Akankah riwayat komodo, sepsies purba yang hanya hidup di TN Komodo, berakhir atas nama pembangunan pariwisata? Â
Akhir-akhir ini beberapa laman berita internasional memuat kabar tentang ditetapkannya komodo, hewan endemik yang hanya hidup di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai hewan yang terancam punah.Â
Statusnya bukan lagi vulnerable, namun sudah mencapai level endangered. International Union of Conservation of Nature (IUCN) memasukkan komodo ke dalam daftar merah atau  Red List dengan klasifikasi terancam punah (endangered).Â
Belum lagi UNESCO yang memperingatkan Indonesia akan bahaya pembangunan turisme terhadap hewan purba ini.
Di lain pihak, Pemerintah melalui beberapa kementerian dan Pemda NTT gencar merencanakan pembangunan infrastruktur besar-besaran di Pulau Rinca, pulau yang bersebrangan dengan Pulau Komodo sebagai habitat asli hewan purba yang eksotis  ini.
 Julukan proyek ini, jika nanti diresmikan, adalah "Jurrasic Park". Sekilas saja nampak kontradiksi antara pelestarian hewan purba endemik dengan pariwisata massal. Memang, secara resmi pemerintah berencana menetapkan membership sebesar $ 1.000 AS (sekitar Rp 14,2 juta) untuk masuk habitat komodo.  Â
Entah apa yang ada di benak pemerintah dengan membangun infrastruktur pariwisata di Pulau Rinca. Infrastruktur seperti itu jelas ditujukan bagi segmen wisatawan massal, bukan wisatawan minat khusus (special interest tourist).Â
Pembangunan infrastruktur pariwisata massal di dekat sebuah kawasan taman nasional memang tak lazim dilakukan di negara mana pun. Jika pun ada Pusat Pengunjung (visitor center), tidak dibangun dengan megah.Â
Perspektif yang harus dipakai oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) adalah pelestarian komodo dan habitatnya di atas kepentingan lainnya, termasuk kepentingan ekonomi melalui turisme.Â
Bahwa memang ada potensi ekonomi besar melalui pariwisata, dengan komodo sebagai atraksi (daya tarik) utama, tidak mengguggurkan kewajiban para pemangku kepentingan untuk melindungi dan melestarikan lingkungan habitat komodo, yang menurut para ahli sudah hidup jutaan tahun.Â
Lalu apakah pariwisata tidak boleh di kembangkan di sana? Tentu saja boleh. Tapi pariwisata macam apa? Â Â
Format pengembangan pariwisata kawasan taman nasional memang bukan jenis wisata massal. Di satu sisi, memang, wisata massal menjanjikan return ekonomi yang besar.Â
Namun, ini disertai dengan risiko rusaknya ekosistem alam, kohesi sosial, bahkan terpengaruhnya budaya. Kerugian immateril yang ditimbulkan dari mass tourism di sebuah kawasan lindung tak sebanding dengan manfaat ekonominya. Kawasan lindung benar-benar hanya bisa dikembangkan dengan format wisata yang ketat, dengan regulasi, aturan, dan prinsip-prinsip yang harus dipatuhi semua pemangku kepentingan, termasuk wisatawan. Â
Dengan melihat perkembangan terkini rencana pengembangan "Jurrasic Park" di kawasan TN Komodo, maka sudah selayaknya proyek itu dikaji ulang.Â
Selama ini, Pemerintah kerap menggandeng perguruan tinggi dalam perencanaan suatu proyek pembangunan. Sudah saatnya pemerintah mendengar dan mengaplikasikan hasil-hasil riset demi tercapainya pelestarian lingkungan.Â
Opsi pengembangan wisata tidak untuk semua kawasan.Â
Masing-masing tempat dan daerah memiliki kekhasan, keunikan, serta permasalahan sendiri. Apa yang sukses dikembangkan di sebuah objek wisata, belum tentu berhasil sama di tempat lain. Ini tidak sama dengan copy lalu paste, seperti yang biasa kita lakukan dalam mengetik.Â
Faktorfaktor seperti sosial, budaya, demografi, politik, dan pendidikan--untuk menyebut beberapa saja--turut menentukan apakah pariwisata cocok untuk tempat dan waktu tertentu. Â Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H