Meski sudah 74 tahun Indonesia merdeka. Namun, Mursyidah, siswa kelas 3 SDN Birem Puntong, Kecamatan Langsa Baro, Kota Langsa, Provinsi Aceh, masih hidup dalam kegelapan ketika malam tiba.
Bersama Nuraisyah (38), ibunya. Bocah 9 tahun itu, meratap gelap, memilin cahaya temaram dari lampu teplok minyak tanah yang setia saban hari, sebagai penerang.Â
Gulita menyelimuti rumah berbahan kayu semperen, beratap seng bekas, berukuran sangat sederhana, berdomisili di Desa Birem Puntong.
Miris, mungkin ini kata yang tersemat ketika melihat kehidupan bocah perempuan yatim ini. Listrik menjadi barang langka.
Tak jarang, Mursyidah harus menatap lebih dekat buku bacaan sekolahnya, kala belajar di malam hari. Si mungil ini tak mengeluh, seolah dia sadar diri, kemiskinan menghampiri hidupnya.
Sementara, ibunya hanya buruh cuci pakaian serabutan. Tak ayal, hanya cukup beli beras dan lauk seadanya tuk disantap, sebagai pengisi perut, sembari lanjutkan hidup dalam munajat tiada henti pada Illahi Rabbi.
Semangat belajar Mursyidah begitu tinggi. Ia gigih meraih cita. Hanya dengan belajar sungguh-sungguh, tuk menjadi pintar dan lepas dari kepapaan di hari depan.
Di sekolah, Mursyidah tergolong siswa cerdas. Peringkat lima besar acap diraih saban akhir semester. Meski dalam gelap, yatim ini mampu mencerna pelajaran yang diulangnya di rumah dengan baik.
Suatu saat, kondisi rumah Mursyidah yang tak miliki arus listrik ini diketahui gurunya. Bagai sembilu menyayat hati, begitulah perasaan pahlawan tanpa jasa itu, ketika mengetahui anak didiknya hidup dan belajar dalam gelap.
Sang guru mencari cara agar bisa membantu Mursyidah dan ibunya, memiliki penerangan yang memadai selayaknya rumah tangga lain.