Menuju Kenali diri, maka dapat mengelola bagaimana berdunia!!!.
SAAT KITA BELUM MENGENAL JEMBATAN UNTUK DAPAT MENGHANTARKAN KE SEBERANG MAKA PENGELOLAAN “MASA DEPAN” HANYA AKAN BERHENTI PADA WAWASAN DAN WACANA, JEMBATAN ITU ADALAH KENALI MENGENAI DIRI.
Sudahkan kita mengenali diri kita, siapakah diri kita sebenarnya??????
Saya ditanya oleh anak saya yang saat itu kelas 4 Sekolah Dasar, bapak agama islam itu apa??? Saya mencoba menjawab dengan beberapa cara yang saya coba sesuaikan dengan umurnya, sampai-sampai saya meminta buku pelajaran agamanya, supaya penjelasan yang akan saya berikan dapat menyesuaikan dengan buka pelajaran agama yang diajarkan oleh gurunya, supaya tidak terjadi pertentangan pemahaman bahkan saya juga berbalik bertanya ke dia, “lhaah... gurumu kalau menjelaskan agama bagaimana, kemudian dia menjawab bla...bla...., saya mengenyitkan dahi, saya berpikir apa beda agama dengan kebiasaan-kebiasaan, apa beda agama dengan adat istiadat, apa beda agama dengan budaya, kultur dan kepercayaan, jika tidak membangun karakter, akhlak, pola berpikir yang sistematis untuk kemajuan dirinya, lingkungannya, masyarakatnya, dan bahkan, bangsa dan bertatanegaranya (dilain kesempatan akan kami coba tulis sebagai artikel/makalah), apakah sudah sedemikian parahnya bergeseran dalam menjalankan agama itu, sehingga semuanya diukur hanya pada sisi ranah lahiriyah. Sholat, shahadah, zakat, haji hanya berpikir pahala dan ganjaran serta surga tanpa melibatkan ranah batin. Padahal yang paling awal adalah “bersaksi” artinya adalah “kasunyatan” keadan real, dan realistis. Bersalaman akan rontok dosa-dosanya, dan berganjaran surga dan bidadari, apa hanya sebatas ini beragama. Hanya menyuguhkan gelas dan piring tanpa isi, dan rebutan, gontok-gontokan jenis, model, pola gelas dan piringnya, dan ini sudah membudaya itu .
Ehhh... saya kembali kepada cerita, setelah menjawab dengan sedikit kesimpulan bahwa agama itu untuk mengenal diri kita ini siapa, kemudian berperilaku dengan akhlak dan adab yang baik, dilakukan pada cara berteman, cara menghormati, menghargai, berani mengakui kelemahan diri dan berani mengakui kelebihan orang lain..., kemudian anak saya menjawab dengan santainya, mimik wajah tanpa dosa, mengatakan, “OOOO... SAYA KIRA AGAMA ISLAM ITU ADALAH MATA PELAJARAN” TERNYATA BUKAN TOO!!!.
Kita sering merasa bahwa kita adalah manusia!!!! Secara bentuk fisik mungkin iya, namun bagaimana jika dihadapkan dengan esensi kemanusiaan. Masihkah kita ini manusia.
PERILAKU HEWAN
Apapun nama hewan dan apapun perilakunya; kehendak berkembang biak, kekuasaan wilayah, migrasi, berkelompok serta mencari tempat rantai makanan, yang kuat menang, yang lemah kalah atau mati, yang kuat makan, yang lemah kelaparan, yang kuat menguasai betinanya, yang lemah menyingkir mencari yang lebih lemah, apapun, semuanya bersumber pada keberlangsungan hidup yang berkaitan dengan kebutuhan makan, dan kebutuhan sahwat serta kekuasaan wilayah yang didorong oleh sifat-sifat laparnya, pemarahnya dan pendendamnya. Semua perilaku hewan adalah untuk memenuhi kebutuhan lahirnya, kebutuhan hawa nafsunya, dan hakekat nafsu sesungguhnya tidak lain adalah wujud jiwa raganya tersebut.
NAFSU MANUSIA
Jika definisi manusia adalah hanya dikaitkan dengan seonggok organ tubuh, dan pancaindra serta akal-pikiran, yang berarti wujud jiwa raga manusia itu sesungguhnya adalah wujud nafsu manusia. Sehingga saat seseorang bergerak dan beraktifitasnya orientasinya semata-mata untuk memenuhi kesenangan-kesenangan kebutuhan jiwa raganya semata maka, hal tersebut namanya adalah gerakan hawa nafsu, dan hal ini tidak akan jauh dari sifat dan perilaku hewan. Secara kasad mata fisik lahir berbeda, namun orientasi hidupnya adalah sama saja, yakni hanya pemenuhan kepuasan dan kesenangan hawa nafsu dunia, mengejar nikmatnya kekuasaan, nikmatnya kekuatan, nikmatnya nafsu sahwat. Hayawanun natiq. Hewan yang berpikir. Maka akibatnya daya merusaknya, daya penghancurannya juga dahsat jika dibanding dengan hewan.
Maka perilaku manusia yang hanya orientasi pada nafsu sahwatnya, nafsu kekuasaannya, nafsu kebutuhan perutnya semata serta tidak mengindahkan ranah batin, dikatakan bagai hewan bahkan, lebih sesat jalannya. Sebab jika hewan memang sudah kudratnya bahwa kehendak hatinya (secara fisik didalam tubuh hewan memiliki organ hati) namanya hati hewan, hati yang memang untuk memenuhi kehendak pertahanan hidup orientasi fisik lahirnya semata, sehingga kepalanyapun digunakan hanya untuk berpikir atas pemenuhan hawa nafsunya tersebut (jika inipun kita fahami bahwa, hewan memiliki otak) inipun namanya adalah otak hewan. Dikatakan lebih sesat jalannya, karena manusia pada dasarnya diberi pilihan, menjadi taqwa atau menjadi fasiq, menjadi yang terselamtakan atau tersesatkan terserah akan memilih yang mana???. Pun diri kita juga memiliki pilihan!!! Memilih selamat maka, dengan cara-cara laku selamat, atau memilih kesesatan.
STUDY KASUS.
Maka menjadi wajar saat yang diperhatikan adalah hanya pada ranah sisi lahiriyah, keadaan masyarakat bangsa kita, pendidikan bangsa kita, pemerintahan bangsa kita, pejabat-pejabat bangsa kita, terjadi “dekadensi” di semua sektor di semua tingkatan berakibat seperti sekarang ini. Semua terpuruk, sudah saatnya ditampakkan kesalahan-kesalahan orientasi berdunianya oleh Tuhan. Semakin terpuruknya moralitas, semakin maraknya koruptor, walau telah ditekan sedemikian rupa, bahkan terjadi kerusuhan, pengrusakan, pembunuhan (dan sayang semuanya diatas namakan sebagai perilaku agama) karena didalam hatinya yang dicintai, yang diingat-ingat adalah uang dan jabatan maka akal-pikirannya, organ tubuh dan pancaindranya digunakan untuk memperoleh atas apa yang telah ditetapkan didalam hati sanubarinya, dengan segala cara dan strategi. Menjadi wajar, karena perilaku yang hanya berorientasi kepada material dan sekuler.
Di bidang pendidikan misalnya, kualitas pendidikan pada tingkat satuan pendidikan diukur dengan standar “pembanding” dengan satuan pendidikan yang lainnya, baik, yang didalam negeri atau yang diluar negeri. Pendidikan akan dinilai telah memiliki “kualitas” yang baik dan maju tergantung pemenuhan pada standar “pembanding”. Jika telah bisa mendekati seperti sekolah yang divavoritkan; fasilitasnya, sarana-prasarananya, kelulusan siswa-siswinya, jumlah piala dan penghargaannya, kemegahannya. Sepertinya memberikan gambaran bahwa jika seseorang itu berkeluarga maka ukuran standar kesuksesan, kualitas suksesnya diukur dengan tetangga sebelahnya, tetangganya beli motor, maka supaya kualitas harus beli montor, tetangganya beli mobil maka, supaya meningkat kualitasnya dan minimal harus sama dengan tetangganya maka ikut beli mobil. Sepertinya memberikan data bahwa jika kamu bisa mengalahkan orang lain, semakin banyak yang bisa dikalahkan, semakin banyak yang bisa dihancurkan, semakin banyak yang bisa kamu singkirkan maka itulah namanya kamu sukses.
Perilaku perwatakan kita selama ini telah dibentuk dibangun dan dikembangkan sedemikian rupa sejak kita pada tingkat sekolah dasar, diajak melakukan persaingan kalah menang “semata-mata”, diiming-iming dengan “janji-janji” bahkan pun dalam agama. Dan sekali lagi ini semua menjadi wajar, karena orientasi hati hewan hati sanubari.
Dan yang tidak wajar adalah jika di dalam diri kita tidak tergerak untuk mencari kebenarannya, kebenaran niat, kebenaran tujuan yang akan membangun orientasi visi dan misi serta tujuan kita hidup, kebenaran hidup, dari mana kehidupan kita, untuk apa kita dihidupkan, kemana arah kehidupan kita, yang tidak wajar adalah kita tidak berusaha untuk belajar lebih untuk bagaimana kita mengenali esensi “diri” kita. Yang lahir yang mana dan bagaimana dan yang batin dimana, apanya dan bagaimana.
Tulisan ini dimaksudkan untuk penulis gunakan belajar dan menyelami bahwa penulis menyadari kelemahan dan kekurangan serta dosa-dosa sebagai hamba, yang mencoba berbagi dan bisa juga saling berbagi. Semoga bermanfaat.
Da’a tanjung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI