Mohon tunggu...
Ponco Wulan
Ponco Wulan Mohon Tunggu... Guru - Pontjowulan Samarinda

Pontjowulan Kota Samarinda Kalimantan Timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lembaran Kisah Guru Masa kini

18 Oktober 2024   15:39 Diperbarui: 18 Oktober 2024   15:46 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber gambar dari AI

Suara langkah kaki terdengar samar-samar menyusuri lorong panjang yang dipenuhi bayang-bayang harapan. Pak Nurdin, seorang guru yang sudah lebih dari dua dekade mengabdikan dirinya di dunia pendidikan, melangkah dengan mantap menuju ruang kelas. Sepintas tak ada yang berbeda dari sosoknya, jas hitam sederhana, rambut yang mulai memutih, dan wajahnya yang penuh ketenangan. Namun di balik itu, pikirannya dipenuhi oleh berbagai tantangan yang terus berubah seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi.

Masa kini bukan lagi seperti masa awal ia mengajar, ketika papan tulis kapur dan buku-buku cetak mendominasi ruang kelas. Kini dunia pendidikan telah mengalami perubahan besar namun di ruang kelas ini, tatap muka masih menjadi andalannya. Pak Nurdin berdiri di depan murid-muridnya, wajah-wajah penuh rasa ingin tahu yang duduk dengan buku dan pena di tangan, siap menyerap ilmu. Meski perkembangan teknologi sudah merambah ke segala sisi, di kelas ia masih bisa mendengar langsung tawa dan candaan yang selalu dirindukannya.

Pak Nurdin akan mengajar tentang hal-hal yang tak sekadar ada di buku, tapi juga pengalaman hidup yang ia harapkan bisa mereka bawa ke masa depan. Baginya profesi sebagai pengajar bukan hanya soal menyampaikan materi, tetapi tentang membentuk karakter dan pola pikir. Dengan senyuman kecil di wajahnya, Pak Nurdin siap membuka lembaran baru dalam kisahnya sebagai pengajar masa kini di ruang kelas yang selalu menjadi saksi perjalanannya.

Pak Nurdin berdiri sejenak, memandang para siswanya yang sibuk menyiapkan buku catatan di atas meja. Di baris paling depan, Dona terlihat sibuk mengatur letak kertasnya, sementara Siska di barisan belakang mulai membuka laptop, siap mencatat pelajaran dengan cara yang lebih modern. Perbedaan cara belajar ini mengingatkan Pak Nurdin pada bagaimana dunia berubah namun semangat siswa tetaplah sama mencari ilmu dengan caranya masing-masing.

"Baiklah, anak-anak," suaranya mengalun tenang namun penuh wibawa, "hari ini kita akan membahas tentang pentingnya literasi di era digital. Meski kalian hidup di zaman yang serba cepat, kalian harus tetap berpijak pada dasar-dasar yang kuat."

Pak Nurdin berjalan menuju papan tulis dan mulai menuliskan beberapa poin penting tentang materi yang akan dibahas. Pandangannya sesekali menyapu ke arah siswanya dan memastikan mereka tetap fokus. Di sudut kelas ada Raka, siswa yang terkenal sering mengantuk dan terlihat berusaha menahan rasa kantuknya. Melihat itu, Pak Nurdin tersenyum dalam hati dan menyadari bahwa meskipun teknologi sudah canggih, tantangan klasik seperti ini tetap tak berubah.

Sejenak, pikirannya melayang pada masa lalu ketika ia pertama kali mengajar dengan peralatan sederhana, tanpa adanya proyektor atau gadget canggih. Dulu, siswa-siswa mencatat di buku tulis dengan penuh semangat. Kini sebagian besar siswa lebih memilih mengetik di gawai mereka. Perubahan itu tak mengganggunya asalkan selama nilai-nilai dasar pendidikan tetap tertanam di hati mereka.

"Raka," panggil Pak Nurdin tiba-tiba, memecah keheningan, "coba jelaskan menurutmu, apa peran penting dari literasi di masa sekarang?" Raka terkejut sejenak, lalu perlahan berdiri dengan rasa canggung. "Literasi, Pak?" suaranya terdengar ragu, "Saya kira... literasi penting agar kita bisa menyaring informasi. Banyak berita palsu di internet, jadi kita harus bisa memilih mana yang benar."

Pak Nurdin mengangguk puas. "Betul sekali. Literasi bukan hanya soal membaca buku tapi juga kemampuan memahami dan menganalisis apa yang kita baca terutama pada zaman yang penuh informasi seperti sekarang."

Kelas kembali hening tapi kali ini dipenuhi dengan keseriusan. Pak Nurdin merasa lega melihat siswanya mulai menyadari pentingnya pelajaran yang ia sampaikan. Di sinilah hatinya merasa tenang karena dapat tatap muka, komunikasi langsung, dan diskusi terbuka adalah kekuatan yang tak tergantikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun