Mohon tunggu...
poeloeng dwi nugroho
poeloeng dwi nugroho Mohon Tunggu... -

saya adalah orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bukan Sekedar Otak Tempe

1 Agustus 2010   13:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:24 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebut saja Warsi, wanita paruh baya itu sedang berkutat dengan daun pisang yang ia lipat lembar-demi lembar untuk membuat tempe. Sudah setahun ini ia menggeluti usaha tempe kedelai. Bersama suami dan kedua putranya, Warsi gigih dan telaten membungkus kedelai-kedelai itu hingga tak bersisa. Maklum esok pesanan lagi banyak. Ada tempe cempluk dan jenis tempe gorengan. “Semua sudah pesanan mas” tandas Warsi dengan senyum kecil. Ada harap diraut mukanya. Warsi dan keluarga tinggal di sebuah desa kecil di lereng Merbabu. Suhu dingin membekap terasa menusuk dada tatkala saya berkunjung kerumahnya seminggu yang lalu. Ia tinggal disebuah rumah sederhana, rumah tembok ukuran 6x8 meter itu dibelah menjadi 4 ruangan. Bilah-bilah bambu dibuat jadi sekat antara ruang tamu dengan bagian dalam rumah. Berantakan. Yah, maklum tak ada cukup tempat untuk menata perabotan rumah. Mirip sebuah bengkel motor rupanya. Tapi inilah kehidupan mustahik yang nyaris saja terlewat dari pandangan kita. Kehidupan yang hanya bisa kita saksikan dan rasakan ketika kita sudah keluar dari zona nyaman. Awalnya Warsi hanyalah seorang pencari daun pisang dari kampung ke kampung untuk dijual ke pasar. Sekali berburu ia bisa mendapat 5 ikat daun pisang, kadang tak mesti dapat. Hasilnya bisa ditebak, rata-rata se ikat daun ia untung 2 ribu rupiah. Artinya perburuan seharian itu cuma dihargai 10 ribu saja. Suaminya Utomo (57) wajahnya tak sesegar lelaki seusianya. Ia juga buruh serabutan sekedar membetulkan pompa air milik tetangga. Kedua anaknya laki-lakinya tak punya pekerjaan yang pasti,  bukan karena tak ada niat untuk merantau, tapi Jakarta terlalu kejam untuk di hadapi pemuda yang tak punya keterampilan yang mumpuni. Alih-alih dapat pekerjaan, Bendungan Hilir siap menampung mereka untuk jadi gembel. Ketidak berdayaan keluarga ini bukan tak mungkin pula akan berbuah keretakan. Betapa banyak keluarga seperti Warsi, yang rame-rame bunuh diri. Dikala himpitan ekonomi rakyat kecil tak pernah terbaca dari jendela gedung parlemen. Warsi bukan tak pernah merasakan pemilu. Apa daya acap kali ganti presiden, tak boleh ada yang berubah barang secuil pun dari nasibnya. Ia tertipu. Namun, negeri ini boleh sedikit berbangga. Kehidupan keluarga ini sekarang agak baik. Ia ditopang oleh sebuah usaha sederhana. Tempe kedelai. Ini bukan karena kucuran dana Century yang riuh dibicarakan, tapi berkat kesungguhan pemuda seberang desa bernama Topik. Topik, Ahmad Taufik Sholeh (22) adalah pemuda yang beruntung bisa mencicipi bangku perkuliahan. Besutan pondok pesantren Muhammadiyah Tempuran Magelang ini sekarang menduduki semester akhir di kampus Peternakan UGM. Namun aroma kemewahan ilmu yang terbungkus etalase itu tak lantas membuatnya besar kepala. Ia bergumam, buat apa kita bangga jadi sarjana kalau tetangga kita tetap saja menganggur, miskin, tertindas, dan terpinggirkan. Warsi bukan tak pernah merasakan pemilu. Apa daya acap kali ganti presiden, tak boleh ada yang berubah barang secuil pun dari nasibnya. Ia tertipu." Dengan tulus, Topik membina Warsi dengan modal ½ kg kedelai. Lambat laun usaha ini mendapat respon dari masyarakat dan para pedagang. Topik mengajari bu Warsi, untuk menjaga kualitas tempe yang ia buat supaya tidak bercampur dengan kotoran sedikitpun. “Kalau yang lain biasa dicampur dedak bekatul, tapi buatan bu Warsi insya Allah tidak mas, kejujuran adalah segalanya buat kami” ujar Topik meyakinkan. “Kami juga kewalahan dengan permintaan pedagang-pedagang yang kini mulai pindah memesan dagangan kami” Imbuh Nanang (31) putra kedua Warsi yang juga membantu memasarkan tempe buatan Ibunya. Saya terperangah. Sekali lagi ada sebuah generasi yang mengajari kita bagaimana menyelamatkan kehidupan keluarga mustahik yang nyaris remuk. Jika orang lain berfikir bahwa pemberdayaan harus menghabiskan dana jutaan, maka Topik pemuda lereng Merbabu itu barusan menohok saya, ia mematahkan anggapan itu. Meski dengan keterbatasannya, namun ia berhasil meyakinkan bahwa pemberdayaan itu sejatinya akan berhasil jika berawal dari niat yang tulus, dan ketekunan untuk mendampingi, walaupun berawal dari modal sebesar batu kerikil. Dari ½ kg kedelai yang diberikan Topik untuk modal membuat tempe kedelai, kini setidaknya Warsi dan keluarga sudah menghabiskan 11 kg kedelai setiap harinya, keuntungannya lumayan meski belum sebesar gaji anggota Dewan. Dengan usaha ini pula Warsi bisa menghidupi dan mencukupi kebutuhan keempat anggota keluarganya, sekaligus membantu dakwah anak bungsunya.Subhanallah. Topik memangkas habis teori-teori kemiskinan melelahkan yang selama ini banyak diajarkan. Pun membayar lunas guyonan bahwa otak pemuda desa itu otak tempe. Kita boleh nyengir dengan sindiran itu, tapi berkat “otak tempenya” pula ia bisa memberi harapan sebuah keluarga menata kehidupannya jadi lebih baik. Menghadirkan ketulusan bertindak tidaklah harus melulu lewat organisasi sosial. Lewat kantong-kantong cekak pun, minimal kita bisa merubah mustahik jadi muzakki. Topik bukan generasi yang lahir dari sendok emas. Ia juga yatim, dan hidup sederhana. Menyaksikan kepedulian yang menembus batas logika ini menghadirkan tanya bagi kita. Bilakah kita perbanyak generasi-generasi macam Topik?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun