Walaupun kita telah tahu bahwa bumi ini rusak karena ulah kita sendiri, banyak yang cenderung menganggap enteng, bahkan menyangkal hal tersebut. Ada yang menganggap belum dan sulit membiasakan diri untuk berubah. Banyak juga dari kita yang tidak mampu untuk berubah, bukan tidak mau. Teknologi yang ramah lingkungan, mulai dari kantong belanja organik, panel surya, mobil listrik, dan sebagainya masih sulit (dan relatif lebih mahal dari yang 'konvensional') untuk kita peroleh.
Kaleidoskop Iklim di bagian buku ini menjelaskan berbagai konsep dan metode yang mulai diusung secara global untuk menangani permasalahan iklim, namun keterangan penulis tidak cukup jelas (atau mungkin tidak atau belum memiliki hasil follow up yang konkret) dari usaha-usaha ini. Lagi-lagi, politik dan ekonomi sepertinya masih kita kedepankan dibandingkan isu iklim dan lingkungan.
Kapitalisme Krisis menguraikan bahwa dengan pendekatan yang lebih ramah lingkungan, banyak korporat-korporat yang berbasis karbon (dan karyawannya) akan terdampak. Ini salah satu penyebab kenapa belum banyak mobil listrik, mahalnya teknologi pertanian vertical, sulit berkembangnya energi terbarukan, dan sebagainya.
Penulis juga menyebutkan tentang Gereja Teknologi, yang diartikan sebagai harapan bagi keselamatan umat manusia melalui teknologi. Harapannya adalah kita sudah menguasai teknologi untuk menghadapi krisis global ini ketika saatnya tiba. Meanwhile, tidak seperti dunia nyata, gambar pemandangan yang indah dan langit yang jernih tidak akan berubah di smartphone kita. Â Apakah kita telah benar-benar lebih memilih untuk "Memandang layar supaya tak harus melihat planet ini mati."Â ?
Selanjutnya kemunculan kekuatan baru yang mampu menghapus batas antarnegara demi menjamin kestabilan sumberdaya bagi penduduk bumi mulai mencuri perhatian global. Iklim X (Climate X) merupakan bentuk persekutuan global yang nantinya bekerja sama demi kepentingan umat manusia, walaupun di sisi lain muncul kekhawatiran timbulnya premanisme dan kediktatoran. Siapa pun yang menguasai sumber daya akan menguasai dunia. Prediksi penulis ada pada negara Cina dan Rusia sebagai nantinya 'pemimpin' dari konsep ini.
Di akhir buku, penulis yang juga seorang editor profesional ini menjabarkan seluruh artikel yang menjadi referensinya. Nama-nama seperti Yuval Noah Harari, Daniel Kahneman, dan banyak peneliti lain disebutkan dan disitasi dengan jelas. Walau terlihat depresi, isi buku ini sebenarnya bisa kita jadikan motivasi dan renungan tersendiri. Bahwa pada akhirnya manusia harus sadar bahwa kita hanya punya satu rumah, yaitu bumi ini.
"Ternyata masalahnya bukan jumlah manusia terlalu besar, melainkan kekurangan kemanusiaan. ... . Jika kemanusiaan adalah kapasitas bertindak bermakna dalam lingkungan kita, maka kita sebenarnya belum atau tidak menjadi manusia." (Sam Kriss & Ellie Mae O'Hagan, Tropical Depressions, 2017)
See you at my next review. Feel free to comment, react even follow for future updates. It will be much appreciated =)
Semoga kebahagiaan membaca selalu menginspirasi kita semua.
Penilaian untuk Buku : 4/5 bintang
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI