Mohon tunggu...
Iham Poetra Maryam
Iham Poetra Maryam Mohon Tunggu... -

Kurus,..,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mesin-mesin Abad 21

22 Oktober 2013   05:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:12 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berasal dari sebuah pulau kecil yang sepi. Deretan bukit-bukit dan hamparan pasir bersih disepanjang pantainya cukup bisa menghibur orang-orang kota yang akan melepas penat selama satu minggu atau satu bulan tinggal disana. Barisan sawah yang hijau atau kuning keemasan cukup bisa menghibur mereka yang setiap harinya hanya berhadapan dengan tembok gedung-gedung kota. Udaranya juga masih cukup bersih untuk menyegarkan mereka yang terbiasa bernafas dengan racun-racun yang keluar dari moncong pabrik dengan nafas baunya seperti babi pemakan kotoran, atau dari pantat kendaraan bermotor yang menumpuk di jalanan pusat peradaban.

Aku sangat suka dengan pulau kecilku. Alam dan masyarakatnya sangat aku sukai. Aku masih ingat ketika dulu aku sangat senang jika diajak keluarga atau temanku main ke air terjun tinggi di pulau ini. Air terjun yang sangat tinggi. Entahlah, mungkin sekitar 20 meter tingginya. Mandi disana adalah hal yang sangat menyenangkan bagiku kala itu. Batu besar menjadi tempat yang nyaman untuk beristirahat. Udara yang bersih juga selalu menyegarkan nafas. Mandi di laut juga tak kalah menyenangkannya. Entah kenapa, laut selalu bisa jadi penghibur bagiku, atau juga bagi teman-temanku. Bagiku waktu itu, laut seperti seorang ibu yang setia menunggu dan melayani anak-anaknya bermain sepuas hatinya. Hiburan yang menyenangkan bagi bocah-bocah kampung dengan penghasilan keluarga yang pas-pasan.

Masyarakat di pulau kecil ini hidup dengan sederhana. Mereka bekerja hanya sekedar untuk menyambung hidup. Mereka membagi hasil kerjanya pada tetangga-tetangga. Jika mereka mancing ikan dan yang diperolehnya ikan kecil, mereka membuangnya lagi ke laut atau sungai. Kata mereka, “Biarkan dia punya kesempatan untuk tumbuh besar dan menikmati hidup dulu”. Masyarakatku lebih mementingkan ritual keagamaan daripada kerja yang menghasilkan uang. Selain itu, waktu mereka lebih banyak habis ngobrol dengan tetangga atau teman daripada bekerja. Aku menyukai kehidupan masyarakatku yang demikian.

Tapi itu dulu. Aku yang sekarang tak sama dengan aku yang dulu. Aku yang kini sudah melihat dunia luar yang luas dan maju. Aku yang kini sudah menikmati kehidupan di kota. Aku yang kini sudah menikmati pendidikan tinggi universitas. Aku yang kini sudah memiliki pemahaman dan kecerdasan manusia modern. Aku yang kini sudah melihat kehebatan kerja mesin-mesin modern. Aku yang sekarang adalah manusia modern yang mampu menaklukkan apapun dengan kecerdasanku.

Kini, bagiku laut dan air terjun itu hanyalah alam yang sangat mudah aku taklukkan. Mereka hanya benda mati yang tak bisa berfikir, sehingga mustahil bisa mengalahkan manusia yang cerdas sepertiku. Mereka adalah budak yang harus melayaniku. Sementara masyarakatku, mereka adalah manusia malas yang tak mau menggunakan otaknya, sehingga sama saja dengan benda mati yang tak bisa berfikir itu.

Aku sangat berterimakasih pada sekolah dan kampusku. Mereka telah membentukku sedemikian rupa hingga jadi seperti sekarang ini. Dulu, aku dan teman-teman seangkatanku begitu bodoh. Kami membawa pandangan-pandangan kolot dari tempat tinggal masing-masing. Pandangan yang membuat kami bertekuk lutut di bawah pohon-pohon dan batu-batu besar. Leluhur kami bilang, “kita harus menghormati alam sebagai tempat kita hidup”. Cih, siapa alam itu? batu? Binatang? Tumbuhan? Air? Apa istimewanya mereka? Mereka bergerak dan berperilaku hanya karena mereka tak bisa berbuat yang lain. Mereka lebih rendah dari seorang budak yang hanya bergerak sesuai dengan kamauan tuannya. Kenapa aku harus menghormati binatang yang begitu bodoh, atau tumbuhan yang lebih bodoh lagi, atau batu dan air yang jauh lebih bodoh lagi? Sementara aku adalah manusia yang memiliki kecerdasan paling tinggi diatara semuanya itu. Merekalah yang harus hormat padaku.

Ya, sekolah dan kampuslah yang telah memberikan kesadaran padaku tentang kehormatanku. Yang perlu kulakukan adalah meningkatkan kesejahteraan manusia. Alam adalah pelayan manusia yang cerdas. Sementara manusia kolot yang masih tunduk pada alam, cih, tinggalkan saja mereka. biarkan saja mereka mati konyol dengan kebodohan dan ketololan mereka.

Aku sangat mengagumi kehebatan mesin-mesin ciptaan manusia-manusia modern yang cerdas. Besi-besi yang berasal dari batu-batu berserakan bisa mereka bentuk menjadi mobil: kendaraan yang jauh lebih kuat dan cepat dari pada kuda. Besi-besi yang beserakan dan dengan bentuk yang tak karuan itu bisa mereka bentuk menjadi ratusan bahkan ribuan dengan bentuk yang persis sama. Kacang yang kalau dikampungku tak menarik dan cepat busuk bisa mereka bungkus dengan rapih dan menarik serta tahan lama. Ya, bungkus yang persis sama dengan jumlah ratusan, ribuan, bahkan jutaan. Kerja pabrik dan mesin-mesinnya memang sangat mengagumkan. Mereka tak butuh tangan-tangan manusia-manusia tolol yang hasil kerjanya tak rapih tapi selalu menuntut gaji yang tinggi. Sistem kerja pabrik adalah sistem yang sangat layak untuk ditiru.

Sekolah dan kampusku menggunakan sistem kerja pabrik ini pada kurikulumnya. Suatu sistem yang efektif dan efisien untuk mencetak produk-produk jempolan. Sebuah langkah yang sangat cerdas. Tak hanya sekolah dan kampusku saja, tapi juga sekolah dan kampus yang ada di setiap pojok negeri ini, bahkan di setiap pojok planet bumi.

Ketika aku lulus, bentukku dan kawan-kawanku persis sama sesuai dengan jurusan keilmuan kami. Kepalaku dan kawan-kawanku seperti kotak-kotak susu kemasan atau kaleng-kaleng sarden yang rapih dan indah. Bahkan aku tak bisa membedakan antara kepalaku dan kepala kawan-kawanku. Cara memandang kami sama. Cara bertutur kami sama. Bahkan cara senyum basa-basi kami --yang cerdas-- pun sama. Kami telah menjadi produk unggul pabrik kampus. Kami telah menjadi mesin yang siap mengoperasikan mesin-mesin yang ada di pabrik manusia-manusia jenius.

Ya, sekarang aku masih mesin yang bekerja pada mereka yang jenius itu, tapi suatu saat nanti aku akan melampaui kejeniusan mereka dan akan mengalahkan mereka. Ketika aku sudah melampaui mereka, akanku injak kepala mereka persis di bawah sepatuku. Apapun yang tak lebih jenius dariku harus tunduk di bawah kakiku: air dan batu, tumbuhan dan binatang, manusia bodoh, bahkan manusia cerdas yang kecerdasannya masih dibawahku.

Langkah pertama untuk kemajuanku, aku akan kembali ke pulau kecilku untuk menaklukkan alam yang selama ini dipuja oleh manusia-manusia yang bodoh dan tolol. Bagaimana dengan manusia yang bodoh dan tolol yang menolak kemajuan ini? Ah, biarkan saja mereka mati dengan kebodohan dan ketololannya. Hidup ini tak perlu mengasihani. Siapa yang lemah layak mati konyol menjadi bangkai yang akan menyuburkan tanah yang akan melayani kehendakku. Setelah itu, aku akan taklukkan yang lain: pulau kecil, pulau besar, benua, selat, samudera, bahkan bumi dan seluruh manusianya harus tunduk di bawah kakiku. Melayani aku, Sang Mesin Jenius: MESIN ABAD 21 .

04:12 WIB

Buitenzorg, 22 Oktober 2013

Iham Poetra Maryam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun