Mohon tunggu...
Popi Irawan
Popi Irawan Mohon Tunggu... Dosen - My Only Kompasiana Account

Warga biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Prospek Pariwisata Indonesia di Tangan Pemerintahan Pasca-Jokowi: Sebuah Tanda Tanya

11 September 2023   03:35 Diperbarui: 11 September 2023   05:24 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Bagaimana peta pertumbuhan pariwisata Indonesia, khususnya kunjungan wisata, dalam dua periode Kabinet Indonesia Maju di bawah Presiden Jokowi? Bagaimana pula proyeksi pertumbuhan itu jika pemerintahan berganti? Apakah turisme Indonesia akan mengalami pertumbuhan yang signifikan, moderat, atau justru mengalami penurunan? Beberapa pertanyaan ini memang sulit dijawab dalam sebuah tulisan singkat dalam blog ini. Namun setidaknya, marilah kita lihat secara sekilas sembari bermimpi akan masa depan turisme Indonesia yang lebih baik dan mensejahterakan rakyat.

Semenjak Presiden Joko Widodo dilantik sebagai kepala negara pada 2014 hingga kini menjelang masa akhir pemerintahannya, dunia turisme Indonesia mengalami pasang dan surut. Masa-masa awal pemerintahan Jokowi periode pertama adalah penataan turisme warisan pemerintahan sebelumnya. Yang langsung terlihat dari kebijakan Presiden Jokowi pada periode pertama adalah menggenjot pertumbuhan, yang diterjemahkan menjadi target angka pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (foreign tourist arrivals).

Proses penunjukkan Menteri Pariwisata di periode pertama Jokowi menunjukkan arah itu. Arif Yahya, Menteri Pariwisata yang ditunjuk Jokowi saat itu, adalah sosok marketer ulung. Sangat jelas bahwa kebijakan Jokowi saat itu menitikberatkan pada pertumbuhan (pro-growth policy). Apa yang kemudian dilakukan Menteri Pariwisata masa itu pun merefleksikan paradigm ini. Hasilnya dapat dilihat berupa pertumbuhan jumlah kedatangan wisatawan mancanegara yang signifikan dalam periode pertama pemerintahan Jokowi. Pada 2014, tahun pertama dilantik, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara tercatat sebanyak 9,4 juta orang (BPS, 2023). Pada tahun 2019, tahun terakhir pemerintahan Jokowi periode pertama, angka ini mampu meningkat menjadi 16,1 juta kunjungan (BPS, 2023). Artinya, pertumbuhan angka kunjungan wisatawan asing menyentuh angka 71,2%, sebuah lompatan yang sangat signifikan meskipun melenceng dari target 20 juta kunjungan. Pertumbuhan ini juga ditopang oleh proyek-proyek infrastruktur yang secara langsung menunjang perkembangan turisme.

Hal lain yang juga menunjukkan paradigma pertumbuhan pemerintahan Jokowi adalah diubahnya nama kementerian yang membidangi pariwisata. Dalam sejarahnya, nomenklatur kementerian yang membidangi pariwisata mengalami dinamikan dan perubahan yang tak beraturan, nyaris acak. Ini terjadi bahkan hingga saat ini. Pada era emas Orde Baru, jawatan turisme disatukan dengan jawatan pos dan telekomunikasi. Lalu di masa Reformasi berubah menjadi Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya dengan berbagai varian perubahan nomenklatur yang mencantumkan tiga kata tersebut. Perubahan terus berlanjut menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Pariwisata, lalu Kembali ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Perubahan nama yang acak ini sesungguhnya dapat dibaca sebagai kegalauan pemerintah Indonesia, siapa pun presidennya, dalam memahami pariwisata. Namun, pertumbuhan signifikan pada masa Reformasi terjadi pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. Menurut saya, fokus nama Kementerian Pariwisata berdampak pada fokus kinerja yang tentunya juga fokus anggaran hanya untuk pariwisata, yang diterjemahkan sebagai pertumbuhah kunjungan. Yang cukup mengherankan adalah, justru di masa kedua pemerintahan Presiden Jokowi, Kementerian Pariwisata Kembali menggandeng Ekonomi Kreatif. Entah apa di balik kebijakan ini.

Pada 2020, COVID-19 melanda dunia dan mengakibatkan ambruknya banyak sendi kehidupan dan perekonomian. Sektor pariwisata adalah salah satu bidang yang paling parah terdampak pageblug. Sudah banyak kisah dan cerita betapa COVID-19 memukul dunia tursme dengan amat telak. Salah satunya adalah angka kunjungan 16,1 juta pada tahun 2019 melorot menjadi 1,5 juta pada tahun 2021, atau -90,6%! Tak hanya Indonesia, skala penurunan pariwisata juga terjadi secara global, di seluruh belahan dunia.  

Bagaimana turisme Indonesia bida bertahan dari pandemic COVID-19? Sesungguhnya jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, dan tidak dapat digeneralisasi secara menyeluruh di berbagai sub-sektor pariwisata yang dangat bervariasi. Riset yang dilakukan oleh Dahles dan Susilowati (2015) jauh sebelum pademi sudah menyiratkan bahwa tingkat adaptasi usaha wista terhadap krisis sangat ditentukan oleh seberapa lekat ketergantungan suatu masyarakat terhadap pariwisata dan seberapa kreatif kewirausahaan (entrepreneurship) mereka. Sepanjang pandemi COVID-19, justru masyarakat yang tidak sepenuhnya menggantungkan diri pada turisme adalah mereka yang nampaknya lebih resilien, lebih tangguh.

Lalu bagaimana proyeksi pertumbuhan pariwisata Indonesia pasca-COVID-19? Apakah akan ada sebuah breakthrough? Kita tak bisa memastikan. Jika kita lihat kebijakan Jokowi di periode kedua dengan menggabungkan kembali kepariwisataan dengan ekonomi kreatif, dan bagaimana konstelasi politik mutakhir (keberlanjutan lawan perubahan), maka sektor pariwisata nampaknya belum akan mengalami perubahan drastis. Menteri Pariwisata saat ini, yang juga adalah sosok politisi yang diperhitungkan, nampaknya belum mampu berbuat banyak bagi pariwisata.

Jika pemerintahan yang terpilih tahun depan adalah yang ingin melanjutkan kebijakan Presiden Jokowi dan mewarisi paradigma pro-growth, maka mungkin saja proyek-proyek monumental yang menargetkan wisata massal akan dilanjutkan dan ditambah. Jika kubu perubahan yang menang, dunia pariwisata juga belum memiliki gambaran jelas tentang perubahan macam apa yang akan terlihat.

Poin terakhir yang perlu mendapat perhatian pemerintahan yang akan datang, dari kubu mana pun, adalah bagaimana pariwisata dapat manjadi motor penggerak ekonomi tanpa pandang modal. Artinya, pariwisata yang menyentuh rakyat banyak, yang mampu menghidupi rakyat. Bukan pariwisata yang dinikmati segelintir pemilik modal besar. Selain itu, harus ada perhatian yang jauh lebih serius pada upaya memitigasi dampak-dampak buruk pariwisata terhadap lingkungan alam, sosial, dan budaya. Kita sudah menyaksikan bagaimana proyek-proyek turisme besar, sperti proyek di NTT, berdampak pada lingkungan dan kehidupan sosio-kultural warga setempat. Jauh-jauh hari para sarjana pemerhati pariwisata telah mengingatkan hal ini.          

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun