Mohon tunggu...
Fatima M
Fatima M Mohon Tunggu... -

Pelajar yang sedang belajar

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pelan-pelan, Jakarta

19 April 2017   23:40 Diperbarui: 19 April 2017   23:52 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak pintar. Saya juga tidak terlalu mengerti atau peduli dengan pilkada Jakarta kali ini. Saya dalam diam turut membaca tulisan-tulisan dan ketikan kawan maupun figur-figur asing di linimasa media sosial saya. Saya baca dan saya coba pahami. Namun tidak terlalu saya ambil pusing. Toh, ini bukan urusan saya. Saya tidak memiliki KTP Jakarta. 

Saya hanya menumpang hidup dan mencari nafkah di ibu kota. Hingga kemudian perdebatan pemilihan kepala daerah (Ya, daerah) ini menjadi ajang pertarungan ideologi di tingkat nasional. Saya tidak paham. Namun saya, sebagai manusia yang diberi akal pikiran oleh Allah, tidak juga lepas dari turut melihat, menerka dan diam-diam turut berpendapat mengenai apakah yang sedang terjadi di ibu kota tercinta ini. Analisa dangkal saya: Nampaknya terdapat beberapa kesalahpahaman dan ketidaksinkronan pada debat pilkada kali ini.

Satu pihak ingin memastikan bahwa seseorang yang dianggap sebagai penista agama mereka dapat dikawal penyelesaian hukumnya. Hal ini dapat dipahami. Saya paham. Bagaimana tidak? Saya seorang muslim. Saya paham bahwa apa yang dilakukan Bapak Ahok tersebut memang tidak bisa dibenarkan. Tapi saya juga paham, bahwa mungkin itu salah ucap. 

Mungkin Pak Ahok tidak berniat. Mungkin hal tersebut meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa niatan buruk. Lagipula, siapa yang bisa paham hati seseorang selain Tuhan? Itu juga apabila anda percaya dengan Tuhan. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kata yang sudah diucapkan tidak bisa ditarik kembali. Dan sebagai konsekuensi Pak Ahok memang harus melalui proses hukum selayaknya Warga Negara Indonesia patuh hukum. Pak Ahok juga sudah meminta maaf. Saya pribadi sakit hati, namun saya memafkan. 

Saya tahu manusia tidak sempurna, tempatnya salah dan lupa. Lupa kalau kita diciptakan beragam-ragam. Lupa kalau saya dan anda berbeda. Lupa kalau saya bisa memaafkan, belum tentu umat muslim lainnya juga bisa. Maka dari itu, saya paham bahwa proses hukum itu harus tetap berlanjut, selain bersyukur dan berterima kasih karena Pak Ahok bersedia mengakui kesalahannya.

Terlepas dari semua itu, saya juga tidak bisa menghindar dari prasangka (semoga saya salah dan semoga Allah SWT mengampuni saya atas prasangka buruk saya ini) bahwa isu ini juga ditunggangi oleh aktor-aktor yang tidak sedang menegakkan kebenaran, tapi mencari kekuasaan.

Lain cerita dengan kubu Pak Ahok. Mereka bergerak serentak mecoba melawan apa yang disebut media sebagai “kaum mayoritas”. Bagi mereka, pilkada kali ini bukan hanya memilih pemimpin, tapi sebagai aksi resistensi terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan selama ini. Mereka tidak salah, saya paham. Saya muslim. 

Saya merupakan satu dari jutaan, puluhan, bahkan ratusan juta kaum mayoritas di Indonesia. Yang tidak ambil pusing melihat ribuan, puluhan ribu, orang berbaris menggunakan baju serba putih di jalanan, mengumandangkan takbir dan panggilan agung lainnya. Sebagai penguat mereka. Sebagai identitas. 

Saya tidak ambil pusing karena saya tahu, saya pasti aman. Saya bagian dari mereka. Namun tidak demikian dengan teman-teman minoritas saya. Mereka takut. Mereka gusar. Mereka tidak paham mengapa untuk menunjukkan solidaritas, begitu banyak orang harus turun ke jalanan, menggunakan atribut keagamaan. Mereka merasa asing. Mereka minoritas. Mereka takut. Saya paham. Saya sendiri pernah merasakan takut karena menjadi minoritas di negara orang. 

Saya takut ketika orang lain melihat ke arah saya dengan pandangan yang sulit diartikan, karena saya menggunakan pakaian yang tidak umum. Saya takut ketika terjadi peristiwa teror di berbagai tempat dan mayoritas dilakukan oleh kaum muslim, menurut media. Saya takut mereka mengira saya bagian dari apa yang mereka sebut teroris. Kala itu saya akhirnya merasakan bagaimana menjadi minoritas. Saya berbeda.

Oleh karena itu saya paham. Saya paham perasaan kawan-kawan minoritas saya yang seperti berada di tengah-tengah kepungan mayoritas. Tujuan dari solidaritas tersebut baik, saya paham. Mereka juga tidak berniat menyakiti dan merendahkan kaum minoritas, saya paham. Namun saya juga paham mengapa kawan minoritas saya takut, karena aksi solidaritas tersebut semakin memperjelas garis perbedaan antara mereka dengan kaum minoritas. 

Mungkin, secara tidak sengaja (semoga saya salah) aksi solidaritas itu menjadi ajang yang memperlihatkan bahwa kaum mayoritas itu superior, dibandingkan dengan minoritas. Yang tertulis memang sama, namun apa yang dipahami oleh pembaca bisa berbeda. Maksud baik dari aksi solidaritas, belum tentu ditangkap baik oleh yang melihat. Mereka takut, mungkin mereka trauma. Dan saya paham.

Oleh karena itu, mereka ingin Pak Ahok, sebagai perwakilan kaum minoritas untuk menang. Sebagai angin segar. Sebagai pendobrak norma lama. Sebagai figur resistansi terhadap kaum mayoritas. Mungkin tidak semua pendukung Bapak Ahok seperti itu. Banyak juga yang kagum akan kepiawaian beliau memimpin dan membangun kota, yang katanya sudah tidak memiliki harapan itu, menjadi lebih baik dan lebih layak dihuni. Untuk semua, bukan hanya untuk kaum minoritas maupun mayoritas. 

Saya juga salah satunya. Saya mengagumi beliau karena ketangguhan beliau menghadapi kota yang begitu sulit dengan kompleksitas permasalahan yang tinggi. Saya salut. Namun hati kecil saya juga tidak bisa berbohong. Sebagian kecil dari diri saya berharap beliau menang, agar kaum minoritas bisa bangga, menjadi bagian dari Indonesia. Agar mereka bisa mengatakan kepada dunia betapa Indonesia menghargai keberagaman, dan kaum minoritas bisa menjadi pemimpin baik bagi kaum mayoritas maupun minoritas. Agar mereka bisa akhirnya bisa merasakan menjadi bagian dari kami. Agar garis segregasi itu bisa sedikit demi sedikit terhapuskan.

Namun kenyataan berkata lain. Pak Anies memenangkan pertarungan, pertarungan suara. Saya tidak perlu mengulang kembali hasil penghitungan suara cepat yang terekam dan tertayang di berbagai media. Pendukung Pak Ahok kecewa. Kaum minoritas terluka. Pendukung Pak Anies bergembira. Kaum mayoritas berjaya. Saya tidak mengatakan bahwa Pak Anies terpilih bukan karena program kerjanya yang cerdas, yang mungkin telah menawan hati banyak masyarakat Jakarta. Saya yakin, banyak yang ingin Pak Anies terpilih karena ingin Jakarta menjadi lebih baik. Namun saya juga tidak bisa memungkiri bahwa kemenangan Pak Anies, lagi-lagi menunjukkan betapa superiornya menjadi mayoritas.

 Anda boleh tidak setuju, namun ini pendapat saya. Pendapat seorang warga negara biasa yang hanya bisa mengamati perdebatan melalui media. Yang melihat bahwa semua ini berawal dari kesalahpahaman dan ketidaksinkronan antara maksud dan tujuan dari kedua belah pihak. Yang melihat bahwa ada kemungkinan aktor-aktor yang bermain di belakang atau di atas sana menggunakan momentum ini, menunggangi isu ini, untuk sebuah egoisme pribadi: kekuasaan.

 Atau mungkin saya salah, maafkan saya. Maaf juga ingin saya sampaikan kepada kawan-kawan minoritas saya. Maaf apabila kami kaum mayoritas tidak sensitif dan tidak sengaja melukai perasaan kalian. Maaf.

Lalu apa sekarang?

Pak Anies sudah menang, selamat untuk Pak Anies dan Pak Sandi. Selamat juga untuk warga Jakarta dan warga non-Jakarta yang mencari penghidupan di Jakarta. Pemimpin baru yang dipilih rakyat, untuk rakyat. Kompetisi sudah selesai, saatnya bersama-sama membangun dan merajut masa depan untuk kepentingan bersama.

Pelan-pelan, Jakarta. Mungkin memang saat ini kaum mayoritas lah yang terbukti unggul dalam mencari atensi. Namun saya bangga, karena di tengah pertikaian antar kubu, cacian, makian, sindiran, tidak sedikit juga yang berani untuk mengutarakan pendapat secara dewasa, dengan tulisan-tulisan menggugah, piawai merajut data dan fakta, berdebat dengan mendidik dan terbuka. Kubu yang satu bersedia duduk dan membaca dengan seksama tulisan kubu lain. Kemudian dibalas dengan tulisan menyanggah dan menyajikan fakta yang mumpuni yang juga akan dibaca dan ditelaah oleh kubu lawan dan seterusnya. Hal ini pantas menjadi prestasi, bukan?

Pelan-pelan, Jakarta. Pak Anies baru saja akan duduk di kursi panas itu. Beliau berjanji akan langsung bekerja, menawar hati yang terluka dengan janji aksi dan prestasi. Mari berdoa dan sama-sama membantu, karena membangun Jakarta bukan kerja satu orang, melainkan kerja bersama. Semoga Pak Anies akan melanjutkan kinerja baik yang telah dilakukan oleh Pak Ahok. 

Terima kasih Pak Ahok, atas kerja keras anda selama ini. Apabila memang program yang ditawarkan Pak Ahok selama masa kampanye terlihat efektif, tidak ada salahnya juga kan meminta izin beliau untuk menjalankan program tersebut? Toh program yang dibuat adalah untuk kemaslahatan masyarakat, bukan seperti kompetisi ujian prakarya di sekolah, ketika menang akan menjadi kebanggaan pribadi. Terima kasih juga kepada kedua tim sukses yang sudah mengerahkan waktu dan energi untuk mencari program terbaik untuk masyarakat. Pada akhirnya, rakyat yang akan menang. Saya ulangi. Rakyat yang harus menang.

Oleh karena itu, pelan-pelan, Jakarta. Mari nikmati proses yang berjalan, dukung sepenuh hati dan tetap setia mengawal dan kritis, agar kemenangan rakyat tidak salah arah menjadi kemenangan kelompok tertentu.

Selangkah demi selangkah. Setahap demi setahap. Pelan-pelan, Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun