Mohon tunggu...
Poedjiati Tan
Poedjiati Tan Mohon Tunggu... profesional -

Co-founder NLP Coach Indonesia. yang bergerak dibidang Business Consultant dan pelatihan dengan teknik NLP dan juga soft skill lainnya. Direktur Penerbit EnerJik Kharisma yang menerbitkan buku NLP, pengembang diri dan juga Novel. Psikolog di Bina Grahita Mandiri. Master Psikologi, Master Practitioner NLP, Certificate Advanced coach NLP. Sertifikasi untuk HRD dan penggajian karyawan penulis untuk penelitian psikologi, prilaku manusia, dan juga penulis entrepreneur dan bisnis. Desainer buku Aktif di beberapa organisasi masyarakat dan perempuan. Co founder Konde Institute media alternatif berbasis online. Dosen LB di Universitas Ciputra Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kontrol Terhadap Tubuh dan Seksualitas Perempuan

16 Desember 2014   21:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:11 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada beberapa peristiwa atau berita yang mengugah rasa saya akan ketidakadilan tubuh perempuan. Peristiwa itu adalah tes keprawanan untuk menjadi Polwan, dan MUI bersikukuh pada batas usia Kawin 16 tahun. Semua berita itu seakan-akan ingin mengontrol perempuan dan tubuhnya, apa yang baik dan buruk untuk perempuan, bagaimana dia harus bermoral, bagaimana dia harus berperilaku, bagaimana dia menjaga seksualitasnya atau akan dikatakan sebagai perempuan yang tidak bermoral atau tidak baik.

Seperti tes keprawanan,  Kepala Divisi Hukum Polri Inspektur Jenderal Polisi Moechgiyarto membenarkan adanya tes keperawanan bagi calon polisi wanita (polwan), karena tidak mau ada bibit yang tidak baik dalam Polri. Dengan kata lain adalah untuk memeriksa moral, dan yang pasti tidak ada hubungannya dengan kemampuan calon untuk menjadi polisi. Bahkan ada yang mengatakan takut kalau yang menjadi polwan adalah pekerja seks. Lalu kalau perempuan pekerja seks sudah berhenti dari pekerjaannya dan ingin melamar menjadi polisi sudah dapat dipastikan tidak akan diterima.

Dan pernyataan ketua MUI, Amidhan mengatakan, dalam hukum Islam, batas minimal usia menikah adalah setelah seseorang akil balig. Masa ini dicapai seorang ketika berusia 9-15 tahun. Adapun dalam UU Perkawinan ditentukan bahwa batas minimal usia perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. "Sehingga ini sudah sesuai ketentuan agama dan hukum positif negara," ujarnya. Amidhan juga menilai, jika batas usia dinaikkan menjadi 18 tahun, akan terjadi kekacauan, seperti pergaulan bebas dan hal-hal mudarat lain. Ketua MUI menganggap bahwa bila usia perkawinan dinaikan menjadi 18 akan terjadi pergaulan bebas dan kekacauan.

Dari peristiwa diatas terlihat bahwa perempuan seperti tidak mempunyai kuasa akan tubuhnya. Terjadi ketidakadilan terhadap perempuan, pada kasus tes keperawanan hanya perempuan yang mendapat perlakuan tersebut dan untuk menilai baik tidaknya moral calon polisi wanita. Padahal mereka bekerja bukan dengan vaginanya tapi dengan kemampuannya dan kecerdasannya. Dan juga komentar MUI yang mengatakan bahwa bila batas menikah perempuan dinaikan menjadi 18 tahun akan terjadi pergaulan bebas dan kekacauan. Apakah benar orang yang menikah diatas 18 tahun akan melakukan pergaulan bebas?

Disadari atau tidak masyarakat kita sering memarginalkan perempuan. Polarisasi seksualitas laki-laki dan perempuan seperti produk system gender dengan angka yang besar, yang mana digunakan untuk menunjukan bahwa perempuan itu perlu dibatasi, memiliki tempat yang aman dan terkontrol untuk ekspresi seksualnya. Akibat yang sangat membahayakan dari tidak sejajarnya gender yang memungkinkan tidak saja terjadinya kekerasan tetapi juga pengontrolan dari dalam diri perempuan, meracuni hasrat perempuan dengan menanamkan keraguan dan kecemasan pada diri perempuan

Sejak dari dulu masyarakat, negera dan agama selalu berusaha mengendalikan seksualitas perempuan melalui pernikahan, keprawanan, norma-norma yang ideal untuk perempuan. Seperti yang pernah disampaikan Jusuf Kalla baru-baru ini. JK mengatakan akan mengurangi jam kerja untuk perempuan agar bisa menjalankan tugasnya mendidik anak. Bukankah tugas mendidik anak tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan. Dan apakah pengurang waktu kerja selama dua jam juga akan terjadi pengurangan gaji? Bila benar itu berarti sudah terjadi maka sudah terjadi diskriminasi dan pelanggaran terhadap perempuan dan ini tidak sesuai dengan konvesi PBB mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia.

Negara memang suka mengatur kehidupan seksual perempuan. Mulai dari orde baru ketika perempuan dibatasi untuk mempunyai anak dengan kegiatan KB (kelurga berencana) dimana-mana dan jargonnya “Dua anak cukup”. Siapa yang harus menjalani itu semua, sekali lagi perempuan. Mereka diharuskan menggunakan alat KB, mulai dari pil, suntik, sprial dan IUD yang akibat biologisnya juga dirasakan oleh para perempuan. Dan ketika perempuan tidak menginginkan anak (aborsi) sekali lagi Negara turut campur dengan memberikan hukuman. Sekarang di jaman reformasi ini sekali lagi perempuan menjadi korban Negara dengan dikeluarkannya undang-undang pornografi, perda-perda yang mendiskriminasi perempuan. Perempuan dibatasi ekpresinya dan perilakunya dengan alasan Moralitas.

Sepanjang sejarah perempuan selalu dijadikan komoditas. Mereka dijual-belikan, dijadikan alat negosiasi baik oleh keluarganya atau negara. Kita tentu ingat bagaimana perempuan gerwani direproduksi dalam naskah-naskah orde baru sebagai perempuan biadab yang menyiksa para jendral, “perempuan yang melampaui kodratnya” Karena liar di luar rumah dan yang melakukan penyelewengan seksual dengan seks bebas dan lesbianisme. Melalui representasi yang demikian gerwani dihancurkan dan pada saat yang sama “norma-norma ideal” tentang perempuan dan seksualitas diciptakan. (Alimi, 2004)

Norma ideal perempuan terus didengungkan secar turun temurun. Perempuan yang ideal, yang masih perawan sebelum menikah, ketika menikah bisa mempunyai anak tetapi tidak boleh memutuskan berapa anak yang diinginkan, dan bisa membagi waktuknya antara bekerja dan keluarga. Perempuan seperti tidak punya hak akan tubuhnya, hidupnya atau seksualitasnya. Dan Wacana yang ada selalu pada wacana hetroseksualitas yang berorientasi pada prokerasi. Seperti kata Gayle Rubin (1993: 14) :...seksualitas yang dianggap “baik”, “normal”, dan “natural” secara ideal adalah yang heteroseksual, marital, monogami, reproduktif dan non-komersial. Ditambah lagi, ia juga harus berpasangan, relasional, dari satu generasi yang sama dan terjadi dalam rumah. Ia tidak melibatkan pornografi, objek fetish, alat bantu seks apapun, atau terdiri dari laki-laki dan perempuan. Seks apapun yang melanggar peraturan ini dianggap “buruk”, “abnormal” atau “tidak natural.”

Saya jadi ingat tulisan Julia I Suryakusuma, Seksualitas dalam Pengaturan Negara. Dalam kesimpulannya Julia mengatakan;

Salah satu idelogi informal yang dikonstrusikan oleh negara Indonesia adalah ideologi gender dan seksual yang mendefinisikan lai-laki dan perempuan dalam peran-peran yang sempit, terbatas dan stereotipis. Tujuannya bukan diskriminasi seksual semata-mata; ia lebih merupakan jsutifikasi pragmatisme dan oppotunisme. Di bawah “modernisme” dangkal dari pembangunan nasional, diskriminasi gender dan seksualitas menjadi lebih akut tapi pada saat yang sama, lebih subtil. Ini tak dapat sekedar dikembalikan kepada chauvinisme laki-laki karena seperti halnya kapitalisme, “pembangunan nasional’ dan “modernisasi” tak selektif terhadap siapa yang mereka eksploitir. Baik wanita maupun pria dieksploitasi, tapi unsur seks dan gender memberikan dimensi tambahan dengan menempatkan wanita dalam posisi yang subordinat terhadap pria.

Hubungan antara seks dan kekuasaan telah lama diakui di samping kemampuan seks untuk mendefinisikan seseorang secara sosial dan moral. Dengan demikian masuk diakal bahwa negara hendak mengendalikan perilaku seksual. Ini merupakan pengakuan diam-diam terhadap kekuatan seks, tetapi juga terhadap kekuatan wanita yang secara sosial diberi status yang lebih rendah daripada pria. Kekuatan dimainkan dalam banyak arena. Di dalam negara, ia dimainkan dalam hirarki birokrasi negara; antara pria dan wanita, ia dimainkan dalam hubungann gender dan seksual. Campurkan keduanya dan warna yang mucul memberi gambaran histori dan tragis yang tak asing untuk perempuan dan yang hampa kemanusian buat laki-laki

Tulisan Julia itu dimuat di Prisma tahun 1991 dan sekarang sudah 23 tahun berlalu. Sepertinnya belum ada perubahan yang signifikan yang dilakukan oleh negara. Bahkan makin banyak undang-undang  atau hukum yang justru membatasi perempuan. Hukum sebagai perpanjangan tangan kelompok dominan sarat dengan nilai-nilai androsentris. Penciptaan hukum menurut kepentingan mereka tak terelakan. Di banyak masyarakat, sistem hukum dan rumusan-rumusannya begitu patriakis akan meninggalkan kepentingan perempuan dan sering kali tidak melibatkan perempuan dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu, materi hukum (content of law) belum menyuarakan apresiasi perempuan.

Dan ini saya masih berbicara perempuan yang hetronormatif dan patriaki. Saya belum menyinggung persoalan perempuan yang Transgender dan Transeksual, perempuan lesbian, perempuan yang tidak menikah, yang seringkali mendapatkan diskriminasi dan tidak pernah terlindungi. Saya berharap dalam pemerintahan Jokowi lebih memperhatikan atau lebih sensitif dengan isyu perempuan.  Tidak ada lagi pembatasan dan pengontrolan akan tubuh dan seksualitas perempuan. Tidak adalagi diskriminasi terhadap perempuan dan pelanggaran hak-hak perempuan. Semoga pemerintah tidak lupa bahwa negara juga sudah meratifikasi CEDAW dan bisa menjalankannya.

Source :

-  MUI Berkukuh Batas Usia Kawin 16 Tahun http://www.tempo.co/read/news/2014/12/02/063625903/MUI-Berkukuh-Batas-Usia-Kawin-16-Tahun

-  Wapres Ingin Jam Kerja Pegawai Perempuan Dikurangi Dua Jam http://nasional.kompas.com/read/2014/11/25/12273031/Wapres.Ingin.Jam.Kerja.Pegawai.Perempuan.Dikurangi.Dua.Jam

- Firliana Purwanti, (2014)  Fantasi Seks dalam Kebijakan Publik , Editorial Prisma, http://prismaindonesia.com/index.php/editorial/item/378-fantasi

- Moh Yasir Alimi (2004) Dekonstruksi seksualitas poskolonial: dari wacana bangsa hingga wacana agama.

- Julia I Suryakusuma, (1991), Seksualitas dalam Pengaturan Negara , Prisma, No.7 TahunXX, Juli 1991

- Romany Sihite, (2007), Perempuan, Kesetaraan dan Keadilan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007

- Poedjiati Tan, (2009), Seksualitas Perempuan : Kenikmatan dan Resiko, Materi Kursus Gender dan Seksualitas IV.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun