Mohon tunggu...
Dwi Santosa
Dwi Santosa Mohon Tunggu... -

25 years old\r\nYoung Enterpreuner\r\n Alumnus of Universitas Pelita Harapan\r\npoenja_doehwie@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mencintai Siapa?

21 Oktober 2010   07:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:14 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berhati-hatilah ketika kita mengaku kalau kita mencintai seseorang, entah itu lawan jenis, saudara, teman, anak, atau siapapun. Biasanya ketika mereka itu jauh dari kita atau bahkan lenyap dari hidup kita untuk selamanya, kita merasa amat gundah. Ketidaknyamanan di dalam hati ini perlu dikritisi dengan cermat dan jujur. Kenapa dalam hal ini kita bisa merasa sedih? Cobalah untuk melihat kasus per kasus. Misalnya, seorang gadis yang merasa sangat tidak nyaman di dalam hatinya ketika pemuda yang ia cintai sedang berada nun jauh di sana untuk melanjutkan studinya. Pemuda ini sendiri yang memilih hal itu demi kebaikan masa depannya. Pertanyaannya sekarang jatuh kepada si gadis. Kenapa ia bisa merasa sedih? Bukankah melanjutkan studi di luar kota itu baik bagi belahan hatinya? Gadis tersebut mestinya menyadari siapa yang sebenarnya ia cintai. Kekasihnya atau dirinya sendiri? Tidak ada alasan bagi ia untuk sedih kecuali karena kebutuhannya akan kasih sayang/perhatian/apapun itu tidak terpenuhi dengan jauhnya pemuda itu. Artinya, yang ia cintai sebenarnya adalah dirinya sendiri, bukan pemuda itu. Kasus tadi berbeda dengan kasus seorang ibu yang amat sedih karena anaknya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Padahal anaknya itu baru saja akan mendapat gelar sarjana dan menikmati "kebahagiaan"-nya. Sang ibu mencintai anaknya, sehingga ia sedih jika anaknya meninggal dan tidak dapat merasakan kebahagiaan itu. Namun, ceritanya jadi lain jika seorang ayah sedih karena anaknya yang sudah lama menderita suatu penyakit parah dipanggil Tuhan. Anaknya itu sudah pasrah dan memang berharap agar lebih baik meninggal cepat daripada lebih lama hidup dan menderita. Tampaknya Tuhan mendengar doa anak ini dan membuat anak ini meninggal dengan penderitaan yang minimal. Dalam kasus ini ayahnya sedih mungkin karena merasa dirinya gagal untuk menyelamatkan anaknya. Atau lebih mungkin juga karena ia merasa kehilangan anak kebanggaannya yang kepadanya banyak ia taruhi harapan-harapan. Tampaknya ayah ini sesungguhnya tidak benar-benar mencintai anaknya, tetapi ia mencintai dirinya sendiri lebih dari anaknya. Mencintai seseorang berfokus pada orang yang kita cintai, bukan pada subyek yang mencintai. Jadi, seandainya orang yang kita cintai ini jauh, yang menjadi pemikiran kita adalah apakah ia senang, apakah itu demi kebaikannya, apakah itu akan menyakiti dirinya, dsb. Sebaliknya efek pada kita yang ditimbulkan jika orang itu jauh seharusnya dikesampingkan. Kita tidak perlu sedih jika orang yang kita cintai meninggalkan kita untuk mencari ilmu di negeri seberang, misalnya. Tidak masalah jika kita akan kehilangan teman bermain jika ia pergi tapi kepergiannya akan mendatangkan kebaikan bagi dia. Itulah yang namanya mencintai, sarat dengan pengorbanan diri sendiri. Marilah bersama-sama kita merenungkan sejenak. Selama ini, mungkin kita mengaku mencintai orang lain baik itu pacar, orang tua, anak, atau siapapun. Namun, apakah yang kita cintai itu sebenarnya adalah diri kita sendiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun