Islam sebagaimana namanya merupakan agama damai yang memberikan keselamatan atau dikenal sebagai agama rahmat lil alamim (rahmat bagi semesta alam) bukan semata pada manusia. Barang siapa yang membuat kerusakan (fasad) termasuk membunuh sesama manusia bukan merupakan cerminan dari islam. Perbuatan teroris merupakan apex of evil (puncak kejahatan) karena tindakan teroris dapat merusak seluruh sendi kehidupan, sosial, ekonomi bahkan lingkungan. Dengan demikian tidak ada satupun alasan dalam islam untuk melakukan tindakan kekerasan.
Terorisme sesungguhnya bukan istilah baru, namun "labeling" terorisme yang disematkan pada islam merupakan barang baru yang perlu dianalisa lebih jauh apakah  stempel terorisme itu pantas atau ada muatan lain dibaliknya. Tragedi Christchurch di Selandia Baru setidaknya mematahkan framing terorisme terhadap islam. Namun Demikian bukan berarti bahwa tragedi tersebut tidak terkait dengan label agama (islam). Secara sosial, alasan imigran yang makin membanjiri wilayah eropa dapat menjadi pembenaran namun pertanyaannya mengapa harus islam yang dibunuh?
Beberapa alasan mengapa label terorisme disematkan pada islam, disisi lain mengapa islam menjadi sasaran terorisme. Awal munculnya gerakan terorisme (islam) terjadi saat setelah runtuhnya unisoviet (1991). Amerika Serikat (AS) memproklamir diri sebagai polisi dunia. Setidaknya ada tiga jenis "polisi dunia" yang menjadi penguasaan AS, yakni eknomi, politik dan keamanan.
Sebagai polisi dunia, ketiga jenis "penguasaaan" tersebut harus dikuasai AS. AS kemudian merancang dan mengidentifikasi kekuatan lain selain Uni Soviet ( yang telah runtuh) untuk dilumpuhkan. Pergolakan intelektual terjadi di negera uncle sam. Fawaz A. Greges (2002), menyebutkan perdebatkan dua kubu di AS saat itu yang berupaya mempengaruhi/menyusun "GBHN" politik luar negeri AS. Kubu Konfrontasionalis versus Akomodasionis. Perdebatan dua kubu tersebut ditenggarai oleh kebijakan AS pasca runtuhnya Unisoviet adalah meruntuhkan Islam.
Niat pemerintah AS untuk meruntuhkan Islam setelah runtuhnya Uni Soviet semakin kuat atas peredebatan kedua kubu terebut. Kubu Kofrontasionalis yang dimotori oleh Amos Perlmutter dan Bernard Lewis tidak saja mempengaruhi/memperkuat niat Pemerintah AS juga mempengaruhi opini publik saat itu. Bagi kubu kfrontasionalis, Islam tidak bisa didamaikan dengan barat yag sekuler, islam sama bahayanya dengan gerakan Bolshevik, Fasis, Nazi sehingga harus dilumpuhkan. Bagi kubu Akomodasionis diantaranya  John Elposito dan Leon T hadar mengtakan ancaman Islam adalah mitos barat.
Bagi penulis, keberhasilan kaum konfrontasionalis mempengaruhi opini publik dan pemerintahan saat itu untuk"perang"melawan islam sehingga menjadi kebijakan politik luar negeri AS terhadap dunia Islam. Disinilah cikal bakal sinonimalisasi "terorisme islam" melekat pada islam.
Melihat realitas sosial dan perkembangan terorisme (islam) dewasa ini dengan mengaitkan dengan realitas perdebatan atas kebijakan politik luar negeri AS terhadap dunia Islam saat itu, penulis mengidentifikasi 3 (tiga) cara meruntuhkan islam, salah satunya adalah membetuk terorisme boneka. Pertama, Hard War (perang senjata); Kedua, Soft War ( Perang Pemikiran); Ketiga, Culture War ( perang budaya). Ketiga jenis perang terhadap negeri - negeri muslim ini dilakukan dengan cara berbeda tergantung pada kultur sosial agama yang hidup dinegara masing masing, negeri islam timur tengah, Negeri Islam Sub Sahara sampai pada Islam Indonesia.
Mengenai Perang Senjata atas nama perang Terorisme dan Demokrasi, Hasbullah Masudin Yamin (2017) mengungkapkan bahwa AS akan meneropong negara islam (penduduk islam) non demokrasi yang tidak patuh terjadap AS utuk dijadikan sebagai alasan perang. Tujuan utama sesungguhnya adalah penguasaan Sumber Daya Alama negeri muslim.
Ketika negara islam diperangi, maka bangkitlah kelompok islam melakukan perlawanan. Perlawanan sebagian kelompok islam inilah kemudian diberi "stempel' kelompok terorisme islam. Di lain pihak, terorisme boneka dibentuk sebagai tameng untuk "melegalkan" aksi militer terhadap neger-negeri muslim.
Pada momentum yang lain, umat islam diserang dengan berbagai tuduhan, perilaku seperti ini bukan hal yang unik atau barang baru dalam pergolakan politik internasional jika kita menganalisanya dari apa yang terjadi di AS saat itu.
Untuk menutupi tulisan ini, saya ingi memberikan kesimpulan bahwa dari berbagai literatur sejarah kebijakan AS pasca runtuhnya Uni Soviet, dimana Islam akan menjadi target selanjutnya untuk dilamupuhkan, diantaranya adalah dengan membentuk "teoris boneka" dengan tujuan mempengaruhi opini publik internasional untuk menciptakan apa yang disebut Islamophobia.