Cerita fakta.
Suatu saat pada hari Rabo, sekita pukul 13.30, di bulan Oktober di tahun 2015. saya kedatangan tamu, saya perhatikan wajah-wajah asli lokalan, namun berpakain adat bukan pakaian nusantara. memori saya langsung teringat pakaian para wali yang sering diceritakan oleh orang-orang dalam gambar.
Sekarang saya berpikir dan berkeyakinan sama sekali berbeda dengan apa yang saya terima semasa kecil. Seandainya para wali dulu berpakaian seperti yang digambarkan seperti yang sekarang, betapa tidak egaliternya mereka, untuk merakyat dalam menjalani kehidupan. Butuh berapa stell pakaian jika mesti berpakaian seperti tersebut, setiap saat dan waktu dan saat mereka menjelajah anjang sana. Apalagi saat mereka berdagang dan saat bercocok tanam sebab, saya juga mendengar sebagian besar para wali sembilan adalah saudagar dan para petani.
Kalau benar berpakaian seperti yang tergambarkan dalam cerita-cerita sejarah (pun film) berarti “tentu para wali bukan orang Nusantara tapi, orang perantauan dari luar negeri (wali impor). Atau hanya saat mereka sholat dan jumatan atau ritual ibadah tertentu.
Kembali kepada cerita. Sebelum enam orang tamu datang, diruang tamu telah duduk dua orang tamu wali santri sebab, setelah sholat dhuhur berjamaah, mereka berdua langsung mengikuti saya ke ruang tamu, kemudian saya persilahkan duduk terlebih dahulu. Setelah berbincang sebentar, basa-basi, kemudian saya pamit kebelakang karena saya ingin ke kamar mandi sehingga mereka berdua saya tinggal. Namun saat saya belum benar-benar meninggalkan mereka berdua, ada suara “uluk” salam, “assalamu’alaikum Wr. Wb” kemudian saya pun menjawab, “wa alaikum salam wr. wb, silahkan duduk”, saya melanjutkan pamit saya, untuk kebelakang.
Setelah dari kamar mandi, saya kembali berjalan ke ruang tamu untuk menemui mereka, jari saya sedang menjepit sebatang “sigaret” walau belum saya nyalakan. Saya terhenti di balik daun pintu karena mendengar pembicaraan mereka yang saya (sedikit) terkaget. Sebab saya mendengar bahwa enam orang tamu yang datang belakangan sedang “bertausiyah” kepada dua orang tamu yang telah duduk terlebih dahulu tersebut.
Saya tidak mengetahui awal kalimat pembicaraannya, yang saya dengar adalah “..........,itukan bid’ah, setiap segala sesuatu tidak ada dasar dalil yang mengikat, dan tanpa ada dasar dalilnya dari Al-Qur’an dan dari Al-Hadits kan perbuatan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah perilaku tambahan yang menyesatkan, karena nabi tidak pernah melakukan amal perbuatan tersebut bahkan melarang atau nabi tidak melakukan perbuatan tersebut”
Saya tercekat, saya berdiri mematung sambil mendengar lanjutan pembicaraan mereka, “kita harus menegakkan syareat islam, syareat islam harus ditegakkan”. Saya mendengar kata-kata yang terangkai menjadi sebuah kalimat dalam untaian pembicaraan yang sepihak. Saya perhatikan dari balik daun pintu, dua orang tamu yang duduk terlebih dulu terdiam, tampak kebingungan, sekaligus ada “aura” marah.
Dalam hati saya berbisik, “ini kok ada tamu nuturi tamu”, Kemudian saya keluar dari balik daun pintu untuk menemui mereka. Setelah duduk, salah satu dari mereka berkata, “pak Kyai; tahlil, merokok, ini... dan itu (banyak hal yang disampaikan kepada kami bertiga) itu semua....kan bid’ah, yaa pak kyai”.
Saya pandang, saya selami kemudian, saya jawab, “ok... monggo di minum dulu, ...kok diutuhkan??, ini minuman semoga tidak difahami bid’ah sebab nabi tidak menggunakan cangkir ini, dan saya juga tidak mengetahui apa nabi ngopi apa tidak?, ngeteh atau tidak?. Kalau ngopi mereknya apa kalau ngeteh mereknya apa?, saya juga tidak mengetahui, jika berbeda produksi dan beda merek serta beda yang membuat dan beda asal kopi atau asal teh menjadi bid’ah apa tidak??, saya juga tidak mengetahui persis. Mengenai pertanyaan bapak tadi, saya belum bisa jawab dengan pasti...!!!, masalah bid’ah itu urusan Nabi dengan shohabat-shohabatnya, nanti kita tanya kepada shohabat-shohabat nabi tersebut, semoga ada jawaban yang memuaskan bagi kita!!, yang penting “silaturrahim” ini tidak ternodai”.
Saya melanjutkan, “....sebab yang ternodai, kemudian kecewa, marah apalagi dendam kemudian membenci, jelas ini didalam Al-Qur’an dan didalam Hadits tidak boleh sebab, mengotori hati dan pikiran, merusak kejernihan dan kemurnian. Demikian pula saat saya nuturi, menasehati, kemudian saya merasa lebih baik dan lebih suci, kemudian berlaku menodai “ikatan” silaturahim maka, saya sama saja, telah mengotori kesucian dan kebersihan hati. Yang dikhawatirkan akan menggelincirkan diri saya sendiri ke lembah “murka dan dosa”. Tentu kita tidak menginginkan hal ini terjadi pada kita. Dosa dan murka Allah bisa terjadi karena kita kehilangan kewaspadaan dan kehati-hatian, bahkan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang yang tidak mempergunakan akalnya, QS. Yunus 100