Oleh: Bahrum Tawaulu
Literasai merupakan kemampuan membaca, menulis dan memahami secara kontekstual yang di miliki seseorang. Kemampuan yang bukan secara lahiriah dimiliki manusia, namun kemampuan yang di peroleh dari proses panjang pembelajaran.
Membaca, menuluis, berdiskusi adalah budaya yang sering di artikan sebagai budaya literasi. Budaya seperti ini lahir dari pada keinginan yang di miliki oleh individu-individu, budaya inilah yang seharusnya di tekuni oleh generasi muda indonesi sebagai pemegang tonggak estafet perjuangan bangsa, karena dengan literasi generasi mudah akan terdidik dalam mengembangkan kemampuan intelektua serta kapasitasnya.
Namun realitas yang terjadi dewasa ini budaya literasi itu sendiri telah kehilangan identitas, ada semacam distorsi yang terjadi karena pergeseran jaman, yang akhirnya membuat ruang segregasi antara pelajar dalam hal ini pemuda dengan budaya literasi itu sendiri.
Ada beberapa hal yang menerut hemat penulis sebagai pemicu lahirnya ruang-ruang segregasi terhadap proses literasi anatara lain;
Budaya literasi (membaca, menulis) tidak di tanamkan sejak dini
Kurangnya penanaman nilai-nilai literari sejak dini oleh orang tua, adalah salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya ketidaksukaan anak terhadap proses membaca dan menulis dalam hal ini literasi itu sendiri. Orang tua malah menghadirakan ruang pemisah anatara anak dengan budaya literasi, sehingga terciptalah pribadi yang phobia terhadap proses literasi.
literasi hanya sekedar hobi
Penempatan proses literasi sebagai hobi akan menciptakan kesenjangan anatara kebutuhan terhadap literasi itu sendiri, artinya jika membaca dan menulis dalam hal ini literasi hanya di jadikan sebagai hobi maka proses itu hanya akan berlangung pada waktu-waktu tertentu, di situlah akan tercipta ruang segregasi antara individu dan kebutuhan terhadap membaca dan menulis. Paradigama semacam ini yang seharusnya di rokontruksi dalam mencapai sebuah perubahan, seharusnya literasai di jadikan sebagai kebutuhan primer, kebutuhan yang seharusnya di penuhi setiap saat, agar terjadi proses berkelanjutan yang menyebabkan literasi sebagai proses kewajiban yang harus di tunaikan.
Perkembangan teknologi yang pesat
Dengan berkembangnya teknologi turut mengambil peran dalam menciptakan ruang pemisah anatara budaya literasai dengan kehidupan masyarakat, teknologi dengan perkembanganya yang amat pesat orang lebih suka bermain gadget ketimbang baca buku, akhirnya ruang-ruang literasi secara tidak sadar di tinggalkan. Di tamba dengan perkembangan media masa yang cukup marak turut mengambil peran dalam instrument pendukung dari kemajuan teknologi itu sendiri mengakibatkan budaya literasi mengalami pergesaran tempat dari rana kehidupan praksis masyarakat.
Motivasi yang tidak terbangun dalam diri
Tidak ada keinginan yang terbangun dalam diri untuk melakukan proses membaca dan menulis adalah faktor yang mempengaruhi rendahnya budaya literasi, keinginan yang terbangun hanya sebatas ilusi sehingga hadirlah ruang pemisah yang memisahkan diri dengan budaya yang semestinya dirawat dalam kehidupan praksis, pribadi menjadi intoleran terhadap keinginan untuk berliterasi.
Budaya lietrasi mengalami dioreintasi paradigma, paradigma yang terbangun adalah literasi hanyalah sebagai sebuah kebiasaan yang tak di biasakan sehingga proses itu melahirkan siklus yang namanya  apatis dan tidak peduli terhadap dampak yang di timbulkan,
Semestinya literasi hadir sebagai kebutuhan yang setiap saat harus di penuhi, agar tercipta proses yang tak terpisahkan dari siklus kehipan masyarakat. Jangan samapai adagium literasi di ambang kematian malah tercipta, dan menciptakan sistem semacam ini dan akhirnya pun literasi tak mendapakan momentum dan cara untuk hadir sebagai formula dalam memeperbaiki kualitas dan kapasitas masyarakat terkhusnya generasi muda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H