Mohon tunggu...
Hasbullah Masudin Yamin DH
Hasbullah Masudin Yamin DH Mohon Tunggu... Lainnya - Calon Presiden RI

Muslim Negarawan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu dan Karbitisasi Politik

26 Desember 2022   09:08 Diperbarui: 26 Desember 2022   09:14 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Habullah Masudin Yamin/Dok. Pribadi

Pemilu dan Karbitisasi Politik

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (pemilu) merupakan sebuah ritual penting demokrasi. Pemilu yang bertujuan memilih pemimpin dan wakil rakyat (anggota DPD,DPR,DPRD provinsi dan DPRD KAbupaten/Kota) didasarkan pada prinsip demokrasi yang menjujung tinggi hak untuk memilih dan dipilih. Semenjak kran reformasi dibuka setelah dikekang oleh rezim "tangan besi" Soeharto, secara nasional kita telah "berhasil" menyelenggarakan beberapa pesta demokrasi lokal maupun nasional dengan berbagai dinamikanya. 

Bercermin pada hasil pemilu yang telah diselengarakan maka out put dari pada demokrasi elektoral  masih sangat mengecewakan ini terlihat dari maraknya praktek KKN yang menggerogoti hampir semua lembaga negara, tindakan asusila, gaya hidup hedonis oleh wakil rakyat serta 'kong kali kong' produk perundang-undangan. Semua itu menunjukan rendahnya moralitas elit politik serta ketidak mampuan wakil rakyat memainkan perannya. 

Dari pengalaman diatas kita di tuntut melakukan perubahan agar menghasilkan kualitas pemimpin dan anggota DPR/D berkualitas. rendahnya kualitas wakil rakyat pada setiap levelnya adalah akibat dari gagalnya partai politik memainkan perannya dalam proses rekruitmen politik, rekruitmen politik yang dilakukan hanya proses karbitisasi tanpa pengkaderan yang matang sehingga menghasilkan politikus karbitan dari sebuah pruduk opurtunis menjelang pemilu. 

Pemilu hanya dijadikan barter politik para penjilat kekuasaan (kaum kapitalis dan elit politik) guna melancarkan praktek binal atas nafsu dan keserakahan, parpol hanya sebagai kendaraan formil untuk mengkelabui rakyat agar rakyat menilai bahwa sesunggunya mereka adalah penegak demokrasi pada hal dibalik itu semua sesungguhnya mereka sedang asyik dengan "onani" kekeuasaan yang dimilikinya sehingga kekuasaan sudah bukan lagi milik rakyat.

Kita tidak pungkiri bahwa hasrat dasar manusia adalah ingin berkuasa. Maka dengan momentum politik dalam pemilihan umum adalah arena perebutan kekuasaan sehingga dari sini lahirlah apa yang disebut oleh Hobbes bellum omnium contra omnes (terjadi peperangan yang dahsyat). Peperangan yang dimaksud hobbes bukan saja peperangan mengangkat senjata tetapi peperangan dalam demokrasi politik berupa pemilihan umum adalah peperangan saling "jegal" antara elit politik dengan menghalalkan segala cara. 

Jika dikaitkan dengan system politik kita saat ini dimana terjadi perebutan kekuasaan khususnya dalam pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota karena disitu disajikan pertarungan perebutan kekuasan baik para calon di internal partai maupun antar partai. Disinilah apa yang dikata hobbes "perang semua melawan semua" ya,! karena perang para caleg dalam satu partai dan perang para caleg dalam satu partai dengan para caleg di partai lain dalam satu daerah pemilihan. Jika demikian maka siapakah yang menjaga keselamatan rakyat. 

Pernyataan Hobbes tersebut harus menjadikan kita semua khususnya para calon wakil rakyat untuk bersikap dewasa,bahwa politik adalah kekuasaan yang kemudian kekuasaan itu dapat digunakan untuk membangun dan mensejahterakan rakyat secara berkelanjutann (sustainable welfare and development). bukan politik sebagai tools untuk men-stimulus atas hasrat dan nafsu appetite yakni nafsu akan kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Begitupula politik bukan sebagai aversion (keengganan) yakni keengganan untuk hidup sengsara sehingga politik dijadikan lahan mengumpulkan harta.

Dari gambaran diatas dan mengamati proses pemilu 2024 kelak hasilnya tidak jauh berbeda dengan hasil periode-periode pemilu sebelumnya, nada pesimis ini bukan sebuah utopis sayas belaka tetapi didasarkan pada lemah dan rendahnya kualitas recruitment politik calon legislatif akibat dari stagnannya proses kaderisasi sehingga parpol" miskin" kader dan pada akhirnya parpol menjadi "pengemis" menjelang pemilu. 

Pengemis dengan membuka lowongan caleg atau dengan mendatangi rumah-rumah hanya sekedar meminta kesediaan pemilik rumah atau anggota keluarga agar menjadi caleg. Stagnanisasi kaderisasi politik inilah yang kemudian melahirkan proses transaksi politik, sehingga melahirkan politikus karbitan.
MAndeknya kaderisasi politik yang berimbas pada politik transaksioanl. Kecurangan paling banyak adalah terjadinya politik uang, jual beli suara, bahkan para caleg pemilik modal minim pengetahuan politik rela menyetor miliaran rupiah untuk merubah hasil pemilu.

Jika demikian maka parlemen kita akan di isi oleh manusia-manusia politik hasil 'onani' yang dilakukan oleh tangan mereka sendiri dan jelas akan mereduksi kualitas dan fungsi parlemen. 

Namun, dibalik kegagalan kaderisasi politik serta proses recruitmen dengan system "onani" dalam pemilu, secercak harapan akan kualitas demokrasi pemlilu masih kita letakan pada salah satu elemen demokrasi yakni rakyat. "Kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat". Dengan demikian rakyat lah menjadi penentu siapa yang layak jadi wakil mereka dan rakyat pulalah yang akan menjatuhkan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun