan teknologi baru dan memberikannya makna sosialnya yang khusus. Ini membuka kemungkinan menemukan cara baru mencapai perubahan-perubahan di dalam hubungan sosial dari kerja.

Aksi-aksi atas pekerjaan jelas akan menjadi sentral bagi perjuangan melawan pembagian kerja seksual dan untuk kontrol atas proses kerja dan teknologi. Mengaitkan perjuangan-perjuangan ini memerlukan suatu sensitivitas dan kesadaran akan isu-isu tersebut.

Di dalam dekade terakkhir, perkosaan, inses, dan kekeraan rumah tangga telah dipolitisir dalam cara ini, dan yang lebih baru, pelecehan seksual di tempat kerja telah mulai dipolitisir. Perempuan mulai berbicara tentang pengalaman-pengalaman mereka yang pernah mengalami pelecehan dan menolak menerima kebisuan selama bertahun-tahun.

Pada akhirnya, dukungan serikat pekerja/buruh di dalam perjuangan melawan pembagian kerja seksual dan teknologi adalah sangat penting. Tapi tidaklah membantu bila menaruhnya dalam bagian dari sebuah daftar tuntutan serikat buruh. Dukungan hanya akan dicapai jika perempuan mengorganisir diri. Lebih luasnya, kita tahu sebagai seorang perempuan, kita hanya akan merubah sesuatu lewat aksi  yang perempuan pimpin sendiri: di tempat kerja dan di dalam semua aspek kehidupan kita.

Ini lah Pengalaman dari gerakan-gerakan pembebasan perempuan yang telah diajarkan kepada kita. Ada tak terhitung perempuan kelas pekerja yang mengetahui ini juga, bahkan jika mereka tak punya kontak dengan gerakan perempuan yang terorganisir.

Meskipun begitu, atau mungkin karena, berada dibawah kondisi-kondisi kerja mereka di toko-toko, pabrik-pabrik, bank-bank, kantor-kantor dan rumah sakit-rumah sakit, mereka menunjukka sebuah kekuatan yang membuka kemungkinan-kemungkinan bagi sebuah politik feminis yang baru.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun