Beberapa minggu terakhir ini, dunia perfilman sedang demam film Star Wars: the Force Awakens. Yang luar biasa dari film ini adalah pemunculan pahlawan seorang perempuan muda yang bernama Rey. Jika di film sebelumnya semua tokoh pahlawannya adalah laki-laki seperti Luke Skywalker, Han Solo, Yoda, dan mereka melupakan perjuangan Princess Leia yang harus kehilangan kerajaan, kehilangan anak, suami dan diabaikan oleh saudaranya. Tetapi dominasi super hero laki-laki kini telah berubah. Star Wars memiliki pahlawan perempuan Rey yang memiliki kekuatan The Force, cerdas, bisa bertarung, bisa mengendalikan dan memperbaiki pesawatnya Han Solo.
Jika kita perhatikan, akhir-akhir ini film Disney yang biasa membuat cerita Prince dan Princess mulai berubah arahnya. Tokoh super hero tidak lagi didominasi oleh laki-laki, namun mulai memunculkan super hero perempuan seperti film kartun Brave yang menceritakan puteri raja bernama Merida dari kerajaan Dunbroch di dataran tinggi Skotlandia. Yang mendobrak tradisi cerita anak-anak tentang seorang princess yang digambarkan cantik, feminin, lemah dan selalu menunggu pangeran untuk diselamatkan. Merida seorang perempuan pemberani, tangkas berkuda dan pandai memanah serta mempunyai jiwa petualang. Begitu pula dengan film kartun Frozen, bukan pangeran tampan yang menyelamatkan Anna tetapi cinta kasih dari Elsa.
Seperti kita ketahui banyak film yang menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap atau pajangan saja, dan tidak jarang sebagai objek seksualitas. Banyak pihak, utamanya para feminis yang meninginkan sebuah film yang memuat nilai-nilai feminisme seperti perempuan yang juga dapat berperan di ranah publik,menjadi pemimpin, dan lain lain. Feminisme dalam film merupakan sebuah upaya yang mencoba untuk membongkar tradisi yang didominasi nilai-nilai patriaki baik yang digambarkan secara terang-terangan maupun tersamar. Tujuan dari upaya tersebut untuk memperlihatkan bagaimana hegemoni dari nilai patriaki tersebut yang selalu menempatkan perempuan berada pada posisi marginal, dieksploitasi dan diobjekkan oleh laki-laki. Perspektif psikoanalisa lewat essay penting dalam tradisi teori film feminis, yakni “Visual Pleasure and Narrative Cinema”-nya Laura Mulvey. Di mana kode-kode filmis yang berkembang menjadi bahasa film merupakan sesuatu yang dikonstruksikan berdasarkan perspektif laki-laki yang menempatkan perempuan sebagai obyek dari pemuasan hasrat.
Dalam karya Rosen, Popcorn Venus: Women, Movies, and the American Dream (1973), dan Molly Haskell, From Reverence to Rape: the Treatment of Women in Movies (1974), menganalisis tentang bagaimana perempuan dipotret dalam sebuah film. Kajian di atas terhubung pada konteks historis yang luas dan potret stereotype tentang perempuan yang ditampilkan sebagai subjek atau objek, dan jumlah durasi yang diberikan untuk penampilan perempuan
Sebuah film kemudian bisa dibedakan menjadi film feminis dan antifeminis. Teresa de Lauretis di dalam “Rethinking Women’s Cinema: Aesthetic and Feminist Theory” menyebut film feminis berupaya “menyapa penontonnya sebagai perempuan, apa pun gender si penonton ... mendefinisikan semua titik identifikasi (dengan karakter, citra, kamera) sebagai perempuan (female), feminin, atau feminis”. Sementara menurut Sharon Smith, film feminis adalah film yang didalamnya tokoh perempuan diberi peran yang berbeda dari stereotipe di “dunia nyata”. Di sini film feminis diharapkan dapat menjadi perangkat untuk melakukan pemikiran serta penilaian ulang atas stereotipe peran tradisional berdasarkan jenis kelamin.
Bagaimana dengan film Indonesia? Apakah ada tokoh hero perempuan yang berani mendobrak tradisi atau yang bisa menjadi panutan sebagai perempuan yang kuat, mandiri dan bisa menyelamatkan diri sendiri dan orang lain? Meskipun tidak banyak, namun ada beberapa film yang bisa disebut sebagai film feminis, seperti Perempuan Berkalung Sorban (Hanung Bramantyo, 2010) yang berkisah tentang seorang perempuan yang mendapatkan kekerasan di pesantren namun kemudian bisa membebaskan diri dan melakukan pemberdayaan perempuan di sana. Atau film Pendekar Tongkat Emas yang menceritakan pendekar hebat Cempaka dan mempunyai pewaris seorang perempuan yang bernama Dara.
Di Indonesia, film yang bertema percintaan, horor atau religi memang lebih menjual dibandingkan film yang bertema feminisme. Hal ini mungkin karena para penggiat perfilman di Indonesia didominasi oleh laki-laki, sehingga wajah perfilman kita cenderung stereotipe dan patriaki. Semoga dengan banyaknya film asing yang lebih feminis dapat mengubah pemikiran para pembuat film dan penonton di Indonesia. Apalagi sekarang ini film produksi Disney hampir semua tokoh super heronya seorang perempuan yang mandiri kuat dan bisa menyelamatkan dirinya sendiri.
Referensi
Smelik, Anneke, Feminist film theory – the cinema book, 2001
Hein, Hilde, The Role of Feminist Aesthetics in Feminist Theory Author(s): Source: The Journal of Aesthetics and Art Criticism, Vol. 48, No. 4, Feminism and Traditional Aesthetics (Autumn, 1990), pp. 281-291
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H