Mohon tunggu...
Poedjiati Tan
Poedjiati Tan Mohon Tunggu... profesional -

Co-founder NLP Coach Indonesia. yang bergerak dibidang Business Consultant dan pelatihan dengan teknik NLP dan juga soft skill lainnya. Direktur Penerbit EnerJik Kharisma yang menerbitkan buku NLP, pengembang diri dan juga Novel. Psikolog di Bina Grahita Mandiri. Master Psikologi, Master Practitioner NLP, Certificate Advanced coach NLP. Sertifikasi untuk HRD dan penggajian karyawan penulis untuk penelitian psikologi, prilaku manusia, dan juga penulis entrepreneur dan bisnis. Desainer buku Aktif di beberapa organisasi masyarakat dan perempuan. Co founder Konde Institute media alternatif berbasis online. Dosen LB di Universitas Ciputra Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mendobrak Patriarki dalam Rumah Tangga

10 Januari 2014   14:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:57 1559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahabat saya merasa galau menghadapi pernikahannya yang di ambang  pintu. Bukan galau karena dia tidak punya uang untuk biaya pernikahan atau dijodohkan orang tuanya. Tetapi sebagai aktivis perempuan yang banyak sekali kegiatannya dia merasa kuatir kalau suaminya nanti membatasi kegiatannya. Dia kuatir budaya Patriarki akan membelenggu perkawinan dan aktivitasnya.

Teman saya yang lain, seorang aktivis perempuan, sebelum menikah dia sangat vokal dan aktif membela gerakan perempuan. Tetapi ketika menikah semuanya menjadi surut dan dia menjadi seperti takut dengan suaminya. Padahal dulu dia selalu aktif membela kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kata teman-teman sesama aktivis dia sudah terkena budaya Patriarki.

Seorang Pengusaha perempuan sahabat saya, mengeluh suaminya sering marah bila dia tidak menyiapkan sarapan atau telah pulang rumah. Padahal sebagai seorang pengusaha dia harus meeting atau menemui klien selepas jam kantor. Sebelum menikah suaminya sudah tahu kegiatannya dan hubungan mereka baik-baik. Tetapi setelah menikah sang suami meminta dia menjalankan fungsinya sebagai perempuan yaitu melayani suami.

Salah seorang teman Buruh Migrant Indonesia, ketika mengalami KDRT oleh suaminya dan ingin bercerai, tetapi oleh ibunya dilarang. Dia masih dipersalahkan oleh keluarganya sendiri dan diminta untuk bersabar, menerima keadaan. Pesan ibunya jadi perempuan harut manut atau nurut dengan suami. Padahal uang hasil kerjanya di luar negeri telah dihabiskan oleh suaminya di meja judi.

Sebenarnya apa Patriarki itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Patriarki adalah tata kekeluargan yang sangat mementingkan garis keturunan bapak. Secara etimologi, patriarki berkaitan dengan sistem sosial di mana ayah menguasai seluruh anggota keluarganya, harta miliknya, serta sumber-sumber ekonomi. Ia juga yang membuat semua keputusan penting bagi keluarga.  Dalam sistem budaya (juga keagamaan), patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan; bahwa perempuan harus dikuasai bahkan dianggap sebagai milik laki-laki.

Budaya Patriarki di Indonesia sudah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang kita. Bahkan negara pun ikut menguatkan. Salah satunya dalam bidang pendidikan. Kita lihat saja buku pelajaran SD jaman saya masih kecil sudah jelas terlihat. Buku pelajaran membaca yang mengatakan Ibu Budi memasak di dapur, Ayah Budi pergi bekerja. Budi bermain layang-layang, Wati membantu Ibu di dapur. Anak-anak yang masih polos sudah diberi pemahaman tentang tugas dan peran laki-laki dan perempuan.

Begitu pula pada budaya tradisonal khususnya di pulau jawa. Patriarki sudah dianggap sebagai kodrat yang tidak perlu dipersoalkan. Sadar atau tidak,  sosialisasi konstruksi patriarki sudah dimulai dari dalam rumah. Sejak masih kanak-kanak kita sudah diajarkan bagaimana anak laki-laki menjadi maskulin dan bagaimana anak perempuan harus menjadi feminim. Anak laki-laki dilarang bermain boneka atau masak-masakan dan anak perempuan dilarang main layang atau mobil-mobilan. Anak laki-laki tidak boleh menangis dan cengeng, dia harus kuat dan perkasa.

Anak laki-laki diajarkan cara memanjat dan membetulkan genteng di rumah dan anak perempuan diajarkan cara memasak atau menjahit. Ketika ada anak perempuan yang suka main layang-layang atau memanjat genting, orang tua akan marah-marah. Atau ketika anak laki-lakinya suka bermain masak-masakan orang tua langsung menjadi gelisah atau kuatir.

Seperti kita tahu dalam budaya jawa, perempuan selalu dipersiapkan dan diajarkan untuk bisa 3M (Macak, Masak dan Manak). Dan beraktifitas di rana 3R, Dapur, Sumur dan Kasur. Seperti disampaikan Junaidi Abdul Munif dalam artikel “Mencari Akar Patriarkisme” (Suara Merdeka, 24 Maret 2010), kultur Jawa menyebut perempuan adalah wadon. Wadon berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti abdi, abdi dari lelaki.

Wajar kalau teman saya menjadi kuatir ketika menghadapi pernikahannya. Saya jadi ingat R.A Kartini yang merasakan kolotnya adat yang penuh kekangan dan diskriminasi, beliau disuruh menikah oleh orangtuanya dengan Bupati Rembang K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang telah memiliki tiga istri. Beliau sempat menolak untuk menikah dan dipoligami yang pada saat itu lazim dilakukan laki-laki. Dan kemudian menikah pada 12 November 1903. Tampak jelas bahwa konflik sebenarnya mulai muncul.

Kartini saat itu dipojokkan oleh situasi untuk mengerti sakitnya sebuah kehidupan poligami yang juga dirasakan sang ibu. Namun pada satu titik, beliau mengerti bahwa musuh sebenarnya bukanlah sang suami ataupun istri-istri sang bupati, tapi sistem yang membuat semua itu terjadi. Ia berharap suaminya dapat mengerti jalan pikirannya dan dapat membantunya mengubah sistem itu sehingga anak-anak mereka nanti tidak perlu mengalami nasib yang sama.

R.A Kartini lalu mengungkapkan keinginannya pada sang suami untuk memajukan kaum perempuan di negerinya. Keinginan tersebut dikabulkan oleh sang suami K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Sekolah khusus untuk kaum perempuan pun pertama kali didirikan di Rembang dan Jepara, dan selanjutnya berkembang di kota-kota lain di Jawa. Dimulai dari sinilah perjuangan R.A Kartini terhadap kaum perempuan untuk dapat mengenyam pendidikan.

Perkawinan bukanlah tempat pemasungan perempuan. Bukan tempat di mana suami bisa menguasi isteri atau tempat isteri mengabdi pada suami. Bukan tempat di mana suami bisa mengontrol isterinya atau suami bisa mendominasi perempuan. Bukan tempat untuk mengekploitasi perempuan. Tetapi wadah tempat berbagi saling mendukung dan menghargai. Tidak ada yang menguasai atau dikuasai. Perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang sama dalam perkawinan. Bila perkawnian itu berdasarkan cinta kasih tentu harusnya ada saling menghargai. Cinta yang bukan untuk memiliki atau menguasai pasangannya.

Budaya Patriarki memang sudah ada sejak jaman dahulu, tetapi bukan berarti harus dilestarikan. Budaya Patriarki ini sering menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga. Dan juga karena budaya patriarki ini banyak kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada perempuan. Patriarki ini bisa dihilangkan dan dimulai dari dalam rumah atau ranah privat. Suami dan isteri bersama-sama bekerja sama. Dengan komunikasi yang baik satu sama lain dan saling menghargai pendapat pasangan maka budaya patriarki ini bisa dihilangkan. Mulai mengajarkan kepada anak-anaknya tentang tugas yang sama antara anak laki-laki dan perempuan. Saling menghargai perbedaan gender.

Sebagai perempuan harus mempunyai keberanian untuk mendobrak patriarki. Perempuan harus berani mengkomunikasikan tentang kesetaraan ini sebelum pernikahan dilangsungkan. Bukan seperti kontrak politik yang harus tanda tangan perjanjian kesetaraan sebelum menikah. Tapi komitmen pasangan atau calon suami untuk mau berbagi tugas dan peran. Bila sudah terlanjur menikah maka kita bisa memberikan edukasi tentang kesetaraan kepada pasangan.

Perempuan harus berani membongkar budaya patriarki dan terus menerus mensosialisakan ke lingkaran terdekat misalnya orang tua, mertua dan keluarga terdekat lainnya. Semoga dengan edukasi tentang kesetaraan gender dari dalam rumah bisa menghasilkan pemahaman yang lebih baik dan menciptakan generasi yang menghargai kesetaraan. Bila generasi yang mendatang menghargai kesetaraan gender maka niscaya akan ada kebijakan yang melindungi perempuan.

Seperti kata Khalil Gibran tentang pernikahan; Berkasih-kasihlah, Namun jangan membelenggu Cinta, Biarkanlah Cinta itu bergerak senantiasa, Seperti Aliran sungai yang mengalir Lincah di antar kedua Belahan Jiwa

Saling isilah Piala Minumanmu,Tapi jangan saling minum dari satu Piala,Saling bagilah Rotimu,Tapi jangan makan dari Pinggan yang sama

Bernyanyi dan Menarilah bersama,dalam segala suka cita, Hanya biarkanlah masing-masing Menghayati ketunggalanya, Tali Rebana masing-masing punya hidup sendiri,Walau Lagu Yang sama sedang menggetarkanya, Biarkanlah Hatimu,Namun jangan saling Menguasakanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun