Mohon tunggu...
Poedjiati Tan
Poedjiati Tan Mohon Tunggu... profesional -

Co-founder NLP Coach Indonesia. yang bergerak dibidang Business Consultant dan pelatihan dengan teknik NLP dan juga soft skill lainnya. Direktur Penerbit EnerJik Kharisma yang menerbitkan buku NLP, pengembang diri dan juga Novel. Psikolog di Bina Grahita Mandiri. Master Psikologi, Master Practitioner NLP, Certificate Advanced coach NLP. Sertifikasi untuk HRD dan penggajian karyawan penulis untuk penelitian psikologi, prilaku manusia, dan juga penulis entrepreneur dan bisnis. Desainer buku Aktif di beberapa organisasi masyarakat dan perempuan. Co founder Konde Institute media alternatif berbasis online. Dosen LB di Universitas Ciputra Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mari Belajar Memahami Transgender Laki-laki

9 Februari 2015   17:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:33 2232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara mengenai transgender memang bukan sesuatu yang gampang karena inimenyangkut banyak aspek. Setiap orang trans (Transpeople) mempunyai pengalaman yangberbeda-beda tentang penghayatan tubuh biologisnya, identitasnya, gendernya, penerimaandirinya. Seperti halnya seks biologi, gender secara umum dianggap sebagai konstruksi socialyang dikotomi yaitu laki-laki dan perempuan. Seperti pemaparan Gayle Rubin, is that genderis the “socially imposed division of the sexes that transforms males and females into ‘men’and ‘women’ Bagaimana secara sosial dari Female dan Male menjadi perempuan dan laki-laki (Dalam bahasa Indonesia memang sulit menemukan padanan yang cocok untuk Female/Male karena untuk gender dan sex biologi semua sama menggunakan laki-laki danperempuan, dulu ada penggunaan kata betina dan jantan tapi dianggap kasar dan sepertipenggunaan untuk hewan)

Masyarakat hanya mengerti gender yang binary dan sudah terkonstruksi sejak bayi lahir. Mereka tidak memberikan ruang atau wilayah sosial bagi orang yang gender atau sex biologinya berbeda. Misal bila seorang bayi intersex lahir mereka akan segera mengadakan penyesuaian kelamin yang orang tuanya inginkan tanpa menunggu perkembangan sang anak atau menunggu anaknya besar bertanya kepada anaknya. Kelaki-lakian dan keperempuanan seseorang seakan-akan melekat pada sex biologinya dan bila ada ketidaksamaan maka dianggap sebagai penyimpangan atau dianggap tidak normal dan dianggap harus diobati.

Gender tidak hanya melibatkan tugas-tugas gender saja, Ketika seseorang lahir dankelaminnya terlihat maka pada saat itu label gender telah diberikan beserta peran gendernya,atribusi gender, identitas gendernya, dan juga ekspresi gendernya.  Begitupula denganAtribusi gender. Bagaimana orang lain memandang gender seseorang. Hal ini didasarkan pada penampilan individu dan juga pada peran-perilaku yang secara kultural dikodekansebagai maskulin atau feminin. Atribusi gender dan peran gender mungkin atau mungkintidak bertepatan dengan satu sama lain dan dengan satu gender lahir.

Itu sebab ketika seseorang yang menenmukan dirinya tidak sesuai antara sex biologi danidentitas gendernya maka akan terjadi kebingungan.  Identitas gender mengacu padapengertian individu tentang gendernya sendiri, yang mungkin berbeda dari gender seseorangketika lahir atau bagaimana orang lain memandang gender seseorang. Hal ini juga dialamioleh teman-teman trangender Female to Male. Baru akhir-akhir ini banyak anak-anaktransgender Female to Male baik yang menyebut dirinya Priawan atau Transmen yangcoming out di sosial media atau di komunitas.

Tetapi masih ada dan banyak yang masih bingung apa itu priawan atau transgender laki-laki. Apalagi buat mereka yang tinggal bukan di kota besar, yang tidak mempunyai akses internet atau sosial media. Berbeda dengan waria atau transgender perempuan yang lebih mempunyai model buat transgender muda. Kurangnya literatur tentang perkembangan identitas Transgender female to male membuat para transgender tidak mengerti dan terjadi kebingungan identitas. Oleh karena itu saya ingin membagikan beberapa tahapan perkembangan identias Transgender khususnya perempuan ke laki-laki dari beberapa ahli dan penelitian.

Menurut Lewins (1995) dalam Transsexualism in society yang meneliti Transgener Male toFemale: ada 6 tahapan yang dialami individu transgender:

Pertama, perasaan kecemasan yang terus menerus karena merasa tidak nyaman dengan tugas gendernya. Tahap kedua adalah tahap pencarian, mereka mulai belajar dan mencari tahu tentang transeksual dan menyadiri bahwa transisi gender itu memungkinkan.   Namun,mereka menyangkal bahwa identitas ini berlaku untuk mereka di tahap ketiga, "menjernihkan dan penundaan.  Setelah akhirnya menerima diri sebagai transexual (tahap keempat), Mereka mulai melakukan “sex reassignment” (tahap kelima) dan  meraih  “invisibility” sebagaiindividu yang ditugaskan sebagai laki-laki saat (tahap keenam).

Mengesampingkan asumsi operasi, pada model perkembangan identitas transeksual laki-laki memiliki banyak kesamaan dengan transeksual perempuan. Seperti dalam skema Lewin, orang-orang perempuan yang ditugaskan pada tahap pertama dari Jeremy Baumbach dan Louisa Turner (1992) tiga model tahapan. Tahap pertama “female gender disorder” memiliki perasaan ketidakpuasan atau ketidaknyamanan dengan gender mereka. Mereka mulai berharap bahwa mereka adalah laki-laki sebagai “fantasized solution” dalam perasaan mereka (tahap kedua) dan kemudian, seperti pada model identitas MTF, bertindak atas keinginan ini dengan mengejar "ganti kelamin" (tahap ketiga). Namun, Baumbach dan Turner menentukan penugasan lebih luas daripada Lewins dan Bolin, mengakui bahwa individu FTM mungkin melalui transisi dengan menggunakan hormon dan mungkin tidak mencari atau melakukan operasi penyesuaian gender.

Henry Rubin (2003) dalam Self-made men: Identity and embodiment among transsexual menuses sociologist. Dalam mengembangkan identitas, untuk menjelaskan proses dimana orang-orang transeksual mengkonsolidasikan identitas mereka. Ia menemukan bahwa ada empat tahap.  Pertama adalah mengalami perasaan subjektif perbedaan, Kedua menemukan kategori yang tepat dan menempatkan perasaan yang berbeda dengan makna yang tepat. Tahap Ketiga menerima kategori sebagai deskriptif pengalaman pribadi dan Tahap keempat mencari komunitas untuk menggambarkan pengalaman individu FTM. Tiga pertama ini berhenti sekitar sesuai dengan Tahap Lewin dari "kecemasan yang berkelanjutan," "penemuan," dan "penerimaan." Rubin berhenti pada, "membuat pilihan transisi," juga mencerminkan model transeksual lain dan mengakui pilihan yang berbeda yang invidu FTM miliki dalam memutuskan bagaimana mereka akan hadir dan hidup sebagai laki-laki.

Dalam Penelitian Genny Beemyn and Susan Rankin (2011) yang dibukukan menjadi The Lives Of Transgender People Perkembangan Identitas Transgender Laki-laki dibagi menjadi 6 tahap.

Tahap Pertama : Berpikir dirinya sebagai lesbian tapi sadar bahwa dirinya bukan.

Pertama mereka berpikir bahwa dirinya adalah seorang lesbian karena tertarik dengan perempuan tapi akhirnya menyadari bahwa dirinya tidak cocok dengan identitas sebagai lesbian dan sadar kalau dirinya adalah transgender.

Tahap Kedua : Kesadaran akan diri sebagai Transgender laki-laki dan transisi itumemungkinkan. Ada beberapa Transeksual male yang pertama mereka coming out sebagai lesbian karena istilah lesbian yang mereka kenal saat itu. Dan mereka masih belum tahu bahwa FTM itu ada sebab yang mereka tahu hanya MTF. Seperti halnya di Indonesia banyak Transgender muda yang tidak mengenal dengan istilah Priawan atau Transmen.

Tahap Ketiga : Belajar tentang Transeksual dan mencari tahu mengenai komunitas.

Mereka mulai belajar segala hal mengenai transgender dan transeksual. Mereka mencari bacaan mengenai hal itu dan berusaha berhubungan dengan sesama FTM atau komunitas.

Tahap keempat : Mengatasi Denial dan internalisasi gendernya dan menerima diri sebagai laki-laki.

Banyak transgender yang terus berjuang untuk menerima dirinya sendiri. Ada ketakutan atau transphobia di dalam diri sendiri. Mengatasi perasaan negatif karena menjadi trangender.

Tahap Kelima : Menggunakan Hormon dan melakukan Top Surgey untuk terlihat seperti yang diinginkan.

Sebagian besar transgender laki-laki melihat bahwa menggunakan testosteron dan menjalani operasi rekonstruksi dada sebagai langkah penting untuk perkembangan identitas mereka, karena hal itu memungkinkan untuk terlihat sebagai laki-laki dimata orang lain. Setelah beberapa waktu terapi hormon, mereka mulai mengembangkan kumis, jenggot, jambang, suara lebih dalam, dan massa otot yang lebih besar; sebagai akibatnya, mereka mulai terlihat sedikit berbeda. Sejauh mana perubahan tubuh mereka adalah penting untuk beberapa transgender.

Sebaliknya, operasi ganti kelamin dianggap tidak penting bagi sebagian besar transeksual. Karena biaya yang mahal dan hasil yang tidak memadai. Mereka merasa tidak perlu memiliki penis untuk menjadi laki-laki. Sebagian menolak operasi kelamin karena hasilnya tidak menarik dan penis tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Juga kerumitan serta komplikasi yang terjadi setelah operasi. Tapi tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang hal itu bisa terjadi.


Tahap Keenam : Memiliki perasaan secara lengkap sebagai laki-laki yang berbeda.

Mereka mulai menerima diri mereka sebagai laki-laki yang berbeda. Mereka mulai menerima tubuh mereka dan diri mereka sebagai laki-laki. Laki-laki yang dilahirkan dan dibesarkan sebagai perempuan. Mereka mulai bisa menerima dan berdamai dengan tubuh mereka.

Sebtulnya saat-saat terpenting dan krusial bagi transgender laki-laki adalah ketika mereka mulai memasuki masa puber atau akil balik. Dimana terjadi perubahan fisik pada tubuh mereka. Mulai tumbuhnya payudara, mulai mengalami menstruasi. Dimana sebelumnya mereka merasa bahwa dirinya adalah laki-laki. Mereka tidak lagi bisa berperilaku seperti anak-anak laki-laki seperti waktu mereka kecil. Mungkin ketika mereka anak-anak dan berpenampilan seperti laki-laki, keluarga menganggap itu hanya tomboy dan dianggap biasa. Tetapi ketika mereka mulai masuk puberitas. Mereka mulai mengalami masa-masa sulit. Di dalam keluarga mulai ada perlakuan berbeda ketika anak perempuan mulai tumbuh payudara dan menstruasi. Mereka mulai dibatasi dan diminta melakukan tugas gendernya dan disinilah perasaan bahwa mereka berada di tubuh yang salah mulai muncul dan mengganggu perasaan mereka.

Tidak hanya di dalam rumah dan di keluarga, di dalam pergaulan dengan teman sebaya atau di sekolah juga mengalami perubahan. Mereka tidak lagi bisa bebas bermain dengan teman laki-laki seperti ketika masih kank-kanak. Kadang perubahan fisik ini membuat anak-anak transgender menjadi tidak percaya diri, malu dengan tubuhnya dan berusaha menutupinya.

Perubahan tubuh, tekanan keluarga untuk menjalankan tugas gendernya membuat trangender muda tumbuh dengan ketidakpastian dan kebingungan. Mungkin untuk remaja yang sudah terbiasa dengan internet akan lebih muda menemukan informasi tapi bagaimana dengan transgender yang tinggal jauh dari teknologi dan komunitas? Tentu tekanannya akan lebih besar dan berdampak pada perkembangan dirinya.

Di Indonesia ada banyak trangender muda yang ingin melakukan penyesuaian dan mulai mencoba dengan terapi hormon. Tapi ada juga yang tidak ingin melakukannya. Tidak semua Transgender laki-laki melakukan penyesuaian kelamin atau melakukan terapi hormon. Ada yang dapat menerima tubuhnya dan tetap merasa dirinya adalah laki-laki dan mengahayati hidupnya sebagai laki-laki. Di Indonesia kita mengenalnya dengan istilah Priawan dan dipromosikan sebagai gender ketiga. Meskipun ada kekuatiran bahwa akan ada dikriminasi dengan mengusulkan gender ketiga ini dan juga mempromosikan Priawan. Tapi kita harus berpikiran jauh ke depan tentang masa depan teman-teman Trangender laki-laki atau priawan.

Bila para orang tua atau sekolah mengerti tentang transgender mereka akan bisa menangani dengan lebih tepat. Misalnya memberikan kebebasan mereka untuk menggunakan seragam perempuan atau laki-laki. Ketika mereka berumur 17 tahun dan harus membuat identitas diri, mereka bisa memilih untuk ditulis laki-laki, perempuan, transgender atau priawan. Begitu pula ketika mereka harus mulai mencari pekerjaan. Mereka tidak lagi dilihat di sex biologi atau gender tapi kemampuannya yang menjadi pertimbangannya.

Reference :

-Lewins, F. (1995). Transsexualism in society: A sociology of male-to- female transsexuals. Melbourne, Australia: Macmillan.

-Rubin, H. (2003). Self-made men: Identity and embodiment among transsexual men. Nashville, TN: Vanderbilt University Press.

-Baumbach, J., & Turner, L. A. (1992). Female gender disorder: A new model and clinical applications. Journal of Psychology and Human Sexuality, 5(4), 107–129.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun