Pendahuluan
Dalam Peraturan Presiden No. 85 Tahun 2020 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, disebutkan bahwa tugas Kementerian adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa dan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Salah satu strategi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dalam mewujudkan hal tersebut adalah dengan menempatkan pembangunan Desa sebagai bagian dari pelaksanaan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) melalui penerbitan Permendesa PDTT No.21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat.
Secara faktual, pergerakan pembangunan dan pengembangan perekonomian masyarakat perdesaan sebagian besar masih ditopang melalui sebuah proses jual beli yang terjadi pada pasar rakyat (khususnya pasar desa). Pada tahun 2021, kontribusi UMKM terhadap PDB nasional mencapai 61,97% atau senilai Rp.8,6 triliun. Kontribusi tersebut, diantaranya disumbang oleh para pelaku usaha di pasar tradisional Indonesia, yang menurut data BPS pada 2019 mencapai 15.657 pasar tradisional. (SUMBER: Siaran Pers,HM.4.6/158/SET.M.EKON.3/3/2022, Kemenko Perekonomian R).
Namun pada saat ini, proses kegiatan ekonomi pada pasar desa menjadi berkurang, semenjak menjamurnya pasar-pasar modern atau supermarket dan minimarket yang cenderung mematikan proses perekonomian pasar desa. Banyak pasar desa yang tutup karena fasilitas layanan yang tersedia cenderung minim, ragam barang terbatas, dan dikelola apa adanya. Pada dasarnya, kelemahan tersebut bukan disebabkan oleh sumber daya yang ada (man, money, material, machines, methods, marketing, minutes dan informations) tetapi lebih disebabkan oleh kesalahan manajemen (miss-management) pengelolaan pasar desa. Hal ini tidak terlepas dari lemah dan rancunya regulasi yang mengatur tentang otoritas penyelenggaraan pasar desa.
Dalam Undang Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, disebutkan bahwa pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas pengelolaan pasar rakyat diselenggarakan oleh Pemerintah bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (pasal 13). Ketentuan tersebut kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan, yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pasar rakyat adalah pasar yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, Swasta, BUMN, BUMD, BUMDesa, dan/atau koperasi (pasal 71 dan 76).
Tetapi hal tersebut tidak diatur secara lebih tegas melalui Peraturan Menteri dibawahnya, sehingga ada ruang kosong dalam otorisasi tentang siapa yang berwenang dalam penyelenggaraannya. Bahkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No: 37/M-DAG/PER/5/2017 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Pengelolaan Sarana Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan No.23 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengembangan, Penataan, Dan Pembinaan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan juga tidak dijelaskan tentang kewenangan penataan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas pengelolaan pasar rakyat yang dikelola oleh BUMDesa.
Satu-satunya regulasi yang secara eksplisit menyebut perihal pasar desa adalah Permendagri No.42 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pasar Desa. Tetapi peraturan menteri ini dianggap sudah tidak relevan lagi digunakan mengingat dinamika perkembangan desa pada saat ini, apalagi jika dikaitkan dengan terbitnya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa.
Mendasar pada hal tersebut diatas, maka perlu kiranya diatur lebih spesifik terkait pengelolaan pasar desa yang professional agar pergerakan perekonomian di desa dan perdesaan dapat tetap berjalan dan berkelanjutan, serta mampu bersaing dengan ritel modern. Sekaligus mendorong pemenuhan target capaian Sustainable Development Goals Desa (SDGs) sesuai Visi dan Misi Presiden RI seperti yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024.
Deskripsi Masalah
Mendasar pada uraian tersebut diatas, maka terdapat beberapa permasalahan pada penyelenggaraan Pasar Desa yang dapat diuraikan sebagai berikut:
- Minimnya regulasi dalam penataan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas pengelolaan pasar rakyat (khususnya pasar desa yang dikelola oleh BUMDesa), akan menyebabkan terciptanya ruang kosong atau tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraannya, yang dapat berakibat pada pelanggaran peraturan perundangan. Hasil pemutakhiran data pasar menunjukkan bahwa lebih dari 87% pasar rakyat di Indonesia telah dikelola, baik oleh pemerintah pusat (2,19%), pemerintah daerah/BUMD/adat (79,96%), maupun oleh pihak swasta (5,13%). Sementara itu, kurang dari 13% sisanya digolongkan menjadi pasar rakyat yang belum dikelola (tidak ada informasi terkait pengelolaan, dikelola oleh perorangan, dan diketahui tidak ada pengelola). (SUMBER: direktori pasar dan pusat perdagangan tahun 2020, BPS).
- Konsep pembangunan, pengembangan, dan revitalisasi Pasar Desa tidak dapat direncanakan sesuai dengan potensi dan dinamika perkembangan di desa, serta terjamin keberlanjutannya. Lebih dari 38% pasar dan pusat perdagangan terkonsentrasi di Pulau Jawa. Provinsi yang memiliki jumlah pasar dan pusat perdagangan terbanyak adalah Provinsi Jawa Timur (2.359 unit pasar rakyat dan 208 unit pusat perdagangan). Sementara itu, Provinsi Jawa Barat tercatat sebagai provinsi yang memiliki jumlah pusat perdagangan paling banyak (118 unit pusat perbelanjaan dan 193 unit toko swalayan). Sebaliknya, Provinsi Kalimantan Utara merupakan provinsi dengan jumlah pasar rakyat, sekaligus pusat perdagangan yang paling sedikit (71 unit pasar rakyat dan 11 unit pusat perdagangan). (SUMBER: direktori pasar dan pusat perdagangan tahun 2020, BPS).
- Tidak adanya standarisasi kualitas layanan dalam pasar desa yang dapat mengakibatkan kondisi sarana dan prasarana menjadi kurang memadai dan pengelola tidak mampu lagi membiayai biaya operasional penyelenggaraan pasar desa.Dalam beberapa hal, nilai penting pasar rakyat tidak diikuti dengan kondisi fisik yang memadai untuk memberikan pelayanan. Berdasarkan hasil Survei Profil Pasar Tahun 2018, dapat diidentifikasi bahwa 88,52% pasar yang ada merupakan pasar rakyat, dan memiliki kondisi sarana dan prasarana yang kurang memadai (33,9% tidak memiliki toilet/WC; 47,1% tidak memiliki saluran drainase; 96,2% tidak memiliki instalasi air bersih; 51,33% tidak memiliki Tempat Pembuangan Sampah (TPS); 96,9% tidak memiliki keberadaan pos ukur; dan 62,4% tidak memiliki kantor pengelola pasar). (SUMBER: direktori pasar dan pusat perdagangan tahun 2020, BPS).