Mohon tunggu...
Poedjiati Tan
Poedjiati Tan Mohon Tunggu... profesional -

Co-founder NLP Coach Indonesia. yang bergerak dibidang Business Consultant dan pelatihan dengan teknik NLP dan juga soft skill lainnya. Direktur Penerbit EnerJik Kharisma yang menerbitkan buku NLP, pengembang diri dan juga Novel. Psikolog di Bina Grahita Mandiri. Master Psikologi, Master Practitioner NLP, Certificate Advanced coach NLP. Sertifikasi untuk HRD dan penggajian karyawan penulis untuk penelitian psikologi, prilaku manusia, dan juga penulis entrepreneur dan bisnis. Desainer buku Aktif di beberapa organisasi masyarakat dan perempuan. Co founder Konde Institute media alternatif berbasis online. Dosen LB di Universitas Ciputra Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memaknai Same Sex Marriage

28 Juni 2015   18:23 Diperbarui: 28 Juni 2015   18:35 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Ini Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalkan pernikahan sejenis di Seluruh Negara Bagian Amerika. Para Aktivis HAM dan Aktivis LGBTIQ merayakan kemenangan ini. Dan menganggap sebagai “Love Win”. Bahkan Facebook dan perusahaan-perusahaaan terkenal juga ikut merayakan kemenangan ini. Amerika sendiri menjadi Negara ke-21 yang melegalkan perkawinan sesama jenis di seluruh dunia. Mereka bergabung dengan Belanda, Argentina, Belgia, Brazil, Canada, Perancis dan beberapa negara lainnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Beberapa saat yang lalu ada seorang  teman yang mengajukan petisi di change.org untuk same sex marrieage. Beberapa teman aktivis menganganggap itu perjuangan yang masih terlalu jauh untuk digapai karena homophobia, transphobia, masih kental di masyarakat Indonesia. Belum lagi kekerasan atau hate speech bahkan diskriminasi yang harus diterima oleh LGBTI. Kalau di Indonesia perkawinan sejenis disahkan apakah teman lesbian, gay, trans akan berbondong-bondong mendaftarkan dirinya? Apakah same sex marriage adalah akhir dari perjuangan aktivis LGBTI di Indonesia? Karena dengan asumsi kalau itu sampai disahkan berarti segala macam phobia tentang LGBTI sudah tidak ada atau setidaknya sudah friendly.

Sebenarnya apakah yang penting dari same sex marriage? Disahkannya sebuah relasi secara hukum atau pengakuan hak dan kesetaraan?

Dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 sudah jelas disebutkan Dasar Perkawinan : Pasal 1. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Tetapi pada kenyataannya, Perkawinan di Indoneisa kadang dianggap sebagai solusi dan tidak jarang bisa sangat merugikan kaum perempuan. Tentu kita pernah dengar seorang anak perempuan yang diperkosa lalu dinikahkan dengan sang pemerkosa. Atau bagaimana negara menolak untuk menaikkan batas usia pernikahan pada perempuan. UU Perkawinan juga tidak memihak pada perempuan. Ini terlihat pada pasal 4 ayat 2 : Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

  1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
  2. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan

Kita semua tahu bahwa Perkawinan adalah sebuah produk dari heteronormatif dan bagaimana budaya patriaki sangat mengikat. Bagaimana laki-laki jadi berkuasa terhadap perempuan ketika mereka telah terikat dalam perkawinan.

Seperti yang dikatakan Simon de Behaviour Marriage is the destiny traditionally offered to women by society.  Pernyataan ini tidak bisa dilihat dari literalnya belaka. Sebab problemnya, tradisi yang menjadi sumber legitimasi perkawinan bagi wanita, dalam pandangan feminisme adalah tradisi patriarkhi yang sangat bermasalah. Hal ini dibuktikan dari bagaimana ia menyimpulkan dua alasan mengapa tradisi patriarkhi mengharuskan perempuan membentuk keluarga:  The first reason is that she must provide the society with children; only rarely- as in sparta and to some extent under nazi regime- does the state take women under direct guardianship and ask only that she be a mother. But even the primitive societies that are not aware of the paternal generative role demand that woman have a husband, for second reason why marriage is enjoined is that woman’s function is to satisfy a male’s sexual needs and to take care of his husband.

Berdasarkan dua alasan tersebut, dapat disimpulkan dengan jelas, bahwa dalam pandangan Simon, perkawinan yang membentuk keluarga hanyalah untuk memenuhi kebutuhan seorang laki-laki (suami). Perempuan dalam perkawinan, hanya akan menjadi ibu yang bertugas menjaga anaknya dan untuk menjadi pemuas seks suami dan merawatnya.

Kemarin ketika berkumpul dengan teman-teman perempuan dan mereka bercerita pengalaman rumah tangga baik diri sendiri atau mengenai saudaranya. Ada seorang teman yang tidak berani bercerai atau menuntut suaminya meskipun mengalami kekerasan karena secara ekonomi dia tidak mandiri. Banyak perempuan (istri) yang tidak memiliki kontrol atas harta suaminya. Atau ada juga yang tidak bisa menikah lagi karena dia menikah secara Katholik dan secara hukum dia memang sudah bercerai, bahkan suaminya sudah menikah lagi dan pindah agama. Sedangkan dia sendiri tidak menentu nasibnya.

Bagaimana norma-norma yang diberlakukan untuk perempuan setelah menikah/kawin sangat mengakar di Indonesia. Perkawinan yang seharusnya setara antara perempuan dan laki-laki seringkali menjadi timpang dan tidak setara dan menjadi penguasaan suami ke isterinya.

Banyak feminis yang mengkritik institusi keluarga dimana tidak ada kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Lalu bagaimana dengan Same sex marriange?  Apakah pada pasangan lesbian atau gay yang menikah/kawin mereka juga menggunakan norma heteronormative? Pada banyak pasangan gay atau lesbian yang hidup bersama,  mereka cenderung menggunakan patron heteronormatif dan patriaki. Dan banyak di pasangan lesbian yang terjadi pembagian peran suami dan istri. Dimana suami yang bekerja dan istri yang memasak di rumah.

Ketika saya bertanya beberapa teman lesbian dan gay, seandainya Indonesia juga mengakui same sex marriage apakah kamu akan mencatatkan relasi kalian? Dan kenapa? Kalau jawaban lesbian muda mereka mengatakan supaya pasangannya tidak kabur dengan orang lain. Ada yang menjawab agar bisa tinggal bersama tanpa rasa kuatir. Tetapi untuk  lesbian atau gay yang sudah matang mereka mengatakan, agar ada jaminan buat pasangannya. Misalnya ketika mereka sakit dan harus diambil tindakan operasi pasangan bisa menandatangani surat pernyataan. Selain itu mengenai tunjungan sosial, asuransi dan harta warisan.

Sebetulnya essensi dari same sex marriage bagi teman-teman LGBTI bukanlah hanya membentuk sebuah keluarga atau bisa tinggal bersama tapi lebih dari sekedar itu. Bagaimana Same Sex marriage ini mengakui keberadaan, mendapatkan keadilan dan kesetaran bagi LGBTI secara hukum dan dilindungi oleh negara.  LGBTI Memiliki akses atau Kapasitas untuk menggunakan sumberdaya dan sepenuhnya berpartisipasi secara aktif dan produktif (secara sosial, ekonomi dan politik) dalam masyarakat termasuk akses ke sumberdaya, pelayanan, tenaga kerja dan pekerjaan, informasi dan manfaat).

Dalam keluarga (Pasangan lesbian atau gay) mempunyai partisipasi yang sama, diartikan sebagai “Who does what?” (Siapa melakukan apa?). berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan atas penggunaan sumberdaya keluarga secara demokratis.  Paangan lesbian atau memiliki kontrol yang sama sebagai ”Who has what?”(Siapa punya apa?). mempunyai kontrol yang sama dalam penggunaan sumberdaya keluarga. Misalnya dapat memiliki properti atas nama keluarga (berdua).

Terdapatnya jaminan sosial pada pasangan lesbian dan gay ketika mereka bersama. Seperti kita ketahui seorang gay atau lesbian yang bekerja di perusahaan tidak ada tunjangan atau jaminan kesehatan atau rumenerasi lainnya untuk pasangannya seperti halnya karyawan hetero. Atau ketika terjadi kekerasan dalam relasi akan ada kejelasan hukum dan pasangan bisa melaporkan.

Meskipun kita tidak pernah tahu berapa lama hal itu akan terjadi, dan norma keluarga seperti apa yang akan digunakan? Norma heteronormative atau akan ada norma baru yang tercipta. Tetapi setidaknya itu membuat kita berjuang dan tidak berhenti berharap. Dan bila itu terjadi maka ada perubahan besar pada tatanan kehidupan masyarakat di Indonesia. Setidaknya teman-teman LGBTI tidak mengalami kekerasan atau diskriminasi, bisa mendapatkan penghidupan yang layak, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, tempat tinggal. Akan ada banyak cinta kasih dan toleransi yang sangat besar,  akan banyak masyarakat yang bisa menghargai orang lain dan welas asih. Maka Indonesia akan menjadi tempat yang paling damai dan menyenangkan.

 

Referensi :

Simone de Behauvoir, The Second Sex, (New york: library of congress cataloging in publication data, 1953),p.425

Puspitawati, H. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. PT IPB Press. Bogor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun