Mohon tunggu...
Christianto DM
Christianto DM Mohon Tunggu... wiraswasta -

Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintahNya.. (Pkh 12:13a)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok dan Pencitraannya

12 Mei 2017   02:31 Diperbarui: 12 Mei 2017   02:39 2042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

               Basuki Tjahaya Purnama, begitu nama lengkap beliau, namun lebih dikenal dengan sapaan Pak Ahok. Mantan Gubernur DKI Jakarta yang sejatinya melepas jabatannya tersebut pada bulan Oktober 2017 ini menyita banyak perhatian, biaya, hingga energy berbagai kalangan, dari dalam pun luar negeri. Terlebih lagi selepas putusan vonis hakim atas kasus yang menerpanya. Berbagai macam aksi damai yang juga sempat berujung anarkis yang melibatkan puluhan ribu hingga ratusan ribu massa menyertai perjalanan kasus beliau ini. Berapa banyak biaya, katakanlah untuk membeli nasi bungkus dan air mineral dihabiskan guna mendanai aksi-aksi damai unjuk tuntutan tersebut? Cukuplah hitung biaya yang tampak di garis depan, usahlah berspekulasi tentang biaya bagi para tokoh di belakang layar. Atau cukuplah kita menghitung-hitung berapa harga balon dan karangan bunga yang dihabiskan demi menunjukkan arti seorang Ahokbagi bangsa ini. Berapapun itu, Apapun tujuan setiap aksi yang dilakukan terhadap Pak Ahok, tetap saja kejadian-kejadian tersebut memberi keuntungan lebih bagi orang-orang yang berkepentingan, dari para politikus hingga pemilik warteg dan penjual balon keliling, termasuk tukang lilin. Tetapi opini ini bukanlah tentang mereka, melainkan tentang Ahok dan pencitraannya.

                Apa yang bisa kita lakukan agar orang lain bersimpati kepada kita? Memberi pertolongan atau bantuan materi pun immaterial? Menolong orang lain itu bagus. Tapi jika motivasinya hanya untuk mendapatkan kekuasaan, itu pencitraan yang buruk. Bukan berarti memiliki imej yang baik di mata orang lain mesti buruk. Bagaimana dengan Pak Ahok? Apakah simpati yang diperolehnya adalah pencitraan dalam konotasi yang umumnya negative itu? Pernahkah terbersit dalam benak kita bahwa postingan bernuansa hasutan atas editan pidato Pak Ahok di Kep. Seribu itu bukan atas permintaan Pak Ahok sendiri? Atau dengan kata lain Pak Ahok ada “kesepakatan tertentu” dengan Pak Buya? Bisa saja, kan? Seperti kiriman ribuan karangan bunga itu yang coba dibuktikan oleh seseorang dengan menunjukkan bukti percakapan WA yang menunjukkan bahwa Pak Ahok sendirilah yang memesan karangan bunga itu. Sayangnya, orang tersebut kurang kreatif sehingga cepat ketahuan betapa naifnya dia. Ya, opini ini tentang Pak Ahok dan strategi pencitraannya.

                Membuka bazaar murah di mana-mana sementara di saat yang sama menggalang kekuatan untuk maju dalam pilkada ataupun pemilu yang menjelang, menurut saya bukanlah hal yang bijak dalam menggapai pencitraan yang positif. Bazaarnya jelas membantu orang miskin, sekaligus membantu menunjukkan seberapa besar ambisi yang dimiliki guna mendapatkan kekuasaan. Kadar yang bisa diukur dari besaran jumlah rupiah yang dihabiskan. Ini, sekali lagi menurut saya adalah pencitraan yang terlalu mudah untuk ditebak. Namun, saya tidak menyalahkan atau menganggap hal itu pasti sia-sia. Buktinya sudah banyak terlihat dari hasil pilkada di beberapa daerah, termasuk di DKI Jakarta. Dan memang opini ini, sekali lagi, bukan tentang pencitraan semacam itu, tetapi tentang pencitraan yang begitu lihai. Ini tentang pencitraan Pak Ahok.

                Sulit terlihat hubungannya, apalagi bila kita hanya fokus pada makian-makian yang dilontarkan, atau dinginnya jeruji terali penjara. Tapi, Pak Ahok tidak bodoh untuk menghambur-hamburkan dana pribadi seperti “koleganya” yang buka bazaar sana-sini atau memberi bantuan-bantuan sosial milyaran rupiah untuk dipublikasikan agar dilihat masyarakat umum itu. Saya teringat beberapa pemberitaan tentang orang-orang stress akibat gagal dalam pilkada. Teringat juga dengan beberapa birokrat yang kini ditahan karena kasus korupsi. Mungkin mereka berusaha keras dalam masa jabatannya yang terbatas itu untuk mengembalikan dana yang sudah dihabiskannya. Akibatnya, selain tidak fokus pada program-program kerjanya, mereka seperti lupa bahwa KPK semakin giat bekerja dan buka cabang di mana-mana. Oya, opini ini tentang Pak Ahok dan pencitraannya yang lihai itu.

                Saya tidak menyangkal kinerja beliau yang begitu mengagumkan. Bahkan meski itu hanya pencitraan semata, prestasinya tidak bisa dipandang sebelah mata. Apa ukurannya? Usahlah menyebutkan penghargaan-penghargaan yang diterimanya dalam waktu yang relative singkat memimpin Sang Ibukota Negara, atau berapa banyak rusun bagi warga miskin yang dibangun serta sungai-sungai di Ibukota yang kini bersih berikut penataan birokrasi yang bersih selama masa jabatannya itu. Kecintaan yang diperolehnya cukup menjawab itu. Cinta yang tidak mungkin diperoleh dari sekilo daging gratis, cabe murah, atau bantuan modal usaha yang bisa disalahgunakan penerimanya. Memangnya parlemen Belanda peduli cabe di Indonesia mahal atau tidak? Atau PBB berkepentingan dengan sate kambing? Memang simpati dan perhatian bagi Pak Ahok terutama pasca vonis hakim bukan berasal dari dalam negeri saja. Simpati menggugah hati yang juga berkumandang dari halaman balai kota DKI Jakarta itu tidak didapat dengan membagi-bagikan sembako murah. Kecintaan yang berasal dari jiwa yang terhubung antara Pak Ahok dengan mereka. Bahwa apa yang kita katakan pun lakukan berasal dari apa yang kita pikirkan, itulah yang menurut saya bisa menjalin rasa keterikatan semacam itu. Mereka, para simpatisan Pak Ahok, mampu menerjemahkan jiwa atau pikiran-pikiran Pak Ahok dari apa yang beliau katakan dan lakukan. Perbuatan dan perkataan yang jelas membutuhkan integritas bagi konsistensi yang kuat. Kebaikan yang tidak bermusim, baiknya hanya saat musim pilkada atau pemilu saja. Ya, saya mengagumi integritas karakter Pak Ahok, namun tetap berpikir bahwa ada pencitraan Pak Ahok yang digawangi oleh orang-orang tertentu, yang tampak seperti membenci beliau, seperti Pak Buya. Saya katakan, tampaknya, bukan menuduh. Toh saya tidak tahu isi hati orang termasuk Pak Buya. Kembali, opini ini bukan tentang beliau, melainkan tentang Pak Ahok.

                Bukankah tidak semua artis ganteng atau cantik? Malahan beberapa orang diuntungkan dengan penampilannya yang jauh dari standar umum. Makin jelek, maaf, makin ngetop. Di sinilah hebatnya Pak Ahok! Bukannya menarik simpati massa dengan menjadi dermawan semusim, beliau makin dicintai ketika beliau tampak seperti dibenci. Makin orang berupaya mencari cara untuk membuat orang membenci beliau, disaat yang sama rasa cinta terhadap beliau semakin dalam. Mungkin kejadian-kejadian yang kini marak seperti aksi seribu lilin diberbagai daerah tidak akan pernah terjadi bilamana kasus yang ditimpakan terhadap Pak Ahok ini tidak pernah ada! Kita tidak akan pernah tahu kecintaan yang mengharukan seperti orchestra balai kota itu. Saya membayangkan dorongan yang membuat ribuan orang berkumpul sambil memegang lilin yang bisa meleleh panas di jarinya dengan mereka yang menenteng nasi bungkus lengkap dengan air mineralnya. Bagaimana dengan biaya yang dihabiskan untuk mengikuti aksi-aksi semacam itu? Asalnya mungkin bisa menunjukkan dorongan yang dimaksud. Bahwa ini opini tentang Pak Ahok, saya melihat ada hubungan pencitraan beliau itu dengan tindakan-tindakan seperti yang dilakukan Pak Buya. Dan, beliau berhasil! Beliau berhasil memperdalam kecintaan orang-orang terhadap Pak Ahok. Kecintaan yang demikian biasanya awet. Setidaknya pasti lebih lama daripada simpati musim bagi-bagi nasi bungkus gratis. Karena melihat dampaknya dari sisi yang berbeda inilah saya berpikir bahwa ada relasi yang erat antara orang-orang yang tampaknya memusuhi Pak Ahok dengan pencitraan Pak Ahok. Apakah ada kesepakatan secara langsung antara beliau dengan mereka? Itu tidak penting lagi. Mereka mungkin ingin membunuh karakter Pak Ahok, atau memutus kesempatan Pak Ahok untuk bisa maju di pilkada-pilkada berikutnya. Namun yang terjadi sebenarnya justru kebalikannya. Pencitraan yang hebat dan tanpa biaya pribadi. Salute, Pak Ahok!

                Saya pikir, Pak Ahok tidak mungkin memusuhi apalagi membenci orang-orang yang dimaksud. Saya yakin itu. Pak Ahok begitu kuat memegang apa yang diyakininya. Saya yakin, Beliau pasti memegang prinsip-prinsip seperti “Ditampar pipi kanan, beri pipi kiri”,atau “Membalas kejahatan dengan kebaikan”seperti “Jangan membenci musuh, melainkan mendoakannya”. Apakah Pak Ahok memusuhi orang? Saya tidak yakin itu. Dimusuhi orang? Iya. Dan sama yakinnya dengan yang di atas, saya pikir Pak Ahok sudah tahu konsekuensi itu. Seperti kata Sang Maha Guru beliau yang juga saya belajar dariNya, bahwa setiap muridNya akan dibenci karena namaNya. Tidak peduli Pak Ahok bagaimana orangnya; baik dan jujur atau tidak, Pak Ahok harus dibenci hanya karena satu Nama itu. Itu kata Sang Guru ribuan tahun yang lalu, dan Pak Ahok pasti tahu itu. Dan lagi kata Sang Guru untuk itu, "Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat". Bagi para pendukung Pak Ahok, lihatlah kejadian ini dari kacamata yang berbeda agar dapat melihat peranan para haters beliau bagi pencitraannya. Berbahagialah Pak Ahok! God Bless You. God Save NKRI. Peace.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun