Mohon tunggu...
anis ardi
anis ardi Mohon Tunggu... -

mahasiswa universitas airlangga pengemat politik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebelas Purnama

5 Januari 2015   16:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:47 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seberapa sulitkah melepaskan sesuatu yang belum pernah ada dalam genggaman ? untuk saat ini tak perlu kau dan aku mengetahui jawabnya. Karena kita sama-sama diperdaya oleh waktu. Waktu bagaikan sebilah pedang. Tuhan memberikan sebilah waktu dan itulah pedangmu.

Sekilas mendamba purnama yang telah sekian waktu menyita malam kelam, dermaga yang sudah dibangun di ujung sana, tampak lengang dan usang. tak ada yang bersauh, tak ada yang merapat, waktu bagaikan menyayat si dermaga, sedang desing angin laut membuat semakin ringkih, dan deburan air laut menambah perih. Aku si anak pantai, menyaksikan sendiri betapa birunya langit dan birunya laut tak berarti apa-apa. Karena dermaga hanya menantikan kapan malam dan kapan purnama, terhitung sudah sebelas purnama, yang kuketahui nahkoda itu tak pernah mendekati dermaga, hanya sepintas tampak kemudian mengabur bersama senja.

Ah, bagi si dermaga, hidup memang penuh tragika, tak bisa dihitung-hitung, tak ada kepastian, tak ada jaminan, jika tubuh melawan mati dengan rasa sakit, hati melawan takut dengan rasa cinta. Mengisi rentang usia perjuangan ini dengan hal yang besar teramat menyita perhatian. Sebagian dari kita lupa, lupa sesuatu, dan sesuatu yang belum pernah ada dalam genggaman ini bisa jadi kehilangan waktunya untuk tampil di purnama ke-sebelas.

Jangan-jangan kita juga tertipu! langit dan laut sama-sama biru, tampak menyatu dalam horizon. Kala malam, langit dan laut juga sama kelam, hanya sekelebat kilau dan sedikit gumintang yang membedakan mereka. Namun cobalah kau lihat lebih jauh, mereka memang sama, namun tak pernah lebih dekat, sedekat puncak gunung dengan langit, sedekat laut dengan gelombang,  mana yang lebih utama, sama atau dekat? Sama tak berarti bisa hidup bersama, dekat juga belum berarti sanggup saling mendekap, jadi memilih sama atau dekat, menjadi sama atau dekat, bukan jaminan.

Salah kalianlah jika tertipu oleh daya optik mata kepala sendiri. Laut dan langit sangat memahami bahwa jarak kilometer cahaya adalah cara terbaik Tuhan yang Maha penyayang untuk meletakkan purnama di orbitnya, dan dermaga di ujung laut. Ini adalah tatanan makrokosmos. Semua harus patuh, tak boleh bersedih apalagi mengumpat. Setidaknya mereka (langit dan laut) berhasil mempesonakan kalian dalam pandangan yang penuh tipu daya.

Bagaimana mereka saling mengisi ruang rindu? Entahlah, aku pikir awan menunaikan tugas mulianya, menangis dari atas langit dengan syahdu, kemudian sampailah pada laut, sedangkan laut membalas air mata langit dengan hangat dan mesra, dia bersikeras sekuat tenaga kembalikan gumpalan awan yang tersebab hujan menjadikannya tiada. Walaupun sedikit kepanasan.

Masih dini hari, pukul 02.00 pagi, seorang laki-laki menghabiskan waktu tidurnya dengan terjaga. Dialah yang selama ini berdiri di atas bangunan utama yang paling tinggi di dermaga, dia selalu seperti itu, selama sebelas purnama, matanya tetap menatap tajam namun penuh keteduhan. Raga nya diterpa udara malam setiap hari, namun pikirannya menyelam ke dasar memori 11 bulan silam, ketika awal dia bertemu dengan seorang perempuan biasa yang teramat menyita perhatian. Seorang perempuan yang sensual, namun sangat sopan dan penyayang. Sangat charming, sangat menawan dan lucu, tak pernah ada perempuan yang sangat menarik perhatiannya. Namun sekarang dia hilang, dia ada di negeri jauh, menimba ilmu dan menebar jala pengaruh dan pesona. Lelaki lajang itu tetap meratap di dermaga, sudah sebelas purnama, dia teramat menyesal mengapa kesempatan yang teramat berharga itu seketika dia buang begitu saja. Dia melewatkan apa yang selama ini dia cari, dia melewatkan apa yang selama ini dia inginkan, dia melepaskan sesuatu yang belum pernah ada dalam genggaman.

Dalam pertemuannya yang terakhir yang tak pernah disangkanya, dia tidak menyiapkan apa-apa, pikiran besar sedang menguasainya. Dia tak tahu bahwa itu adalah hari terakhirnya bertemu dengan perempuan yang sempat menyita perhatiannya, sikapnya acuh, tak peduli, abai dan dingin. Hari ini lelaki yang berdiri di bangunan tinggi dermaga sedang menyesali sikapnya, di purnama yang kesebelas ini dia mendadak limbung, tersungkur di lantai, dia pasrah menyerahkan dirinya pada nasib, tak ada gunanya menyesali setiap perpisahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun