Mohon tunggu...
Pointri Dinita
Pointri Dinita Mohon Tunggu... Penulis - catatan kecil

zona mencatat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perundungan di Kalangan Milenial

16 Agustus 2021   08:53 Diperbarui: 16 Agustus 2021   09:03 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Millennials dapat disebut juga sebagai Generasi Millenial atau  Generasi Y adalah kelompok demografis yang lahir diantara tahun 1980-an sampai 2000-an setelah Generasi X. Jadi, generasi millennial adalah generasi muda masa kini yang saat ini berusia dikisaran 15--34 tahun. Kaum milenial ini tidak terlepas dari penggunaan teknologi dan budaya pop/musik. Kehidupan generasi millennial tidak bisa dilepaskan dari teknologi terutama internet, entertainment/hiburan sudah menjadi kebutuhan pokok bagi generasi ini. 

Teknologi terutama internet menjadi kebutuhan pokok yang tidak boleh lepas dari kehidupan generasi milenial. Pelajar sampai dengan mahasiswa termasuk ke dalam rentangan umur generasi milenial yang harus mendapat perhatian karena penggunaan internet yang intens menjadikan mereka memiliki sifat hedonis. Pelajar dan mahasiswa terutama yang berada di kota-kota besar mulai menarik diri dari kehidupan sosial yang nyata. 

Mereka lebih asik dengan dunia maya. Internet yang berfungsi sebagai sarana berbagi informasi berubah menjadi taman bermain yang membuat anak-anak milenials enggan untuk beranjak, bahkan sebagian dari mereka membangun kastil kehidupan di dalamnya. Dengan pudarnya rasa sosial dan sikap hedonis yang merasuk dalam diri generasi milenial, maka akan sangat mudah terjadi perundungan melalui dunia maya (cyber bullying).

Dalam sejarah mencatat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada akhir tahun 1980 mulai melaksanakan penelitian-penelitian lintas bangsa setiap empat tahun sekali, berkenaan dengan perilaku sehat pada anak-anak usia sekolah. Sampel usia 11, 13, dan 15 tahun dari berbagai dunia dinilai, dan perundungan dimasukan sebagai suatu aspek penting dari penelitian tersebut. 

Jepang menjadi pelopor di Asia yang melakukan upaya-upaya untuk memahami perundungan dan mengembangkan cara-cara untuk mencegahnya. Jepang menggunakan kata ijime untuk menerjemahkan "bullying". Menurut Kawabata (2001), ijime merujuk pada bullying yang menyebabkan hasil-hasil dalam trauma dan dalam beberapa kasus fobia sekolah atau tindakan sekolompok teman sebaya secara kolektif yang mengabaikan dan mengeluarkan seorang korban dari kelompoknya.

Perundungan yang memiliki makna perbuatan mengganggu, mengusik secara terus menerus kepada orang lain secara fisik maupun emosional dalam bentuk kekerasan verbal, sosial, dan fisik. Kata perundungan ini sebagai padanan bahasa Indonesia untuk kata bully. Banyaknya aksi perundungan di kalangan masyarakat akhir-akhir ini. 

Pola perundungan tidak lagi pada kekerasan fisik yang biasanya dilakukan dengan cara memukul, mendorong, atau menyakiti secara fisil, tetapi beralih menjadi kekerasan verbal seperti menyebarkan rumor, menghina, mengancam, atau merongrong seseorang melalui media internet. Berbagai kasus perundungan yang terjadi di kalangan pelajar maupun mahasiswa sebagian basar didasari pada ketersinggungan di sosial media.

Pelaku perundungan adalah mereka yang tidak memiliki rasa empati. Mereka menganggap orang lain lebih rendah dari dirinya. kurangnya kecerdasan emosi pada seseorang dapat memicu munculnya perilaku perundungan. Selain kurang empati, lingkungan dapat mempengaruhi perilaku anak-anak milenial. 

Pengasuhan otoriter yang selalu menekan memungkinkan anak menjadi pemberontak. Mereka mencoba menguasai orang lain dengan menjadi pelaku bullying di luar rumah atau lebih sering perundungan ini dilakukan lewat media sosial. Untuk itu, membangun cinta kasih antara keluarga yang ditularkan dari orang tua kepada anak sangat penting. Keluarga adalah faktor penting dalam pendidikan seorang anak. Karakter seorang anak berasal dari keluarga. 

Sebagian sampai usia 18 tahun anak-anak di Indonesia menghabiskan waktunya 60-80 % bersama keluarga. Sampai usia 18 tahun, mereka masih membutuhkan orangtua dan kehangatan dalam keluarga. Begitu pula sebaliknya, kekerasan dalam keluarga memicu timbulnya perundungan dan tindakan anarkistis baik fisik maupun verbal. Anak yang sering terkena aksi perundungan, mempunyai kecenderungan hubungan yang tidak harmonis pada lingkungan keluarganya. Anak tersebut biasanya bermasalah dalam menjalin komunikasi yang baik. Padahal, hal ini dapat membantu anak untuk mengembangkan pikiran yang positif tentang dirinya dan mempunyai kemampuan berinteraksi dengan sesamanya (Noller &Clan, dalam Trevi, 2010).

Santun bersosial media menjadi hal yang penting untuk diterapkan dan disosialisasikan di kalangan generasi milenial. Rasa empati dan santun dalam bersosial media perlu dipupuk untuk menghindari konflik bahkan perundungan di dunia maya. Penggunaan bahasa yang menghina, menyakiti, dan ada motif merongrong di media sosial mencerminkan bahwa rasa empati yang cenderung tipis. 

Perlunya pembinaan penggunaaan media sosial karena kenyataan membuktikan bahwa kebertanggungjawaban pengguna internet dewasa ini sangat memprihatinkan, jauh dari harapan sehingga sulit dibayangkan terwujudnya harmoni sosial. Etika dan sopan santun dalam bersosial media adalah sikap positif yang harus ditanamkan pada anak-anak milenial agar tidak terjadi pemicu perundungan di sosial media. 

Selain dampak sosial yang akan menimpa pelaku perundungan, dampak hukum juga dapat menjerat pelaku perundungan. Sanksi hukum itu diatur dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE). 

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE, yaitu "setiap orang sengaja tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik". Sebelum adanya jeratan hukum akibat dari tindakan perundungan, perlu adanya pencegahan pada aksi tersebut.

Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pengakuan atas keberadaan dirinya, terlebih pada generasi milenials yang sedang dalam masa transisi dan krisis identitas. Generasi ini lebih sering berjibaku dengan gedget dan membangun kehidupan di dunia maya sehingga meninggalkan pergaulan sosial secara nyata. 

Oleh karena itu, kewajiban guru dan orang tua adalah memberikan alternatif komunitas yang positif dan tetap memenuhi kriteria penerimaan identitas para milenials. Mari, putus mata rantai tindakan perundungan di kalangan generasi milenial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun