Mohon tunggu...
Poedjiati Tan
Poedjiati Tan Mohon Tunggu... profesional -

Co-founder NLP Coach Indonesia. yang bergerak dibidang Business Consultant dan pelatihan dengan teknik NLP dan juga soft skill lainnya. Direktur Penerbit EnerJik Kharisma yang menerbitkan buku NLP, pengembang diri dan juga Novel. Psikolog di Bina Grahita Mandiri. Master Psikologi, Master Practitioner NLP, Certificate Advanced coach NLP. Sertifikasi untuk HRD dan penggajian karyawan penulis untuk penelitian psikologi, prilaku manusia, dan juga penulis entrepreneur dan bisnis. Desainer buku Aktif di beberapa organisasi masyarakat dan perempuan. Co founder Konde Institute media alternatif berbasis online. Dosen LB di Universitas Ciputra Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Kesadaran Transgender untuk Gerakan Advokasi

18 Februari 2015   15:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:57 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah transgender menggantikan gender ketiga untuk menunjuk peran gender dan praktek-praktek yang tidak didefinisikan dalam pemahaman lokal untuk normativitas gender. David Valentine berpendapat bahwa konsep "transgenderism," dan gerakan sosial yang muncul baru-baru ini dan diserap dengan cepat di Amerika Serikat emnunjukan bahwa istilah transgender mampu berkembang dalam budaya politik seksualitas. Kelahiran transgenderism menanggapi sentimen di antara pembela hak-hak gay dan lesbian bahwa orientasi seksual seseorang tidak mencerminkan pada satu gender. Ini membayangkan gay dan lesbian, yang harus dilihat sebagai identik dengan heteroseksual dalam segala hal, dan praktik seksual pribadi dihilangkan, termasuk drag queen, butchi, lesbian,  cross dressers, dan kategori lain untuk "gay" dan "lesbian. Orang-orang yang berbeda dari norma heteroseksual dan gender normatif lainnya.

Istilah gender ketiga ini pertama kali diperkenalkan oleh M. Kay Martin and Barbara Voorhies tahun 1975,yang menemukan bukti ethnographic bahwa di beberapa budaya menunjukan adanya katogori gender diluar dua gender yang ada. Pengungkapan ini memiliki implikasi yang besar untuk feminis dan teori gender serta gerakan sosial dan aktivis politik di Amerika Serikat, karena memungkinkan mereka untuk berpikir di luar sistem gender yang dikotomis . Gender ketiga mulai diterapkan pada perilaku yang melampaui atau menantang kode-laki perempuan  atau norma yang ada. Hal itu juga berlaku untuk masyarakat (sebagian besar dari mereka non-Barat) yang dilembagakan, dipraktekan  dan menjadi konsep gender di masyarakat.

Menurut Niko Besnier gender ketiga ini sudah ada di masyarakat dan menjadi bagian dari budaya mesayarakat sejak lama. Masyrakat praindustri lebih toleran,  menerima, menyetujui, dan mengakmodasi keanekaragaman erotis dan variasi gender dibanding masyarakat barat. Di beberapa negara sudah memiliki budaya gender ketiga seperti India memiliki hijra, Tahiti adalah māhū, the Arabian peninsula adalah  xanith, Thailand adalah kathoey, Native America adalah berdache. Begitupula dengan Indonesia, Menurut Evie Blackwood identitas gender ketiga di Indonesia sudah ada sejak tahun 1800 mulai dari wandu yang dikenal di pulau jawa, ada Bissu, Calalai, Calabay di Sulawesi, Bante di Kalimantan, Bandu di madura. Keberadaan mereka di terima di masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat itu.

Tapi sayangnya budaya yang ada di masyarakat ini menjadi terkikis dan masyarakat dipkasakan untuk memilih dua gender saja. Kebijakan pemerintah, institusi sekolah, layanan publik, institusi kesehatan, dunia kerja tidak pernah mengakomodir kepentingan gender ketiga. Mereka seperti menutup mata dan lari dari kenyataan bahwa dahulu budaya kita itu kaya, dan sangat toleran dengan variasi gender. Padahal praktek-pratek gender ketiga ini masih ada di beberapa wilayah Indonesia. Bahkan mereka diterima menjadi bagian dari masyarakat, tapi tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah ataupun dengan isntitusi-intitusi yang ada.

Kemunculan nama Priawan sebagai salah satu pilihan untuk menyebutkan gender ketiga di Indonesia makin mengkayakan budaya kita. Istilah Priawan menjadi pendamping istilah Waria yang telah dikenal masyarakat. Priawan, Pria yang bertubuh wanita, sebetulnya bukan sesuatu yang baru di masyarakat. Mereka telah hadir dengan berbagai macam nama atau istilah. Tapi semua nama itu adalah nama daerah masing-masing bukan nama yang digunakan secara nasional. Kita harus sadar kalau kita ingin mengkomunikasikan, memberikan informasi dan mengedukasi masyarakat tentang penerimaan transgender Female to male, kita harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami atau dimengerti oleh masyarakat. Kita juga harus ingat bahwa rata-rata tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia menurut survey hanya sampai atau setara SMP saja. Kalau kita menggunakan bahasa yang susah dimengerti dan kebarat-baratan maka akan susah diterima oleh masyarakat. Pentingnya politik identitas menggunakan satu nama untuk advokasi juga perlu digaris-bawahi oleh para aktivis transgender Female to Male.

Setiap orang dapat melakukan pemaknaan sebuah “identitas”, terutama mengenai “identitas politik” secara berbeda. Banyak perdebatan mengenai hal tersebut karena identitas politik berkaitan dengan apa yang mereka lakukan atau kerjakan. Sebagai contoh seseorang Prancis berpandangan bahwa pernikahan bagi kaum Gay merupakan hal yang baik, namun beberapa orang di Prancis menolak pandangan itu, bahkan mereka berpandangan bahwa pernikahan Gay merupakan identitas dari bangsa Amerika (Di Prancis gaya hidup Amerika dipandang sebagai gaya hidup yang buruk). Hal tersebut telah menunjukkan bahwa tindakan orang lain mempunyai implikasi pada usaha untuk membangun identitasnya.

Pada pertengahan abad ke-19 muncul dalam skala yang lebih luas mengenai gerakan politik seperti kelompok feminis, hak-hak untuk orang kulit hitam di Amerika, Gay dan lesbian serta gerakan yang dilakukan oleh orang Indian di Amerika. Gerakan mereka didasari adanya ketidak-adilan yang terjadi pada masyarakat ataupun kelompok tertentu. Gerakan sosial inilah yang mendasari upaya untuk mempertanyakan kembali mengenai hal yang bersifat alamiah, kaslian yang membangun sebuah identitas. Identitas Politik sebagai bentuk dari pola organisasi yang berkaitan dengan ide dari kelompok sosial tertentu yang dilaksanakan; seperti identitas dari perempuan ataupun penduduk asli Amerika yang terbangun karena budaya imperialisme (meliputi stereotype, ataupun upaya untuk menunjukkan identitas kelompoknya), kekerasan, eksploitasi, marginalisasi, atau ketidak berdayaan.

Identitas politik dimulai dengan upaya untuk menganalisis tindakan yang dilakukan, keberagaman, penggunaan jargon ataupun klaim tertentu, upaya mendiskripsikan kembali, ataupun transformasi pemikiran diantara anggota kelompoknya. Lebih jauh lagi penerimaan terhadap pandangan yang negatif oleh budaya yang lebih dominan mengenai sesuatu yang dipandang lebih rendah.

Dalam identitas politik dapat dilihat bahwa identitas privat tidak sejajar atau serah dengan identitas publik Dan tidak akan mudah melepaskan identitas-identitas dasar dari satu kelompok untuk dapat melebur menjadi identitas publik. Banyak tantangan dan benturan yang akan ditemui untuk meminimalisir perbedaan yang ada dalam setiap kelompok. Dapat disimpulkan dengan mengambil konsep dari Michel Foucoult bahwa identitas publik adalah sebuah pemahaman dan ditujukan untuk orang lain.

Kita harus sadar dan bisa membedakan mana yang itu untuk kepentingan advokasi dan mana yang untuk pemaknaan diri. Mana yang untuk ranah publik dan mana yang untuk privat. Bisa saja seorang transgender memberikan identitas dirinya dengan segala macam istilah yang cocok buat dirinya. Tapi bila kita hendak memberikan pemahaman tentang transgender female to male ke orang lain atau ketika hendak melakukan advokasi kita sebaiknya menggunakan nama yang sama secara nasional, nama yang mudah dipahami. Karena ini terkait dengan strategi mobilisasi isu dan penerimaan isu. Bila kita menggunakan strategi mobilisasi dengan konteks lokal maka penerimaan isu oleh masyarakat akan menjadi lebih besar.

Kita tahu masyarakat kita itu sangat binary, mereka selalu melihat laki-laki dan perempuan saja dan kita tidak mungkin berjuang dengan mengusung isu laki-laki atau perempuan karena isu transgender berbeda. Bila negara mengakui adanya gender ketiga dan masyarakat bisa menerima transgender, maka akan banyak transgender muda yang terselamatkan. Mereka tidak harus putus sekolah karena di bully, karena tidak nyaman menggunakan seragam rok, tidak dipaksa menikah dengan laki-laki. Mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, tidak harus mengalami kekerasan atau diskriminasi dari keluarga atau lingkungan. Tidak harus hidup dalam kemiskinan.

Saya sangat terkesan dengan teman saya aktivis waria Alexa yang mengatakan bahwa “Identitas itu hanya di otak bukan dipenampilan, saya merasa diri saya perempuan tapi kalau saya sedang berjuang untuk hak-hak saya, saya akan mengatakan kalau saya adalah waria!

Ini menunjukan bahwa Alexa sudah clear dengan identitas gendernya. Dia tahu siapa dirinya dan bagaimana harus membangun kesadaran untuk gerakan advokasi. Penyebutan nama istilah untuk trangender adalah masalah pribadi mana yang paling nyaman untuk diri sendiri. Namun, bila kita ingin memperjuangkan hak-hak kita di masyarakat, negara, atau lainnya kita memerlukan strategi berupa penggunaan nama yang dapat diterima oleh banyak pihak termasuk masyarakat dan jg pemerintah.

Referensi :

David Valentine and Riki Anne Wilchins, “One Percent on the Burn Chart: Gender, Genitals, and Hermaphrodites with Attitude,” Social Text, nos. 52–53 (1997)

Niko Besnier, “Polynesian Gender Liminality through Time and Space,” in Th ird Sex, Th ird Gender: Beyond Sexual Dimorphism in Culture and History, ed. Gilbert H. Herdt (New York: Zone, 1996)

Amy Mullin; Book Review : “ Private Selves, Public Identities: Reconsidering Identity Politics. By Susan J Hekman, University Park: Pennsylvania State University Press. 2004

www.wikipwdia.com identity politics, diakses pada tanggal 17 Februari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun