Mohon tunggu...
Ponco Wulan
Ponco Wulan Mohon Tunggu... Guru - Pontjowulan Samarinda

Pontjowulan Kota Samarinda Kalimantan Timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terjebak Cinta dalam Media Sosial

26 Agustus 2024   20:29 Diperbarui: 26 Agustus 2024   21:34 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mira membulatkan matanya di layar ponselnya, jemarinya menari-nari dengan cepat di atas keyboard virtual. Kehangatan cahaya layar menyinari wajahnya yang terpesona. Di alam maya yang tak terlihat, terpampang hidupnya foto-foto Hasan yang tersenyum manis, cerita-cerita kesehariannya, dan setiap kata-kata bijak yang menyentuh hati. Mira tak pernah bertemu Hasan secara langsung namun rasa dekat yang dibangun lewat layar membuatnya merasa seolah-olah mereka sudah lama saling mengenal.

Hasan seorang pria dengan senyum yang menawan dengan kata-kata yang selalu tepat. Setiap kali notifikasi muncul dari media sosialnya, hati Mira berdebar tak karuan. Apa yang akan dikatakan Hasan kali ini? Apakah dia akan mengomentari postingan Mira seperti yang biasa dilakukannya? Mira merasa nyaman dalam hubungan ini meskipun hanya berdasarkan balasan-balan dari Hasan.

Rita adalah sahabat Mira sejak SMA yang pertama kali menyarankan agar Mira "mengikuti" Hasan di media sosial. "Dia orangnya serius, tapi juga romantis lho, Mira," kata Rita waktu itu dengan senyum ramahnya yang selalu menghiasi wajahnya. Rita selalu mengingatkan Mira untuk tetap hati-hati dalam membangun hubungan virtual seperti ini tapi kadang-kadang perasaan dan emosi sudah terlanjur meluap. Hingga suatu hari Mira menemukan bahwa dunia maya yang menyenangkan ini memiliki sisi gelap yang tak terduga.

Mira menatap layar ponselnya dengan tatapan haru. Dalam alam maya yang penuh warna, Hasan hadir dengan senyumnya yang hangat dan kata-kata yang selalu membuat hati Mira berbunga. Mereka tidak pernah bertemu secara langsung tetapi interaksi mereka di media sosial telah membangun ikatan emosional yang kuat.

Setiap malam sebelum tidur, Mira mengecek notifikasi dari Hasan dengan harapan yang tak terucapkan. Sebuah komentar atau pesan singkat dari Hasan bisa mengubah mood-nya dari sedih menjadi bahagia dalam sekejap. Baginya dunia virtual ini telah menjadi tempat perasaannya tumbuh dan berkembang meskipun jarak fisik memisahkan mereka.

Namun di balik layar yang terang itu ada Rita, sahabat karib Mira yang sering memberikan saran bijak. "Hati-hati, Mira," ujar Rita dengan nada khawatir yang selalu mengiringi setiap cerita cinta virtual. "Terkadang yang kita lihat di media sosial tidak selalu mencerminkan kebenaran."

Mira mengangguk tapi sulit untuk menahan getaran di dadanya setiap kali Hasan muncul dalam feednya. Dia tahu ada risiko di balik kenyamanan yang dia rasakan dalam hubungan ini tapi ketika cinta menghampiri lewat pintu maya, sulit untuk menolaknya.

Mira duduk sendirian di sudut kamar, matanya terpaku pada layar ponsel yang terang. Jemarinya menari-nari di atas keyboard virtual dan menjelajahi dunia maya yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya. Di antara foto-foto Hasan yang tersenyum manis dan status-statusnya yang cerdas, Mira merasa seakan-akan dia sudah mengenal pria itu dengan sangat baik.

Mereka belum pernah bertemu di dunia nyata tetapi percakapan mereka di media sosial telah menciptakan ikatan emosional yang dalam. Setiap malam sebelum tidur, Mira mengecek layar ponselnya dengan harapan tersembunyi, menanti pesan atau komentar dari Hasan yang bisa mencerahkan hari-harinya.

Namun di samping kebahagiaan yang dirasakannya dalam hubungan ini, ada juga Rita, sahabatnya sejak masa sekolah menengah. Rita, yang selalu menjadi suara hati nurani Mira, sering kali mengingatkannya untuk tidak terlalu larut dalam dunia maya. "Jangan terlalu percaya pada apa yang kamu lihat di sana, Mira," ujar Rita dengan nada khawatir yang tak terelakkan. Meski Mira mengangguk setuju, hatinya sulit untuk menolak kehangatan dan kenyamanan yang diberikan oleh Hasan lewat layar ponselnya.

Perlahan-lahan Mira mulai merasa terjebak antara dunia nyata dan dunia maya yang dibangunnya bersama Hasan. Rasa penasaran dan kerinduan terhadap sosok yang hanya dikenalnya melalui layar membuatnya semakin terjebak dalam labirin emosi yang rumit.

Hingga suatu hari saat kebenaran di balik jaringan sosial mulai terkuak, mengungkapkan sisi gelap dan konsekuensi dari hubungan yang mereka bangun di dunia maya. Mira duduk di sudut ruang tamu apartemennya, matanya terfokus pada layar ponsel yang terang. Di depannya, alur tak berujung dari media sosial membuka jendela ke dunia Hasan. Foto-foto senyum Hasan, komentar-komentar puitisnya, dan momen-momen yang mereka bagikan secara virtual, semuanya menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas harian Mira.

Hubungan mereka tumbuh di dalam kotak-kotak komentar dan emotikon. Mira merasa seolah-olah dia mengenal Hasan secara mendalam meskipun mereka hanya berinteraksi melalui layar. Hasan dengan kepribadiannya yang menarik dan wawasannya luas, selalu mampu menemukan cara untuk membuat Mira tersenyum bahkan dalam hari yang paling gelap sekalipun.

Kesadaran akan jarak fisik di antara mereka mulai menimbulkan ketegangan dalam pikiran Mira. Apakah cinta sejati dapat tumbuh dan bertahan hanya lewat layar ponsel?

**********

Mira duduk di meja dapur mengaduk-aduk secangkir teh hangat sambil memikirkan pesan terakhir dari Hasan yang mengambang di layar ponselnya. Hatinya berbunga-bunga tetapi kebahagiaannya terhenti tiba-tiba ketika ibunya, Nyonya Rini, memasuki ruangan dengan wajah serius. "Mira, ada yang ingin kita bicarakan," ucap Nyonya Rini, suaranya penuh kekhawatiran.

Mira mendongak, merasa sedikit gemetar. "Ada apa, Ma?"

Nyonya Rini duduk di sebelahnya, menatapnya dengan pandangan tajam. "Kamu terlalu sering terpaku pada ponselmu akhir-akhir ini. Aku khawatir kamu terlalu terlibat dalam dunia maya ini. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Mira menelan ludah. "Ma, aku hanya..."

"Tidak hanya itu," potong Nyonya Rini dengan lembut namun tegas. "Aku juga khawatir dengan hubunganmu dengan Hasan. Kamu tahu dia dari mana? Apakah kamu yakin kamu bisa percaya padanya?"

Mira merasa kehabisan kata-kata. Ia mencoba menjelaskan perasaannya pada ibunya, tetapi setiap kalimat terasa terhenti di tenggorokannya. Ia mengerti kekhawatiran ibunya, tetapi sulit baginya untuk meredam perasaan yang tumbuh di dalamnya.

Di sisi lain, di rumah Hasan, suasana juga tegang. Hasan duduk di meja makan dengan ayahnya, Pak Adi, yang menatapnya dengan pandangan serius. "Hasan, aku melihat kamu semakin terlibat dalam hal-hal ini," ucap Pak Adi dengan suara yang tenang namun tegas. "Kamu harus tahu batas-batasnya. Ini bisa membahayakan masa depanmu."

Hasan mengangguk, mencoba menenangkan ayahnya. "Aku mengerti, Ayah. Tapi Mira tidak seperti yang Ayah kira. Dia istimewa."

Pak Adi mengangkat alisnya. "Bagaimana kamu bisa yakin? Kamu belum pernah bertemu dengannya secara langsung."

Perdebatan yang intens di antara Hasan dan ayahnya berlanjut, memunculkan ketegangan yang menggantung di udara. Hasan merasa dilema antara cinta yang ia rasakan dan kekhawatiran ayahnya yang tidak terhindarkan.

Mira menatap layar ponselnya dengan senyum tipis di wajahnya, ketika tiba-tiba suara ibunya, Nyonya Rini, memotong lamunan virtualnya. "Sayang, sudah larut malam. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Nyonya Rini, suaranya penuh kekhawatiran.

Mira memalingkan pandangannya dari layar, merasa terkejut. "Hanya mengobrol dengan seorang teman, Ma. Dia... Hasan."

Nyonya Rini mengangguk, namun ekspresinya tetap serius. "Sudah lama kamu mengenalnya? Aku harap kamu tidak terlalu terlibat dalam hubungan semacam ini. Kamu tahu bahwa percakapan di media sosial tidak selalu mencerminkan kebenaran."

Mira menggigit bibirnya, mencoba menenangkan ibunya. "Aku mengerti, Ma. Tapi Hasan tidak seperti orang lain. Dia berbeda."

Di rumah Hasan, situasinya tidak jauh berbeda. Pak Adi duduk di ruang keluarga, menatap layar laptopnya dengan pandangan serius. "Hasan, mari bicara sebentar," ujarnya dengan suara tenang. Hasan mendekati ayahnya dengan hati yang berdebar. "Ada apa, Ayah?"

Pak Adi mengangkat alisnya, mencari kata-kata dengan hati-hati. "Aku melihat kamu semakin sering online belakangan ini. Aku harap kamu tidak terlalu terlibat dalam hal-hal yang mungkin bisa mengecohmu."

Mira duduk sendirian di kamarnya, menatap layar ponsel yang terang dengan tatapan bingung. Notifikasi terakhir dari Hasan membuat hatinya terasa berat. Namun kali ini bukan ketidakhadiran fisik Hasan yang membuatnya gelisah, melainkan sebuah pesan singkat dari seorang teman yang mengaku mengenal Hasan di dunia nyata.

"Apakah kamu tahu, Hasan sebenarnya punya pacar?" pesan itu berbunyi dengan jelas, menyebabkan Mira terdiam. Rasa cemas dan kecewa menghantam Mira seperti badai. Dia menatap layar ponselnya tanpa kata-kata, membiarkan berbagai emosi bertabrakan di dalam dirinya. Selama ini, Mira merasa dekat dengan Hasan melalui dunia maya, tapi sekarang semua terasa hampa. Apakah semuanya hanya sebuah permainan bagi Hasan? Apakah cinta mereka hanya sekadar ilusi?

Sementara itu di rumah Mira, Rita datang untuk mengunjungi Mira. Melihat temannya yang terlihat murung, Rita segera merangkulnya dengan penuh perhatian. "Ada apa, Mir? Kenapa kamu terlihat sedih sekali?"

Mira mengangkat pandangannya, mencoba menahan air mata. "Aku... aku tahu sesuatu tentang Hasan."

Rita menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa yang terjadi?"

Mira menunjukkan pesan yang dia terima. "Seseorang bilang bahwa Hasan punya pacar."

Rita membaca pesan itu dengan ekspresi terkejut. "Oh, Mir, aku tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ini pasti sangat sulit bagimu."

Di sisi lain, Hasan juga merasakan tekanan dari konflik internalnya. Dia duduk sendiri di kamarnya, memikirkan semua yang telah terjadi. Kata-kata Pak Adi tentang kehati-hatian dan keraguan yang tumbuh dalam dirinya membuatnya merasa tertekan. Dia ingin percaya pada perasaannya pada Mira, tapi apakah itu cukup?

Hasan merenung dalam-dalam, mencoba mencari kebenaran di balik semua keraguan ini. Dia tahu bahwa saatnya tiba untuk menghadapi konsekuensi dari permainan yang dia mainkan dengan hati dan perasaan seseorang.

Mira duduk tegang di meja makan dengan ibunya, Nyonya Rini, yang menatapnya dengan pandangan penuh perhatian namun juga kekhawatiran yang dalam. "Sayang, kita perlu bicara," kata Nyonya Rini dengan suara yang lembut namun tegas.

Mira mengangguk, merasa gemetar di dalam. Dia tahu ini adalah saatnya untuk mengungkapkan apa yang terjadi. "Ma, aku... aku mendapat kabar tentang Hasan," ucapnya dengan ragu. Nyonya Rini menatapnya dengan ekspresi khawatir. "Kabar apa, Nak?"

Mira menelan ludah sebelum melanjutkan, "Seseorang mengatakan bahwa Hasan memiliki pacar."

Nyonya Rini terdiam sejenak, menyerap berita itu dengan perasaan campur aduk. "Oh, Sayang," ujarnya akhirnya, suaranya penuh dengan belas kasihan. "Aku khawatir ini akan terjadi. Kamu tahu, cinta yang dibangun di dunia maya seringkali tidak sepenuhnya nyata."

Mira menangis pelan. Dia merasa hancur. Semua yang dia percayai dan yakini selama ini tiba-tiba terguncang oleh sebuah pesan singkat di ponselnya. Dia menyesal tidak mendengarkan nasihat ibunya sebelumnya.

Malam itu, Mira duduk di pinggir tempat tidur dengan ponselnya di genggaman. Dia menatap layar yang kini terasa begitu kosong tanpa pesan dari Hasan. Semua yang terjadi telah membuatnya merenung tentang arti sebenarnya dari hubungan yang dibangun di dunia maya. Dia merasa terjebak antara keinginan untuk percaya pada perasaannya pada Hasan dan ketidakpastian yang muncul akibat pengkhianatan yang baru dia alami.

Rita duduk di sebelahnya mencoba memberikan dukungan yang diperlukan. "Mira, kamu tahu kamu tidak sendirian dalam ini, kan? Aku selalu ada di sini untukmu."

Mira tersenyum tipis, menghargai kehadiran sahabatnya. "Terima kasih, Rita. Aku... aku harus belajar dari semua ini."

Hasan juga merenung dalam keheningan kamarnya. Dia menggenggam ponselnya dengan erat, menyesali bagaimana segalanya bisa berubah begitu cepat. Kata-kata ayahnya dan keraguannya sendiri sekarang terasa begitu nyata. Dia ingin memperbaiki segalanya, tapi apakah sudah terlambat?

Pak Adi datang mendekat, mengetuk pelan pintu kamar Hasan. "Bolehkah aku masuk?"

Hasan mengangguk, membiarkan ayahnya masuk. "Ayah... aku merasa begitu bodoh."

Pak Adi duduk di sampingnya, mencoba menenangkan anaknya. "Tidak, Hasan. Kamu hanya mencoba mencari makna dari semuanya. Setiap hubungan membawa pelajaran, meski kadang itu pahit."

Hasan menarik napas dalam-dalam. "Aku akan memperbaikinya, Ayah. Aku harus bertanggung jawab." Pak Adi tersenyum lembut, merasa lega melihat Hasan mulai memahami arti dari pengalaman ini. "Apa pun yang kamu lakukan, pastikan kamu belajar dari ini dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik."

Mira memutuskan untuk menghapus pesan terakhir dari Hasan. Dia memutuskan untuk melangkah maju menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri sebelum mencoba mencari cinta yang sejati di dunia nyata.

Sementara Hasan dengan tekad baru mulai memahami pentingnya kehati-hatian dan integritas dalam setiap hubungan yang dia bangun, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.

Mereka berdua meski terpisah jarak dan kehidupan, tahu bahwa pengalaman ini telah mengubah cara mereka melihat cinta dan hubungan yang mungkin suatu hari nanti, mereka akan menemukan makna sejati dari hubungan yang autentik dan tulus.

Malam itu setelah berhari-hari merenung, Mira akhirnya membuat keputusan. Dia duduk di depan laptopnya dengan hati yang berat menulis pesan terakhir untuk Hasan. Dia mengetik dengan perasaan campur aduk menjelaskan tentang rasa dan peristiwa yang baru saja terjadi mengubah perspektifnya tentang hubungan mereka.

Hasan menerima pesan itu dengan hati yang hancur. Dia tahu dia telah membuat kesalahan besar dengan tidak jujur kepada Mira. Dia mengutuk dirinya sendiri atas ketidaktulusannya dan  dia telah menyakiti hati orang yang dia sayangi. Pak Adi melihat kegelisahan Hasan. Dia datang ke kamarnya, mengetuk pelan pintu sebelum memasukinya. "Hasan, apa yang terjadi?" tanya Pak Adi dengan suara lembut.

Hasan menoleh ke arah ayahnya, matanya penuh dengan penyesalan. "Ayah, aku telah merusak semuanya. Aku tidak tulus pada Mira." Pak Adi duduk di sampingnya dengan penuh kekhawatiran. "Anakku, hal terpenting sekarang adalah belajar dari kesalahan ini. Jangan biarkan hal ini merusakmu."

Hasan menangis di hadapan ayahnya dan melepaskan semua beban yang dia rasakan. Dia merasa hancur tapi juga merasa lega bahwa dia akhirnya mengakui kebenaran kepada dirinya sendiri.

Beberapa minggu berlalu tanpa kabar dari Mira. Dia menghabiskan waktu untuk menyembuhkan luka hatinya dan mencari kembali kedamaian dalam hidupnya. Dia belajar bahwa cinta sejati tidak bisa dibangun hanya dari kata-kata di layar, melainkan dari kesetiaan dan kejujuran.

Hasan mencoba memperbaiki kesalahannya. Dia berusaha menemui Mira tetapi tidak berhasil. Akhirnya dengan hati yang hancur, dia mengirim surat panjang kepada Mira, mengungkapkan penyesalannya dan janji bahwa dia akan berubah menjadi pribadi yang lebih baik.

Suatu hari surat balasan tiba di apartemen Hasan. Mira menulis dengan hati terbuka, menceritakan bagaimana dia mengalami proses penyembuhan dan pertumbuhan setelah semua yang terjadi. Dia memberi tahu Hasan bahwa mereka berdua harus belajar dari pengalaman ini dan mungkin suatu saat, jika takdir mengizinkan mereka akan bertemu kembali.

Surat itu membawa kedamaian bagi keduanya. Mira dan Hasan memilih untuk membiarkan waktu menyembuhkan luka mereka, sambil menjaga kenangan indah yang mereka miliki. Mereka berdua tahu bahwa cinta sejati tidak selalu datang dalam bentuk yang diharapkan tetapi sering kali sebagai pelajaran berharga tentang kejujuran, integritas, dan pengertian diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun