Memang beginilah, kini kita hidup di jaman yang tingkat konsumtifnya begitu tinggi. Seiring dengan itu, sikap gengsi pun bertambah tinggi pula. Sungguh dalam hal ini sangat dibutuhkan kepiawaian untuk dapat memanajemen gaya hidup itu sendiri. Sementara, dinamika hidup yang selalu berubah, jika tidak dihadapi dengan mulai mengelola perubahan dengan bijak, maka kita akan dihadapkan kepada permasalahan hidup yang demikian pelik. Terutama menyangkut hal finansial.Â
Apalagi, jika sebelumnya tidak mempunyai budget plan, selalu saja main "asal rogoh kocek", yang ujung-ujungnya kemudian kita terjebak pada pola "Besar Pasak daripada Tiang", tentu hal tersebut justeru akan semakin menambah penderitaan hidup yang dialami kian parah. Manakala kita, tiba-tiba jatuh pada sebuah pilihan selalu memperturutkan hati untuk meniru gaya hidup seseorang yang tanpa kalkulasi dalam ruang gerak belanja dan belanja, tentu saja nanti hasilnya akan jauh berbeda antara individu satu dengan yang lainnya. Sebab, tentu saja incomeseseorang pun pada kenyataannya selalu berbeda. Demikian pula dengan tingkat kebutuhan yang mesti dipenuhinya.
Pada saat kita selalu belanja dengan semua yang kita inginkan, akan tetapi sebenarnya secara jujur kita tidak memerlukannya. Itu mengandung pengertian bahwa kita masih belum bisa memanajemen gaya hidup secara maksimal. Segeralah menoleh ke arah pendapatan yang kita dapatkan. Perbaharui pola yang masih kurang benar. Mulailah dengan membagi pos-pos dengan dibantu kata tanya 5 B:
1. Berapa pendapatan saya saat ini?
2. Berapa yang harus kita salurkan untuk zakat, infaq dan shadaqoh? Bersyukurlah, bila hal ini telah mampu dijalankan dengan kontinu.
3. Berapa jumlah barang yang kita perlukan? Bukan semua yang kita inginkan. Ingat needs not wants
4. Berapa persenkah yang mesti kita saving?
5. Berapa bagian untuk investasi?
Dari kelima pertanyaan bantuan yang ada di atas, hanyalah pertanyaan pertama yang selalu dihitung-hitung. Mengapa? Tidak lain tidak bukan dikarenakan masih tertanam perasaan-perasaan seperti ini:
a. Bukankah menabung itu dilakukan kalau pendapatan sudah tinggi?
b. Bukankah kata-kata investasi itu hanya berlaku manakala uang sudah banyak?
Seandainya saja semua orang mempunyai prinsip seperti yang demikian tadi, tentu akan memupus harapan-harapan yang sebenarnya masih bisa didapat dan diciptakan. Menabung dengan prinsip menunggu ketika pendapatan sudah tinggi, itu berarti telah memutus mata rantai dari sebuah proses menuju kesuksesan.Â
Padahal dari jaman dulu ungkapan yang satu ini selalu didengung-dengungkan: sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Nah, sungguh merupakan tindakan yang sangat bijak bilamana seseorang memulai saving dari saat sekarang ini. Dimulai dari pendapatan yang walaupun masih belum tinggi. Sebab, jangan disalahkan jika telah sampai pada jumlah pendapatan yang tinggi, akan datang banyak keinginan-keinginan yang begitu tinggi pula. Percayalah itu.
Ada kalanya datang hasrat untuk menabung, namun rasa malas datang ke Bank begitu besar. Sehingga, dilakukanlah menabung ala tradisioanal yang tanpa disadari sangat mengandung dan mengundang resiko. Menabung sendiri, pada celengan yang dibuat atau dibeli sendiri pada kenyataannya banyak resikonya, misalnya uang rusak karena terbakar, di makan rayap, sampai pada hal yang berbau mistik seperti dibawa tuyul dan pencuri atau sebab lainnya.Â
Untuk hal yang satu ini, mungkin saja bisa belajar dari berbagai pengalaman orang-orang di sekitar kita mengenai hal ikhwal kelemahan menabung di rumah sendiri. Belum lagi, saat menghadapi keinginan komsumtif yang meledak-ledak. Tidak ada jalan lain, selain dengan cara memecah/membongkar celengan meskipun prematur (belum waktunya diambil). Dengan sekejap, rupiah yang sekian lama dikumpulkan pun ludes.
Berbagai rasa takut selalu menghantui atau barangkali selalu terdapat rasa was-was yang berkecamuk jika akan memulai beralih menabung uang di Bank. Kekhawatiran bahwa bagaimana seandainya kalau bank nanti ditutup sewaktu-waktu? Bagaimana kalau terimbas likuidasi? Kemana akan mengadu? Dapatkah uang kita kembali ke pangkuan? Begitu banyak pertanyaan yang bergelayut seputar kesangsian negatif terhadap sebuah Bank di kemudian hari, ternyata semuanya mampu terjawab dengan keberadaan LPS di Negara kita yang beroperasi semenjak tahun 2005. Adapun kepanjangan dari LPS adalah Lembaga Penjamin Simpanan.Â
Kehadirannya ke tengah-tengah, tentu akan menambah rasa aman, tenang dan pasti. Terlebih lagi ketika kita sudah mengetahui Peran dan Fungsi dari LPS secara tertulis. Tentu akan menambah diri menjadi percaya untuk menabung di Bank. Sebab, Lembaga yang satu ini akan menjamin simpanan setiap nasabah serta berperan memelihara dan menjaga stabilitas sistem keuangan yang ada. Semua bank (Bank Umum dan BPR) yang beroperasi di Indonesia dijamin oleh LPS, baik bank dengan sistem konvensional maupun sistem syariah. Adapun objek penjaminan tersebut adalah giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan.
Bagaimana langkah kita agar jika sewaktu-waktu bank tempat kita menabung terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan tabungan kita tetap aman serta dapat kembali ke tangan kita? Maka sebagai antisipasinya, mau tidak mau simpanan kita haruslah memenuhi kriteria seperti berikut ini sehingga tabungan kita masuk dalam kategori Layak Bayar. Mesti ingat 3 T:
1. Tercatat dalam pembukuan bank
2. Tingkat bungan simpanan tidak melebihi tingkat penjaminan
3. Tidak melakukan tindakan yang merugikan Bank (memiliki kewajiban kepada bank yang telah jatuh tempo dan atau gagal bayar)
Bila kita pergi ke salah satu Bank, maka bisa kita lihat tulisan yang tertempel dan berbunyi "Bank Peserta Penjaminan LPS"Atau ada juga yang tertera tepat di depan kasir, di atas meja pelayanan.
Setelah hati kita begitu percaya dengan keberadaan sebuah Bank sebagai tempat untuk menyimpan uang dikarenakan keamanannya melalui peran serta LPS. Hingga pada suatu ketika, timbul keinginan pergi ke Bank bukan untuk menabung, melainkan guna meminjam. Wajarkah? Seberapa jauh hal ini bisa dan boleh dilakukan? Secara gamblang kita diajarkan, jika memang tujuan kita berhutang adalah untuk Investasi, maka yang demikian tentu secara matematika diperbolehkan dengan efek adanya tambahan pendapatan darinya.Â
Akan tetapi, perlu sekali diberi tanda kutip, bahwa berhutang untuk konsumsi hanya diperlukan jika memang tidak ada sarana lain untuk mempertahankan hidup. Demikian juga halnya jika kita berhutang dengan tujuan untuk pembelian property dengan menggunakan uang hutang, haruslah memperhitungkan cashflow, estimasi kenaikan harga property tersebut dihitung hingga beberapa waktu ke depan. Perhitungan yang matang, sangat berperan dalam menghadapi proses peminjaman.Â
Kejelian, kecerdasan untuk memikirkan dan mempertimbangkan sesuatu sebelum melangkah sangat dituntut di sini. Agar, tiada penyesalan nantinya. Pandai-pandailah dalam menabung, berinvestasi sampai pada hal saat akan memutuskan ingin berhutang. Jadikan, prinsip Don't put your eggs in one basketbenar-benar menjadi kenyataan dalam diri kita. Cerdas dalam berinvestasi dengan mampu melihat berbagai sumber, model, serta berbagai kemungkinan positif dan negatif dalam rentang waktu ke depan.
Apapun jenis tabungan kita, investasi kita, bila dilakukan pada tempat yang aman seperti Bank. Maka, akan jelas memberi efek jauh dari rasa takut. Takut uang akan hilang. Jaminan yang diberikan oleh LPS kepada para nasabah, tentunya membawa angin segar dan mampu menjawab teka-teki kekhawatiran yang selama ini seakan menjadi momok menakutkan. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H